Selamat Berkunjung

Selamat Berkunjung !
Diharap komentarnya agar lebih bermanfaat, menambah wawasan dan hikmah

Sabtu, 05 Mei 2012

Menjual Semua Hartanya untuk Sedekah, Malah Kaya Raya (Kisah Nyata)

Kisah ini sebenarnya diawali kegundahan sepasang suami istri akan kebahagiaan yang mereka dapatkan dari harta yang dimiliki. Mereka seakan tidak merasa bahagia walaupun hartanya berlimpah. Bagi mereka, yang terpenting adalah ketenangan hidup. Akhirnya suami istri ini mengambil keputusan yang tergolong nekat. Mereka memberikan hampir semua hartanya untuk mereka sedekahkan di jalan Allah. Hanya satu tujuan mereka; ingin hidup tenang dan tidak terbelenggu dengan nikmat sementara duniawi. Mobil dan beberapa harta berharga lain mereka jual dan mereka sedekahkan. Mereka tidak takut akan kelaparan, karena mereka yakin Allah pasti akan menolong dan memberikan jalan terbaik bagi mereka.
Allahu Akbar! Bukan kesengsaraan yang mereka dapatkan akibat membuang hampir semua harta mereka demi ingin memulai hidup sederhana itu, tetapi kekayaan suami istri ini malahan berlipat-lipat tak terhingga. Kini mereka mempunyai dua perusahaan besar, seakan-akan perusahaan yang dulu dijual untuk disedekahkan malahan diganti 2 perusahaan yang jauh lebih besar dan sangat terkenal oleh Allah. Kini mereka sangat bahagia dengan kekayaan yang mereka miliki. Lebih dahsyat lagi, sepasang suami istri ini ingin memulai lagi seperti yang mereka lakukan beberapa tahun yang lalu. Mereka akan menyedekahkan dua perusahaan itu, bukan imbalan Allah yang mereka harapkan, tapi perasaan sangat dekat dengan Allah dan merasa diperhatikan dan disayang Allah itulah yang tidak bisa digambarkan oleh mereka saat melakukan cara ini.
Sebenarnya langkah yang dilakukan oleh sepasang suami istri ini adalah langkah logis, cuma belum banyak orang yang berani melakukannya. Tentang sedekah Allah bahkan menjanjikan langsung akan melipat gandakan beberapa kali lipat jika manusia melakukannya dengan ikhlas hanya untuk Allah semata. Bahkan balasan atau pahala dari sedekah akan lebih berlipat-lipat lagi jika dilakukan untuk keperluan berjuang di jalan Allah. Semoga kisah di atas bisa membuka mata hati kita akan kekuatan sedekah. Sedekah seperti bernafas, kita harus mengeluarkan nafas kotor banyak untuk bisa menghirup udara bersih banyak pula. Jika mengeluarkan nafas kotor sedikit, akan sedikit pula udara bersih yang bisa kita hirup.

Profesor Masuk Islam Karena Keajaiban al-Qur'an


Terbukanya tabir hati ahli farmakologi Thailand Profesor Tajaten Tahasen, Dekan Fakultas Farmasi Universitas Chiang Mai Thailand, baru-baru ini menyatakan diri masuk Islam saat membaca makalah Profesor Keith Moore dari Amerika. Keith Moore adalah ahli Embriologi terkemuka dari Kanada yang mengutip surat An-Nisa ayat 56 yang menjelaskan bahwa luka bakar yang cukup dalam tidak menimbulkan sakit karena ujung-ujung syaraf sensorik sudah hilang. Setelah pulang ke Thailand Tajaten menjelaskan penemuannya kepada mahasiswanya, akhirnya mahasiswanya sebanyak 5 orang menyatakan diri masuk Islam.
 
Bunyi dari surat An-Nisa’ tersebut antara lain sebagai berkut;"Sesungguhnya orang-orang kafir terhadap ayat-ayat kami, kelak akan kami masukkan mereka ke dalam neraka, setiap kali kulit mereka terbakar hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain agar mereka merasakan pedihnya azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagiMaha Bijaksana."


Ditinjau secara anatomi lapisan kulit kita terdiri atas 3 lapisan global yaitu; Epidermis, Dermis, dan Sub Cutis. Pada lapisan Sub Cutis banyak mengandung ujung-ujung pembuluh darah dan syaraf. Pada saat terjadi Combustio grade III (luka bakar yang telah menembus sub cutis) salah satu tandanya yaitu hilangnya rasa nyeri dari pasien. Hal ini disebabkan karena sudah tidak berfungsinya ujung-ujung serabut syaraf afferentdan efferent yang mengatur sensasi persefsi. Itulah sebabnya Allah menumbuhkan kembali kulit yang rusak pada saat ia menyiksa hambaNya yang kafir supaya hambaNya tersebut dapat merasakan pedihnya azab Allah tersebut.
Mahabesar Allah yang telah menyisipkan firman-firman-Nya dan informasi sebagian kebesaran-Nya lewat sel tubuh, kromosom, pembuluh darah, pembuluh syaraf dsb. Rabbana makhalqta hada batila, Ya…Allah tidak ada sedikit pun yang engkau ciptakan itu sia-sia. (http://ilmu-ilmu-islam.blogspot.com/2010/03/bukti-kebenaran-al-quran-kulit-sebagai.html)

ON THE SENSORY CHARACTERISTIC OF THE SKIN
Karakteristik Kulit secara Sensorik

Catatan penerjemah: 
Dokumen asli [dalam Bahasa Inggris] dicetak dengan huruf biasa.
Dokumen terjemahan dicetak dengan huruf seperti ini.
lapisan kulit
Dr. Tagata Tejasen: Laa Ilaaha IllAllah Muhammad Rasool Allah ! 

This man is uttering the Islamic creed (Shahaadah) thus declaring that he is becoming a Muslim. This occurred during the Eighth Saudi Medical Conference which was convened in Riyadh. He is Professor Tejatat Tejasen, Chairman of the Department of Anatomy at Chiang Mai University in Thailand. He was previously the Dean of the Faculty of Medicine at the same university.
Dr. Tagata Tejasen: Laa Ilaaha Illa-Allaah Muhammad-arRasuul-Allaah.

Dia menyatakan kesaksiannya (syahadah) dan menyatakan bahwa dia menjadi seorang Muslim. Hal ini terjadi pada waktu Konferensi Kedokteran Saudi Ke-8 yang diselenggarakan di Riyadh. Dia adalah Profesor Tejatat Tejasen, Ketua Departemen Anatomi di Universitas Chiang Mai, Thailand. Sebelumnya, dia adalah Dekan Fakultas Obat pada universitas yang sama.
We presented to Professor Tejasen some Qur’anic verses and Prophetic Ahadeeth which deal with his specialization in the field of anatomy. He commented that they also had in their Buddhist books very accurate descriptions of embryonic developmental stages. We told him that we were very anxious and interested to see those descriptions and learn about these books. A year later, Professor Tejasen came to King Abdul Aziz University as an outside examiner. We reminded him of the statement he made one year before, but he apologized and said that he in fact had made that statement without ascertaining the matter. However, when he checked the Buddhist books he found that they contained nothing of relevance to the subject.

Kami tunjukkan kepada Profesor Tejasen beberapa ayat Al-Quran dan Hadits yang berhubungan dengan kekhususannya dalam bidang anatomi. Dia berkomentar bahwa mereka juga mempunyai (yang serupa) dalam kitab Budha mereka penjelasan yang sangat akurat tentang tahap-tahap perkembangan embrio. Kami memberitahu dia bahwa kami sangat tertarik sekali dan ingin melihat deskripsi-deskripsi (dalam kitab Budha, pent.) tersebut dan mempelajari kitab-kitab itu. Setahun kemudian, Profesor Tejasen datang ke Universitas King Abdul Aziz sebagai pemeriksa luar. Kami mengingatkan dia tentang pernyataan yang dibuatnya setahun yang lalu, akan tetapi dia minta maaf dan mengatakan bahwa sebenarnya dia mengatakan pernyataan tersebut tanpa mempelajari terlebih dahulu permasalahan yang sebenarnya. Akan tetapi, ketika dia memeriksa Kitab-Kitab Budha, tidak juga ditemukan referensi yang berhubungan dengan masalah yang dijadikan bahan penelitian.

Upon this, we presented to him a lecture written by Professor Keith Moore about the compatibility of modern embryology with what is contained in the Qur’an and the Sunnah and we asked Professor Tejasen if he knew of Professor Keith Moore. He replied that he knew him of course, adding that Professor Moore was one of the most world-renowned scientists in that field.

Kemudian, kami menunjukkan kepadanya sebuah ceramah yang ditulis oleh Profesor Keith Moore tentang kecocokan antara embriologi modern dengan apa yang ada di dalam Al-Quran dan Sunnah dan kami menanyakan Profesor Tejasen apakah dia mengenal Profesor Keith Moore. Dia menjawab bahwa tentu saja dia mengenalnya, dengan menambahkan bahwa Profesor Moore adalah salah seorang saintis yang terkemuka di bidangnya.
When Professor Tejasen studied this article he also was greatly astonished. We asked him several questions in his field of specialization. One of the questions pertained to modern discoveries in dermatology about the sensory characteristics of the skin.Dr. Tejasen responded: Yes if the burn is deep.

Ketika Profesor Tejasen menmpelajari artikel ini, dia juga sangat tercengang. Kami menanyakan kepadanya beberapa pertanyaan di bidang spesialisasinya. Salah satu pertanyaan yang berkenaan dengan penemuan modern dalam ilmu tentang kulit (dermatology) tentang karakteristik (sifat-sifat) kulit dalam menerima sensor. Dr. Tejasen merespon: Ya, jika terbakarnya dalam.

It was stated to Dr. Tejasen: You will be interested to know that in this book, the Holy Book - the Qur’an, there was a reference 1400 years ago which pertains to the moment of punishment of the unbelievers by the fire of Hell and it states that when their skin is destroyed, Allah makes another skin for them so that they perceive the punishment by a fire, indicating knowledge about the nerve endings in the skin, and the verse is as follows:

Telah dinyatakan kepada Dr. Tejasen, Anda akan tertarik untuk mengetahui apa yang ada dalam buku ini, Buku yang Suci - Al-Quran, telah ada referensinya 1400 tahun yang lalu berkenaan dengan saat penghukuman kepada orang-orang yang tidak percaya dengan api neraka dan dinyatakan bahwa ketika kulit mereka dihancurkan, Allah membuat kulit yang lain lagi untuk mereka agar mereka merasakan hukuman dari api neraka itu lagi, mengindikasikan pengetahuan tentang '??akhir urat syaraf??' (nerve ending) di dalam kulit, dan ayat tersebut adalah sebagai berikut:
Those who reject our signs, We shall soon cast into the fire. As often as their skins are roasted through, We shall change them for fresh skins, that they may taste the chastisement. Truly Allah is Exalted in Power, Wise. (Qur’an 4:56).

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS 4:56).
We asked: So do you agree that this is a reference to the importance of the nerve endings in the skin in sensation, 1400 years ago? Dr. Tejasen responded: Yes I agree.
Kami bertanya: Apakah Anda setuju bahwa ini adalah salah satu referensi akan pentingnya ??'akhir urat saraf' (nerve endings)?? pada sensasi kulit, 1440 tahun yang lalu? Dr. Tejasen merespon: Ya, saya setuju.
This knowledge about sensation had been known long before, because it says that if somebody does something wrong, then he will be punished by burning his skin and then Allah puts a new skin on him, covers him, to make him know that the test is painful again. That means they knew many years ago that the receptor of pain sensation must be on the skin, so they put a new skin on.

Pengetahuan tentang sensasi kulit ini telah diketahui jauh hari sebelumnya (dalam Al-Quran, pent.), karena dikatakan bahwa jika seseorang melakukan suatu kesalahan, maka dia akan dihukum dengan cara membakar kulitnya dan kemudian Allah akan menggantikan kulit yang baru lagi, dan menutupinya, untuk membuat dia mengetahui lagi bahwa siksaan itu sangat pedih. Hal ini berarti bahwa mereka telah mengetahui beberapa tahun yang lalu bahwa penerima sensasi sakit pasti ada di kulit, maka mereka meletakkan sebuah kulit bari lagi di atasnya.
The skin (see Fig. 1) is the center of sensitivity to burns. Thus, if the skin is completely burnt by fire, it looses its sensitivity. It is for this reason that Allah will punish the unbelievers on the Day of Judgement by returning to them their skins time after time, as He, the Exalted and Glorified, said in the Qur’an:

Kulit (Lihat Gambar 1) adalah pusat kepekaan rasa panas. Maka, jika kulit telah terbakar api seluruhnya, maka akan lenyaplah kepekaannya. Karena itulah maka Allah akan menghukum orang-orang yang tidak percaya akan Hari Pembalasan dengan mengembalikan kulit mereka waktu demi waktu, sebagaimana Dia, Yang Maha Mulia lagi Maha Agung, berfirman dalam Al-Quran:
Those who reject our signs, We shall soon cast into the fire. As often as their skins are roasted through, We shall change them for fresh skins, that they may taste the chastisement. Truly Allah is Exalted in Power, Wise. (Qur’an 4:56).

Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Kami, kelak akan Kami masukkan mereka ke dalam neraka. Setiap kali kulit mereka hangus, Kami ganti kulit mereka dengan kulit yang lain, supaya mereka merasakan azab. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(Quran 4:56)

We asked him the following question: ‘Is it possible that these verses came to the Prophet Muhammad, (sallallahu ‘alaihi wa sallam), from a human source?’ Professor Tejasen conceded that they could have never come from any human source. But he still asked about the source of that knowledge and from where could Muhammad have possibly received it?
Kami menanyakan dia pertanyaan berikut: 'Mungkinkah ayat ini datang kepada Nabi Muhammad SAW dari sumber manusia?' Profesor Tejasen memberikan pengakuan bahwa hal ini tidak mungkin datang dari sumber manusia. Akan tetapi dia masih menanyakan tentang sumber pengetahuan tersebut dan kemungkinan tentang dari mana Muhammad SAW menerimanya.
We said, ‘From Allah, the Most Glorified and Most Exalted.’ Then he asked: ‘But who is Allah ?’
Kami mengatakan, 'Dari Allah, Yang Maha Agung lagi Maha Mulia.' Kemudian dia menanyakan: 'Akan tetapi siapakah Allah ?'
We replied: He is the Creator of all that is in existence.’ If you find wisdom then it is because it comes only from the one Who is Most Wise. If you find knowledge in the making of this universe, it is because the universe is the creation of the One Who has all the knowledge. If you find perfection in the composition of these creations, then it is proof to you that it is the creation of the One Who Knows Best, and if you find mercy, then this bears witness to the fact that it is the creation of the One Who is Most Merciful. In the same way, if you perceive creation as belonging to one unified order and tied together firmly, then this is proof that it is the creation of the Only Creator, May He be Glorified and Exalted.

Kami menjawab: 'Dialah Sang Pencipta semua yang ada.' Jika Anda menemukan kebijaksanaan, maka hal itu karena dia datang dari Yang Maha Bijaksana. Jika Anda menemukan pengetahuan dalam pembuatan alam semesta ini, hal itu karena alam semesta ini adalah ciptaan dari Dia yang memiliki segala pengetahuan. Jika Anda menemukan kesempurnaan dalam susunan dari ciptaan-ciptaan ini, maka itulah bukti bahwa itu adalah ciptaan dari Dia yang mengetahui segala kebaikan, dan Jika Anda menemukan kemurahan hati, maka hal ini memperlihatkan bukti pada fakta bahwa ini adalah ciptaan dari Dia Yang Maha Pemurah. Sama halnya jika Anda memahami ciptaan sebagai sesuatu yang tersusun secara utuh dan terkait satu sama lain dengan kuat, maka itulah bukti bahwa itu adalah ciptaan dari Sang Pencipta, Yang Maha Agung dan Maha Mulia.

Professor Tejasen agreed with what we said to him. He returned to his country where he delivered several lectures about his new knowledge and discoveries. We were informed that five of his students converted to Islam as a result of these lectures. Then at the Eighth Saudi Medical Conference held in Riyadh, Professor Tejasen attended a series of lectures on Medical signs in the Qur’an and Sunnah.

Profesor Tejasen menyetujui apa yang kami katakan padanya. Dia kembali ke negaranya di mana dia membawakan beberapa kuliah tentang pengetahuan dan penemuan barunya. Kami diberitahu bahwa lima dari murid dia berpindah ke Islam sebagai hasil dari kuliahnya. Kemudian, pada Konferensi Kedokteran Saudi ke-8 yang diselenggarakan di Riyadh, Profesor Tejasen mengikuti serangkaian ceramah pada tanda-tanda yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah yang berhubungan dengan pengetahuan Medikal.

Professor Tejasen spent four days with several scholars, Muslims and non-Muslims, talking about this phenomenon in the Qur’an and the Sunnah. At the end of those sessions Professor Tejasen stood up and said:

Profesor Tejasen menghabiskan empat hari dengan beberapa sarjana, Muslim dan non-Muslim, membicarakan tentang fenomena yang ada dalam Al-Quran dan Sunnah ini. Pada akhir acara, Profesor Tejasen berdiri dan mengatakan:

In the last three years I became interested in the Qur’an, which Shaykh Abdul-Majeed Az-Zindani gave me. Last year, I got Professor Keith Moore’s latest script from the shaykh. He asked me to translate it into the Thai language and to give a few lectures to the Muslims in Thailand. I have fulfilled his request. You can see that in the video tape that I have given to the shaykh as a gift. From my studies and from what I have learned throughout this conference, I believe that everything that has been recorded in the Qur’an 1400 years ago must be the truth, that can be proven by scientific means. Since the Prophet Muhammad could neither read nor write, Muhammad must be a messenger who relayed this truth which was revealed to him as an enlightenment by the One Who is an eligible Creator. This Creator must be Allah, or God. Therefore, I think this is the time to say ‘Laa ilaaha illAllah ’, that there is no god to worship except Allah, ‘Muhammad Rasool Allah ’, Muhammad is the messenger of Allah...

Pada tiga tahun terakhir saya sangat tertarik dengan Al-Quran, yang dihadiahkan oleh Syaikh Abdul-Majiid Az-Zindani. Tahun lalu, saya mendapatkan skripsi terakhir dari Profesor Keith Moore dari Syaikh. Dia meminta saya untuk menerjemahkannya ke dalam bahasa Thailan dan mengadakan beberapa ceramah kepada ummat Muslim di Thailand. Saya telah memenuhi permintaan dia. Anda bisa melihatnya pada video tape yang diberikan Syaikh sebagai hadiah. Dari penyelidikan saya dan dari apa yang telah saya pelajari selama konferensi ini, saya yakin bahwa segala yang terekam dalam Al-Quran 1400 tahun yang lalu pastilah suatu kebenaran, hal ini bisa dibuktikan dengan ilmu sains. Karena Nabi Muhammad SAW tidak bisa membaca dan menulis, Muhammad SAW pastilah seorang utusan yang telah menyampaikan kebenaran ini yang telah diwahyukan kepadanya sebagai cahaya dari Dia Yang Maha Pencipta. Pencipta ini pastilah Allah, atau Tuhan. Oleh karena itu, saya fikir inilah saat yang tepat untuk mengucapkan 'Laa ilaaha ilaallaah', bahwa tidak ada Tuhan yang patut disembah selain Allah, 'Muhammadar rasuulullaah', bahwa Muhammad adalah utusan Allah...

I have not only learned from the scientific knowledge in the conference, but also the great chance of meeting many new scientists and making many new friends among the participants. The most precious thing that I have gained by coming to this conference is ‘La ilaaha illAllah, Muhammad Rasool Allah ’, and to have become a Muslim.

Saya tidak hanya telah mempelajari dari pengetahuan sains di konferensi ini, akan tetapi juga memperoleh kesempatan besar untuk menemui banyak ilmuwan baru dan membuat persahabatan baru dari semua pengikut konferensi. Hal paling berharga yang saya peroleh dengan mendatangi konferensi ini adalah kalimat 'Laa ilaaha illallaah, Muhammadar rasuulullaah', dan menjadi seorang Muslim.

The truth verily comes from Allah who said in the Qur’an: And those to whom knowledge has come see that the (revelation) sent down to thee from thy Lord - that is the truth, and that it guides to the path of the Exalted (in Might), worthy of all praise. (Qur’an 34:6).

Kebenaran sungguh datang dari Allah yang telah mengatakan dalam Al-Quran:

Dan orang-orang yang diberi ilmu (Ahli Kitab) berpendapat bahwa wahyu yang diturunkan kepadamu dari Tuhan-mu itulah yang benar dan menunjuki (manusia) kepada jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. 
(Quran 34:6)

BERIKUT INI PERNYATAAN PROFESSOR KEITH L. MOORE :

Dr. Moore was a former President of the Canadian Association of Anatomists, and of the American Association of Clinical Anatomists. He was honoured by the Canadian Association of Anatomists with the prestigious J.C.B. Grant Award and in 1994 he received the Honoured Member Award of the American Association of Clinical Anatomists "for outstanding contributions to the field of clinical anatomy."

"For the past three years, I have worked with the Embryology Committee of KingcAbdulaziz University in Jeddah, Saudi Arabia, helping them to interpret the many statements in the Qur'an and Sunnah referring to human reproduction and prenatal development. At first I was astonished by the accuracy of the statements that were recorded in the 7th century AD, before the science of embryology was established. Although I was aware of the glorious history of Muslim scientists in the 10th century AD, and some of their contributions to Medicine, I knew nothing about the religious facts and beliefs contained in the Qur'an and Sunnah."

At a conference in Cairo he presented a research paper and stated:

"It has been a great pleasure for me to help clarify statements in the Qur'an about human development. It is clear to me that these statements must have come to Muhammad from God, or Allah, because most of this knowledge was not discovered until many centuries later. This proves to me that Muhammad must have been a messenger of God, or Allah."

Professor Moore also stated that: adith in the last four years have revealed a system of classifying human embryos that is amazing since it was recorded in the seventh century A.D... the descriptions in the Qur'an cannot be based on scientific knowledge in the seventh century..." "The intensive studies of the Qur'an and "...Because the staging of human embryos is complex, owing to the continuous process of change during development, it is proposed that a new system of classification could be developed using the terms mentioned in the Qur'an and Sunnah. The proposed system is simple, comprehensive, and conforms with present embryological knowledge.
 
SEE MORE WHAT Scientists' Comments On The Qur'an:
E. Marshall Johnson (Professor and Chairman of the Department of Anatomy and Developmental Biology, and Director of the Daniel Baugh Institute, Thomas Jefferson University, Philadelphia, Pennsylvania, USA.),
Joe Leigh Simpson (Professor and Chairman of the Department of Obstetrics and Gynaecology, Baylor College of Medicine, Houston, Texas, USA.),
William Hay (Professor of Oceanogprahy, University of Colorado, Boulder, Colorado, USA),
DAN MASIH BNYK LAGI DI: http://www.islamic-awareness.org/Quran/Science/scientists.html
 

Dari Bahtera Menuju Islam
SELAIN daripada para profesor yg telah diceritakan di atas,msh bnyk lagi para pakar ilmu pengetahuan yg masuk Islam KARENA KEBENARAN AL QURAN TENTANG MODERN SCIENCE. krn itu sering kita temui ayat2 Al Quran yg berbunyi "BAGI ORG-ORG YG BERPIKIR..."
Seorang pakar kelautan menyatakan betapa terpesonanya ia kepada Al-Quran yang telah memberikan jawaban dari pencariannya selama ini. Prof. Jackues Yves Costeau seorang oceanografer, yang sering muncul di televisi pada acara Discovey, ketika sedang menyelam menemukan beberapa mata air tawar di tengah kedalaman lautan. Mata air tersebut berbeda kadar kimia, warna dan rasanya serta tidak bercampur dengan air laut yang Lainnya. Bertahun-tahun ia berusaha mengadakan penelitian dan mencari jawaban misteri tersebut. Sampai suatu hari bertemu dengan seorang profesor muslim, kemudian ia menjelaskan tentang ayat Al-Quran Surat Ar-Rahman ayat 19-20 dan surat Al-Furqon ayat 53. Awalnya ayat itu ditafsirkan muara sungai tetapi pada muara sungai ternyata tidak ditemukan mutiara.
Terpesonalah Mr. Costeau sampai ia masuk Islam. Kutipan ayat tersebut antara lain sebagai berikut: “Dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir (berdampingan, yang ini tawar lagi segar dan yang lain asin lagi pahit; dan Dia jadikan antar-keduanya dinding dan batas yang menghalang.” (QS Al-Furqon: 53).

Berdasarkan contoh kasus di atas, dapat memberikan gambaran pada kita bahwa ayat suci Al-Quran mampu menjelaskan fenomena Cromosome, Anatomi, Oceanografi, Keperawatan dan antariksa (baca "Jurnal Keperawatan Unpad" edisi 4, hal 64-70).
Sebenarnya masih banyak ayat- ayat Al-Quran yang menerangkan fenomena evolution and genetic seperti QS. As-Sajdah: 4, QS. al-A’raf: 53, QS. Yusuf: 3, QS. Hud: 7, tetapi karena keterbatasan ruangan pada kolom ini, serta dengan segala keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang dimiliki penulis, maka kepada Allah jualah hendaknya kita berharap dan hanya Allah-lah yang Mahaluas dan Mahatinggi ilmunya. Wallahu a’lam.

WHO: 600.000 Perokok Pasif Tewas Tiap Tahun

Sahabat jagad, Berdasarkan temuan para peneliti Badan Kesehatan Dunia (WHO), sekitar satu dari 100 penyebab kematian di dunia diakibatkan merokok pasif, dan diperkirakan menewaskan 600.000 orang per tahunnya.
Dalam penelitian pertama untuk menaksir pengaruh dari merokok pasif, para pakar WHO menemukan anak-anak lebih terekspos pada asap rokok orang lain dibanding kelompok usia lainnya, dan akibatnya sekitar 165.000 diantaranya akan meninggal.

“Dua per tiga dari kematian tersebut terjadi di Afrika dan Asia selatan,” kata para peneliti yang diketuai oleh Annette Pruss-Ustun dari WHO di Jenewa, yang menulis temuan itu. Eksposur anak pada asap rokok seringnya terjadi di rumah, dan penyakit infeksi dan tembakau merupakan kombinasi mematikan bagi anak-anak, kata mereka.

Mengomentari penemuan yang ditulis pada jurnal Lancet, Heather Wipfli dan Jonathan Samet dari Universitas Southern California mengatakan banyak pengambil kebijakan mencoba memotivasi keluarga agar berhenti merokok di dalam rumah.
“Di beberapa negara, banyak rumah bebas rokok tetapi masih jauh dari umum,” tulis mereka.
Para ilmuwan WHO menggunakan data dari 192 negara untuk penelitian mereka. Guna mendapat data komprehensif dari seluruh 192 negara itu, mereka harus kembali pada 2004.
Mereka menggunakan contoh matematis untuk memperkirakan kematian dan lamanya kematian dalam kesehatan baik. Secara global, 40 persen anak-anak, 33 persen laki-laki non-perokok dan 35 persen perempuan non-perokok terekspos rokok pasif pada 2004, menurut temuan mereka.

Hasil eksposur ini diperkirakan menimbulkan 379.000 kematian akibat penyakit jantung, 165.000 infeksi pernapasan bawah, 36.900 dari asma dan 21.400 dari kanker paru-paru.Untuk pengaruh penuh merokok, kematian ini dapat menambah dari estimasi 5,1 juta kematian per tahun pengguna aktif tembakau, kata kelompok peneliti itu.

Anak-anak
Meski kematian anak-anak umum terjadi di negara-negara miskin dan menengah, kematian pada orang dewasa tersebar di seluruh negara dengan berbagai tingkat pendapatan.Negara-negara berpendapatan tinggi seperti Eropa, hanya 71 anak yang meninggal, sementara 35.388 kematian terjadi pada orang dewasa. Di Afrika, diperkirakan 43.375 kematian anak dibanding 9.514 kematian pada orang dewasa.

Pruss-Ustun mendesak banyak negara untuk memperkuat Kerangka Konvensi Pengendalian Tembakau milik WHO, seperti meninggikan pajak tembakau, membuat bungkus rokok yang polos dan pelarangan iklan produk tembakau.
“Pembuat kebijakan harus mengetahui bahwa menegakkan hukum bebas rokok kemungkinan akan banyak mengurangi angka kematian disebabkan dari eksposur rokok pasif dalam tahun pertama dari implementasinya, disertai dengan berkurangnya penyakit dalam sistem sosial dan kesehatan,” tulisnya.
Hanya 7,4 persen penduduk dunia yang hidup dalam naungan hukum bebas rokok, dan hukum tersebut tidak selalu ditegakkan.

Tempat yang sudah diberlakukan peraturan bebas rokok, penelitian itu menunjukkan bahwa eksposur pada rokok pasif dalam tempat beresiko tinggi seperti bar dan restoran dapat dipotong hingga 90 persen, dan umumnya hingga 60 persen, kata para peneliti.Penelitian tersebut juga menunjukkan peraturan membantu mengurangi angka rokok yang dibakar oleh perokok dan menghasilkan tingkat kesuksesan tinggi pada orang yang ingin berhenti merokok.

Asal penamaan bulan pada kalender kamariah

Tabel berikut merupakan daftar nama-nama bulan kamariah dari berbagai versi:

No.
Kalender Kaum Tsamud
(riwayat Al-Azdi)
Kalender sebelum datangnya Islam (riwayat Al-Bairuni)
Kalender sebelum datangnya Islam (riwayat Al-Mas’udi)
Kalender sejak tahun 412 H
1
Mujab Al-Mu’tamir Natiq Muharram
2
Mujir Najir Tsaqil Shafar
3
Murid Khawwan Thaliq Rabi’ul Awal
4
Mulzim Shuwan/Bushon Najir Rabi’ul Akhir
5
Mashdar Hantam/Hanin/Runna Simah Jumadil Ula
6
Hawbar Zuba Amnah Jumadil Akhirah
7
Hubal Al-Asham Ahlak Rajab
8
Muha Adil Kusa’ Sya’ban
9
Dimar Nafiq/Nathil Zahir Ramadhan
10
Dabir Waghil/Waghl Burth Syawal
11
Haifal Hawa’/Rannah Harf Dzulqa’dah
12
Musbil Burk Na’as Dzulhijjah

Panamaan bulan kamariah yang berlaku saat ini–menurut pendapat yang kuat–telah ada sejak awal abad kelima Masehi. Ada yang mengatakan, bahwa yang menetapkan pertama kali adalah Ka’ab bin Murrah, kakek kelima Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ada lima bulan (Rabi’ul Awal, Rabi’ul Akhir, Jumadil Awal, Jumadil Akhir, dan Ramadhan) yang namanya ditetapkan berdasarkan keadaan musim yang terjadi di bulan tersebut. Rabi’ul Awal dan Akhir diambil dari kata “rabi’” yang artinya ‘semi’, karena ketika penamaan bulan Rabi’ bertepatan dengan musim semi. Jumadil Ula dan Akhirah, diambil dari kata “jamad”, yang artinya ‘beku’, karena pada saat penamaan bulan ini bertepatan dengan musim dingin, yang saat itu air membeku. Sedangkan Ramadhan diambil dari kata “ramdha’”, yang artinya ‘sangat panas’, karena penamaan bulan ini bertepatan dengan musim panas.

Tujuh bulan lainnya dinamai dengan nama keadaan masyarakat dan siklus sosial. Muharram, dari kata “haram”, yang artinya ‘suci’, karena bulan ini termasuk salah satu di antara empat bulan suci. Shafar, diambil dari kata “shifr”, yang artinya ‘nol’ atau ‘kosong’. Dinamakan “Shafar”, karena pada bulan ini rumah-rumah banyak yang kosong ditinggalkan penghuninya untuk berperang. Rajab, secara bahasa artinya ‘mengagungkan’, karena masyarakat jahiliah sangat mengagungkan bulan ini, dan dijadikan sebagai masa sangat terlarang untuk berperang. Karena itu, mereka menyebut bulan ini dengan “Rajab Al-A’sham” (Rajab yang sunyi).

Demikian pula, bulan Sya’ban. Kata ini diambil dari kata “sya’bun”, yang artinya ‘kelompok’ atau ‘golongan’. Disebut Sya’ban, karena pada bulan ini masyarakat jahiliah berpencar, membentuk kelompok-kelompok untuk melakukan peperangan, setelah mereka meninggalkan perang di bulan Rajab. Syawal, diambil dari kata “syalat” yang artinya ‘mengangkat’, karena bulan ini adalah musim di saat unta betina mengangkat ekor mereka karena tidak mau dikawini pejantan. Sementara “Dzulqa’dah” diambil dari kata “al-qa’du”, yang artinya ‘duduk’. Pada bulan ini, masyarakat jahiliah mulai menetap di rumah dan tidak melakukan peperangan, karena bulan ini merupakan awal dari tiga rangkaian bulan haram. Sedangkan Dzulhijjah diambil dari nama ibadah mereka di bulan ini, yaitu berhaji ke Baitullah. (http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27755)

Bagaimana orang arab mencatat sejarah mereka?

Masyarakat Arab tidak memiliki sistem penanggalan yang stabil. Antara satu suku dengan suku yang lain memiliki penanggalan yang berbeda. Ini menyebabkan ketidakseragaman pencatatan tanggal kejadian dan sejarah di zaman jahiliah. Meskipun mereka mencatat kejadian tersebut, namun sebatas secara cerita global, dengan acuan urutan kejadian. Misalnya: Kejadian meninggalnya pemimpin besar mereka, Ka’ab bin Luai sebelum Peristiwa Gajah, Perang Fijar terjadi sekian tahun setelah Peristiwa Gajah, dan seterusnya.

Sistem penanggalan di masa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam

Setelah Islam tersebar melalui dakwah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tahun kamariah ditetapkan dengan awal tahun, dimulai dengan bulan Muharram dan diakhiri dengan bulan Dzulhijjah. Hanya saja, awal tahun dan hitungan tahun yang tetap belum ditentukan, sehingga kaum muslimin menyebut tahun dalam perjalanan hidup mereka dengan nama kejadian paling penting di tahun tersebut. Mereka memberikan nama-nama tahun sebagai berikut:
Tahun pertama: Tahun Izin, karena telah diturunkan izin untuk hijrah dari Mekah ke Madinah.
Tahun kedua: Tahun Al-Amr (perintah), karena telah turun perintah untuk memerangi orang kafir.
Tahun ketiga: Tahun At-Tamhis (pembersihan), karena Allah membersihkan dosa dan kesalahan kaum muslimin setelah kejadian Perang Uhud.
Tahun keempat: Tahun Tarfi`ah (kesepakatan). Dari kata “ra-fa-a”, yang artinya ‘perjanjian damai antara dua kelompok’.
Tahun kelima: Tahun Zilzal (goncangan), sebagai isyarat atas ujian yang dialami kaum muslimin ketika Perang Khandak.
Tahun keenam: Tahun Isti’nas (meminta izin), yang mengisyaratkan kejadian turunnya firman Allah, yang artinya, “Janganlah kalian memasuki rumah yang bukan rumah kalian, sampai kalian meminta izin dan memberi salam kepada penghuninya.” (QS. An-Nur:28)
Tahun ketujuh: Tahun Istighlab (kemenangan), karena di tahun ini, kaum muslimin berhasil mengalahkan orang yahudi daerah Khaibar.
Tahun kedelapan: Tahun Istiwa’ (berjaya). Inilah tahun terjadinya Fathu Mekah (penaklukan kota Mekah).

Tahun kesembilan: Tahun Al-Bara`ah (berlepas diri), yaitu tahun dilaksanakannya Haji Akbar, dan turun ayat yang menjelaskan bahwa Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah berlepas diri dari kaum musyrikin. Tahun ini juga sering disebut dengan “Tahun Wufud” (tamu), karena pada tahun ini, masyarakat Arab dari berbagai penjuru banyak berdatangan ke Madinah dengan berbondong-bondong, untuk menyatakan keislaman mereka kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tahun kesepuluh: Tahun Al-Wada’ (perpisahan). Di tahun ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan Haji Wada’. (Arsip Multaqa Ahlil Hadits, tanggal 14 Maret 2005)

Sistem penanggalan di masa sahabat

Di masa Khulafaur Rasyidun, sistem ketatanegaraan kerajaan islam, sedikit demi sedikit, mulai dirapikan, menyesuaikan perkembangan sistem ketatanegaraan yang berlaku di penjuru dunia, selama tidak melanggar aturan islam. Korespondensi antar-negara telah dilangsungkan berulang kali. Namun, yang bermasalah, kaum muslimin tidak memiliki hitungan tahun yang tetap. Akibatnya, terkadang masing-masing memiliki nama tahun yang berbeda-beda. Ini berlangsung di masa Khalifah Abu Bakar radhiallahu ‘anhu, dan beberapa tahun di masa pemerintahan Umar radhiallahu ‘anhu. Sehingga kita kenal, ada istilah “Tahun Tha’un”, karena pada tahun tersebut, terjadi wabah tha’un yang menyebar di berbagai daerah.

Sampai akhirnya di tahun ketiga pada masa kekhalifahan Umar, datanglah sebuah surat dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiallahu ‘anhu–sahabat yang ditugasi menjadi gubernur di Bashrah–yang isinya, “Sesungguhnya, surat-surat dari Amirul Mukminin (Umar) sering datang kepada kami. Namun kami tidak tahu, kapankah kami harus melaksanakan instruksi surat tersebut. Pernah kami mendapat surat yang ditulis di bulan Sya’ban, dan kami tidak tahu apakah itu Sya’ban tahun ini ataukah tahun kemarin.”
Seketika itu, Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu langsung mengumpulkan para sahabat senior untuk membahas masalah ini. Pertemuan ini dilangsungkan pada tanggal 20 Jumadil Akhir, tahun 17 Hijriah. Mereka sepakat akan mendesaknya proses penentuan penanggalan sebagai acuan kalender islam. Dimulai dari penentuan tahun pertama. Ada yang mengusulkan, tahun kelahiran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai tahun pertama, ada yang mengusulkan dengan tahun diutusnya beliau menjadi rasul, ada yang usul menggunakan kalender romawi atau persia, dan ada beberapa usulan lainnya.

Akhirnya, terbentuklah sebuah keputusan dengan mengambil pendapatnya Ali bin Abi Thalib radliallahu ‘anhu, yang mengusulkan tahun hijrahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah, sebagai tahun pertama. Sementara keputusan penentuan bulan yang pertama diambil berdasarkan pendapat Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, untuk menjadikan bulan Muharram sebagai bulan pertama dalam Islam, karena bulan ini merupakan awal tahun pada kalender arab sebelum Islam.

Di samping itu, Muharram termasuk salah satu bulan haram dan kaum muslimin baru saja menyelesaikan ibadah haji. Penentuan Muharram sebagai bulan pertama tahun Hijriah juga dibangun atas asumsi bahwa pada bulan itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam belum berhijrah dan beliau sampai Madinah sebelum Muharram tahun berikutnya. Beliau mulai berangkat hijrah di akhir bulan Shafar, dan beliau sampai di pintu gerbang Madinah pada hari senin, tanggal 8 Rabiul Awal, kemudian beliau baru masuk Madinah hari Jumat, tanggal 12 Rabiul Awal. Penetapan awal kalender Hijriah bertepatan dengan hari Jumat, tanggal 16 Juli 622 Masehi. (Al-Mufasshal fi Raddi ‘ala Syubuhati A’da Al-Islam, 5:238)

Ditinjau dari asal penamaannya, kalender ini lazim dikenal dengan “kalender kamariah”, karena prinsip penentuan kalender ini berdasarkan siklus perputaran qamar (bulan). Sementara itu, kelender ini juga sering disebut kalender Hijriah, mengingat sejarah penetapan kalender ini bagi kaum muslimin, dikaitkan dengan peristiwa hijrah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Mekah menuju Madinah.

Derajat Hadits: Carilah Ilmu Walaupun di Negeri China

Di dalam sebuah hadits yang shahih Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam mengancam orang yang berdusta atas beliau dengan ancaman masuk ke dalam neraka. Namun, karena berbagai faktor, masih banyak hadits-hadits palsu atau dhaif yang beredar di kalangan kaum muslimin. Padahal, seandainya dia tahu apa yang diucapkannya itu merupakan kedustaan atas Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, dia tidak akan berani melakukannya, kecuali orang yang tidak beriman.
Di antara hadits yang sudah masyhur, hadits tentang perintah mencari ilmu walaupun di negeri China. Matan haditsnya berbunyi,
اُطْلُبُوا الْعِلْمَ وَلَوْ بِالصِّيْنِ فَإِنَّ طَلَبَ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ.
 “Carilah ilmu walaupun ke negeri China, karena sesungguhnya mencari ilmu itu wajib atas setiap muslim.”
Imam as-Sakhawi dalam kitab al-Maqâshid al-Hasanah (hlm. 34) mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan al-Baihaqi dalam asy-Syu’ab, al-Khathib dalam ar-Rihlah dan lainnya, Ibnu Abdilbar dalam Jâmi’ al-Ilm dan ad-Dailami. Kesemuanya berasal dari riwayat Abu Atikah Tharif bin Sulaiman. Sementara Ibnu Abdilbar meriwayatkannya dari jalur Ubaid bin Muhammad dari Ibnu Uyainah dari az-Zuhri. Keduanya berasal dari Anas secara marfu’. Hadits ini dhaif dari dua arah. Bahkan Ibnu Hibban mengatakan, “Hadits ini batil, tidak memiliki asal (sumber).” Ibnu al-Jauzi menyebutkannya dalam al-Maudhu’at (hadits-hadits yang palsu).”
Muhammad bin Darwisy bin Muhammad al-Hut al-Bairuti asy-Syafi’i mengatakan dalam Asna al-Mathâlib (hlm. 58) , “Ibnu Hibban mengatakan, “Hadits ini batil, tidak memiliki asal.” Ibnu al-Jauzi menghukuminya sebagai hadits palsu. Al-Baihaqi dan an-Naisaburi mengatakan, “Sanadnya tidak shahih.”
Al-Hafizh al-Iraqi dalam Takhrîj Ahadits al-Ihyâ` (hlm. 36) mengatakan, “Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Adiy, al-Baihaqi dalam al-Madkhal dan asy-Syu’ab dari hadits Anas. Al-Baihaqi mengatakan, “Matannya masyhur, namun sanad-sanadnya dhaif.”
Syaikh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’îfah (1/600)mengatakan, “Batil.”
Dengan demikian, jelas bahwa hadits tentang perintah mencari ilmu walaupun di negeri China adalah hadits yang batil atau palsu yang tidak boleh dinisbatkan kepada Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.  
Sumber : http://abidun.com/derajat-hadits-carilah-ilmu-walaupun-di-negeri-china/

Sejarah Kalender Hijriah

 Sejarah Terciptanya Kalender Hijriah 

Sebelum Islam, bangsa Arab menggunakan sistem penanggalan berdasarkan peristiwa-peristiwa besar yang di alami bangsa Arab. Misalnya, mereka menggunakan penanggalan berdasarkan peristiwa pembangunan ka’bah pada zaman Ibrahim tahun 1855 S.M., kepemimpinan Amr bin Luhay tahun 260 M, wafatnya Ka’ab Luay tahun 60 M, peristiwa penyerangan pasukan bergajah (tahun Gajah), dan ini yang paling masyhur, tahun 671 M yang bertepatan dengan lahirnya Nabi Muhammad saw, perang Fijar tahun 585 M, peristiwa pembaruan Ka’bah tahun 605 M dan peristiwa-peristiwa lain.

Sistem penanggalan seperti itu tidaklah berlaku untuk semua bangsa Arab. Sering kali terjadi antara satu kabilah dengan kabilah lain memiliki sistem penanggalan yang beda. Yang jelas, mereka sepakat dalam menggunakan sistem kalender qamariah (peredaran bulan terhadap bumi) yang dimulai dari Muharram dan diakhiri dengan Dzulhijjah.

Ada bulan-bulan mulia (haram) yang mereka sakralkan. Jumlahnya ada empat, yaitu Rajab, Dzulqa’dah, Dzulhijjah dan Muharram. Di dalam bulan-bulan ini mereka mengharamkan adanya peperangan atau pertumpahan darah dan di dalam bulan-bulan ini pula mereka melakukan ritual-ritual ibadah haji.

Ketika bangsa Arab memeluk Islam, mereka tetap menggunakan cara-cara penanggalan seperti di atas, yakni menggunakan peristiwa-peristiwa besar sebagai titik permulaan penanggalan.
Pada tahun ketiga kekhalifahan Umar bin Khathab, Abu Musa al-Asy’ari gubernur Bahsra mengirim surat kepada khalifah Umar. Di dalam surat ini ia mengatakan, “Banyak surat Amirul Mukminin yang sampai kepada kami. Namun, kami tidak mengetahui, dengan surat mana kami bekerja. Hal ini karena ada surat yang datang kepada kami yang tertulis bulan Sya’ban. Namun, kami tidak mengetahui bulan Sya’ban tahun sekarang atau tahun kemarin?”

Atas dasar itu, khalifah Umar mengumpulkan para pembesar sahabat untuk mengambil keputusan. Mereka sepakat tentang pembuatan kalender Islam. Namun, mereka berselisih, peristiwa mana yang dijadadikan dasar? Ada yang berpendapat kelahiran Nabi saw, ada yang berpendapat diutusnya Nabi saw, dan bahkan ada yang berpendapat menggunakan kalender Persia atau Romawi.
Akhirnya, mereka sepakat untuk mengambil pendapat Ali bin Abi Thalib ra. yang mengusulkan agar kalender Islam dimulai dari tahun hijrahnya Nabi Muhammad saw. dari Mekah ke Madinah. Mereka juga mengambil pendapat Utsman bin Affan ra. yang mengusulkan agar permulaan tahun dimulai dari bulan Muharram karena hal ini telah berlaku dalam bangsa Arab sejak sebelum Islam.
Sebagaimana yang kita ketahui dari sejarah, hijrah tidaklah terjadi pada bulan Muharram, melainkan terjadi pada akhir bulan Shafar dan sampai di Madinah pada hari Jumat, 12 Rabiul Awal. Akan tetapi, kenapa permulaan tahun tidak dimulai dari bulan Shafar atau Rabiul Awal sebagaiman kejadian yang semestinya dari hijrah Nabi saw.?

Di samping usulan Utsman tadi, hal ini bukanlah sesuatu yang baru. Kita tahu bahwa kalender Masehi dimulai dengan bulan Januari, padahal lahirnya Nabi Isa pada tanggal 25 Desember. Hal ini karena karena bulan Januari merupakan bulan pertama dalam tahun-tahun Romawi sebelumnya.
Awal kalender Hijriah bertepatan dengan hari Jumat, 16 Juli 622 M. Adapun peristiwa pengambilan keputusan tersebut oleh khalifah Umar beserta para pembesar sahabat terjadi pada hari Rabu, 20 Jumadil Akhir 17 H.

Para pembaca, sepatutnya kita menyiarkan kalender hijriah yang muncul dari Islam sebagai pedoman utama aktivitas-aktivitas kita. Hal ini karena hukum-hukum Islam yang ada di dalam kitab-kitab fiqih, misalnya hitungan haid, masa iddah, puasa, kafarah dan sebagainya berdasarkan kalender hijriah.

Senin, 30 April 2012

Bangunan dan Tempat Bersejarah Umat Islam di Jazirah Arab

Sejarah Agama Islam yang panjang meninggalkan beberapa tempat bersejarah yang masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat bersejarah tersebut sangat penting artinya bai umat Islam karena mempunyai nilai historis yang tinggi. Berikut ini adalah beberapa bangunan dan tempat bersejarah bagi umat Islam yang terletak di wilayah Jazirah Arab.
 
MASJIDIL HARAM

Masjdilharam, yang terletak di tengah kota Mekah, merupakan masjid tertua di dunia. Masjid ini selalu ramai dikunjungi umat Islam untuk beribadah salat, umrah, haji dan belajar ilmu agama. Masjidilharam mempunyai tujuh menara dan 19 pintu gerbang yang masing-masing mempunyai nama tersendiri seperti Bab as-Salam (pintu salam), tempat orang yang pertama memasukinya dan akan melakukan tawaf; dan Bab as-Safa (pintu Safa), pintu ke luar menuju Bukit Safa untuk melakukan sai. Di dalam Masjidilharam terdapat Ka'bah, maqam Nabi Ibrahim AS, Hajar Aswad (batu hitam), dan sumur zamzam.
 
MASJIDIL AQSHA

Masjid tertua kedua di dunia setelah Masjidilharam. Masjidilaksa terletak di dalam suatu kompleks di kota Yerusalem, Palestina. Masjidilaksa disebut dalam Al-Qur'an karena berkaitan dengan peristiwa Isra Mikraj Nabi Muhammad SAW melakukan Isra (perjalanan malam hari) dari Masjidilharam ke Masjidilaksa, sebelum bermikraj ke Sidratulmuntaha. Masjidilaksa termasuk di antara masjid yang perlu dikunjungi oleh kaum muslim sesuai anjuran Nabi Muhammad SAW. Dalam kompleks Masjidilaksa terdapat pula Qubbah as-Sakhrah atau Masjid Umar (The Dome of the Rock). Masjidilaksa dibangun di atas lokasi Kenisah Sulaiman atau Haykal Sulaiman (tempat ibadah Yahudi)
 
MASJID NABAWI

Masjid Nabawi merupakan masjid pertama yang dibangun Nabi Muhammad SAW setelah hijrah ke Madinah. Lokasi Masjid Nabawi adalah di kota Madinah, Arab Saudi. Masjid Nabawi dibanngun pada Rabiulawal 1/September 622. Pada masa Nabi SAW dan al-Khulafa ar-Rasyidun (empat khalifah besar), Masjid Nabawi berfungsi sebagai tempat beribadah, menurut ilmu dan merencanakan kegiatan kemasyarakatan. Hingga kini, jemaah haji selalu berziarah ke makam Nabi SAW yang terletak di dalam kompleks Masjid Nabawi. Selain itu, di Masjid Nabawi terdapat pula makam Abu Bakar as-Siddiq dan Umar bin Khattab. Pada bagian lain dari Masjid Nabawi terdapat taman (raudah) yang terletak di antara bekas rumah Nabi SAW dan mimbar.
 
SAFA DAN MARWAH

Bukit Safa dan Marwah terletak di sebelah selatan dan utara Masjidilharam, Mekah. Bukit Safa dan Marwah merupakan tempat Siti Hajar, istri Nabi Ibrahim AS, mencarikan air untuk anaknya, Ismail AS. Siti Hajar berlari mendaki Bukit Safa kemudian turun menuju Bukit Marwah sampai tujuh kali dan akhirnya secara tiba-cita keluarlah air zamzam dari dalam tanah. Peristiwa ini kemudian diabadikan umat Islam dengan melakukan sai (lari-lari kecil) pada saat menunaikan ibadah haji.
 
GUA HIRA

Gua Hira adalah suatu celah sempit di Gunung Hira atau Jabal an-Nur (Gunung Cahaya). Lokasi Gua Hira terletak di pinggir jalan menuju Ji'ranah, kkurang lebih 6 km di sebelah timur laut kota Mekah, Arab Saudi. Gua ini digunakan Nabi Muhammad SAW untuk bertafakur dan beribadah sebelum menjadi nabi dan menerima wahyu pertama dari Allah SWT sekaligus dinobatkan sebagai rasul.
 
ARAFAH

Arafah adalah padang pasir yang dijadikan tempat pelaksanaan wukuf (berdiam diri sejenak) bagi jemaah haji. Padang Arafah terletak sekitar 25 km dari Mekah, Arab Saudi. Di tempat ini, Nabi Muhammad SAW menyampaikan khotbah terakhir tentang inti ajaran Islam. Di tengah-tengah padang Arafah terdapat bukit-bukit kecil yang dinamakan "Jabal ar-Rahmah" yang dipercaya sebagai tempat Nabi Adam AS dan Hawa bertemu kembali setelah terpisah karena diusir dari surga. Mungkin itulah sebabnya perbukitan itu disebut Jabal ar-Rahmah (bukit penuh rahmat). Dalam pertemuan yang penuh rahmat itu, Adam dan Hawa saling memahami keadaan masing-masing sehingga lahirlah keluarga dan kehidupan sosial pertama di dunia.
 
LEMBAH BADAR

Lembar Badar, yang terletak di antara Madinah dan Mekah, merupakan suatu daerah subur yang mempunyai sumber air. Lembar Badar adalah tempat terjadinya Perang Badar (2 H) antara kaum muslim dan kaum musyrik Quraisy. Perang Badar disebut sebagai perang akidah karena perang ini terjadi untuk membela kebenaran tentang ajaran Islam. Dalam pertempuran ini, kaum muslim mendapat kemenangan besar sehingga perang ini disebut juga Perang Badar al-Kubra (yang besar)
 
BUKIT UHUD

Bukit Uhud yang terletak sekitar empat kilometer sebelah timur laut Madinah merupakan tempat berlangsungnya Perang Uhud (3 H). Perang Uhud terjadi antara kaum muslim dna kaum musyrik Quraisy. Meskipun memperoleh kemenangan, kaum muslim mengalami kerugian akibat banykanya pahlawan muslimin yang gugur dalam prang ini, salah satunya adalah Hamzah bin Abdul Muthalib paman Nabi Muhammad SAW.
 
MASJID QUBA

Masjid Quba merupakan masjid pertama yang didirikan Nabi Muhammad SAW pada saat hijrah ke Madinah (622 M). Masjid ini terletak sekitar 5 km dari Masjid Nabawi di Madinah. Nabi SAW membangun sendiri arah kiblat masjid ini dari batu. Arah kiblat ini mengalami dua kali perubahan. Pada awalnya arah kiblat menghadap ke Baitulmakdis (Yerusalem), kemudian diubah menjadi ke arah Ka'bah (Mekah). Masjid Quba mengalami beberapa kali perbaikan dan perluasan. Meskipun secaraukuran masjid ini lebih kecil dibandingkan dengan masjid bersejarah lainnya, namun Masjid Quba menjadi salah satu tempat ziarah penting di Madinah.
 
BUKIT MINA

Bukit Mina merupakan kawasan perbukitan sepanjang 3,2 km yang terletak di antara kota suci Mekah dan Muzdalifah. Di Bukit Mina terdapat tiga buah tugu atau jumrah yang wajib di lempar oleh setiap orang yang melakukan ibadah haji. Ketiga tugu disebut dengan Jumrah Ula (pertama) yang disebut juga Jumrah Sugra, Jumrah Wusta (tengah) dan Jumrah Aqabah (akhir) yang disebut juga jumrah Kubra. Ketiga tugu tersebut merupakan perwujudan dari iblis yang ingin menggagalkan perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk mengurbankan putranya, Ismail AS.

Referensi
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, etc. Ensiklopedi Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
  • Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.

Dinasti Islam di Dunia (mulai th 661 M - sekarang)

DINASTI ISLAM muncul setelah masa al-Khulafa ar_Rasyidun berakhir. Tradisi pemerintah Islam tetap dipertahankan bersamaan dengan upaya perluasan wilayah Islam ke seluruh dunia. Berikut adalah beberapa dinasti Islam yang pernah berkuasa di dunia.
 
UMAYAH (40 H/661 M - 132 H/750 M)

kekuasaan dinasti ini meliputi daerah Timur Tengah, Afrika Utara dan Spanyol. Dinasti Umayah berasal dari keturunan Umayah bin Abdul Syams bin Abdul Manaf, pemimpin sukua Quraisy terpandang. Dinasti Umayah muncul setelah Ali bin Abi Thalib (40 H/661 M) meninggal. Mu'awiyah, keturunan Bani Umayah dari keluarga Harb, meneruskan kekuasaan dengan mendirikan Dinasti Umayah. Dinasti Umayah terbagi menjadi dua periode kekuasaan yaitu Umayah Damascus (Suriah) dan Umayah Cordoba (Spanyol). Kejayaan Dinasti Umayah Damascus terdapai pada masa Khalifah al-Walid. Berakhirnya Dinasti Umayah Damascus terjadi ketika Marwan II dibunuh tentara Abbasiyah pada 132 H/750 M. Selanjutnya Abdurrahman (cucu Hisyam) meloloskan diri ke Spanyol dan mendirikan Dinasti Umayah Cordoba. Dinasti Umayah Cordoba mengalami kejayaan pada masa Abdurrahman III dan al-Hakam II. Peninggalan Dinasti Umayah Damascus berupa Katedral St. John di Damascus yang diubah menjadi masjid, Katedral di Hims yang digunakan sebagai masjid dan gereja dan tempat istirahat di padang pasir seperti Qusair Amrah dan al-Musatta, adapun peninggalan Dinasti Umayah Cordoba adalah Masjid Cordoba di Spanyol.
 
ABBASIYAH (132/750 M - 656 H/1258 M)

Dinasti ini mempunyai wilayah kekuasan yang meliputi Irak, Suriah, Semenanjung Arabia, Uzbekistan dan Mesir bagian timur. Pendiri dinasti sekaligus khalifah pertama adalah Abu Abbas as-Saffah. Kekuasaan Dinasti Abbaisyah dibagi menjadi empat periode, yaitu periode awal 132 H/750 M-232 H/847 M), periode lanjutan (232 H/847 M-333 H/945 M), periode Buwaihi (333 H/945 M- 447 H/1055 M), dan periode Seljuk (447 H/1055 M- 656 H/1258 M). Masa panjang dinasti ini dilalui dengan pola pemerintahan yang berubah-ubah seusuai perubahan politik, sosial, budaya dan penguasa. Dinasti Abbasiyah mengalami zaman keemasan ketika dipimpin oleh as-Saffah, al-Mansur, al-Mahdi, Harun ar-Rasyid, al-Amin, al-Ma'mum, Ibragim, al-Mu'tasim dan al-Wasiq. kekuasaan Abbasiyah melemah dengan adanya pertentangan dan pemberontakan dari dalam negeri serta ancaman dari pihak luar, seperti Bizantum (Romawi Timur) dan orang Mongol. Dinasti Abbasiyah runtuh setelah orang Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan, cucu Jengiz Khan, menghancurkan Baghdad. Peninggalan Dinasti Abbasiyah meliputi antaran lain Baitulhikmah, yaitu suatu lembaga pusat kajian keilmuan yang didirikan oleh Khalifah Harun ar-Rasyid, dan Masjid al-Mutawakkil yang mempunyai menara spiral di Samarra (Irak).
 
IDRISIYAH (172 H/789 M - 314 H/926 M)

Wilayah kekuasaannya adalah Magribi (Maroko). Dinasti ini didirikan oleh Idris I bin Abdullah, cucu Hasan bin Ali bin Abi Thalib, dan merupakan dinasti pertama yang beraliran Syiah, terutama di Maroko dan Afrika Utara. Sultan Idrisiyah terbesar adalah Yahya IV (292 H/905 M-309 H/922 M) yang berhasil merestorasi Volubilis, kota Romawi, menjadi kota Fez. Dinasti Idrisiyah berperan dalam menyebarkan budaya dan agama Islam ke bangsa Berber dan penduduk asli. Dinasti ini runtuh setelah ditaklukkan oleh Dinasti Fatimiyah pada 374 H/985 M. Dinasti Idrisiyah antara lain meninggalkan Masjid Karawiyyin dan Masjid Andalusia yang didirikan pada 244 H/859 M.
 
AGHLABIYAH (184 H/800 M - 296 H/909 M)

Pusat pemerintahannya terletak di Qairawan, Tunisia. Wilayah kekuasaan Aghlabiyah meliputi Tunisia dan Afrika Utara. Pemimpin pertama dinasti ini adalah Ibrahim I bin al-Aglab, seorang panglima dari Khurasan Aghlabiyah berperan dalam mengganti bahasa latin dengan bahasa Arab serta menjadikan Islam agama mayoritas. Dinasti ini berhasil menduduki Sicilia dan sebagian besar Italia Selatan, Sardinia, Corsica, bahkan pesisir Alpen pada abad ke-9. Dinasti Aghlabiyah berkahir setelah ditaklukan oleh Dinasti Fatimiyah. Peninggalan dinasti ini antara lain adalah Masjid Raya Qairawan dan Masjid Raya di Tunis.
 
SAMANIYAH (203 H/819 M - 395 H/1005 M)

Wilayah kekuasaan Dinasti Samaniyah meliputi daerah Khurasan (Irak) dab Transoksania (Uzbekistan) yang terletak di sebelah timur Baghdad. Ibukotanya adalah Bukhara. Dinasti Samaniyah didirikan oleh Ahmad bin Asad bin Samankhudat, keturunan seorang bangsawan Balkh (Afghanistan Utara). Puncak kejayaan tercapai pada masa pemerintaha Isma'il II al-Muntasir, khalifah terakhir Samaniyah, tidak dapat mempertahankan wilayahnya dari serangan Dinasti Qarakhan dan Dinasti Ghaznawi. Dinasti Samaniyah berakhir setelah Isma'il II terbunuh pada 395 H/1005 M. Peninggalan Dinasti Samaniyah berupaa Mausoleum Muhammad bin Ismail al-Bukhari, seorang ilmuwan muslim.
 
SAFARIYAH (253 H/867 M - 900/1495 M)

Dinasti Safariyah merupakan sebuah dinasti Islam yang paling lama berkuasa di dunia. Wilayah kekuasaan Dinasti Safariyah meliputi kawasan Sijistan, Iran. Pendiri dinasti ini adalah Ya'qub bin Lais as-Saffar, seorang pemimpin kelompok Khawarij di Porpinsi Sistan (Iran). Dinasti Safariyah di bawah kepemimpinan Amr bin Lais berhasil melebarkan wilayah kekuasaanya sampai Afghanistan Timur. Pada masa itulah kekuasaan Dinasti Safariyah mencapi puncaknya. Dinasti ini semakin melemah karena pemberontakan dan kekacauan dalam pemerintahan. Akhirnya Dinasti Ghaznawi mengambil alih kekuasaan Dinasti Safariyah. Setelah penguasa terakhir Dinasti Safariyah, Khalaf, meninggal dunia, berakhir pula kekuasaan Dinasti Safariyah di Sijistan.
 
TULUN (254 H/868 M - 292 H/905 M)

Dinasti Tulun adalah sebuah dinasti Islam yang masa pemerintahannya paling cepat berakhir. Wilayah kekuasaan dinasti Tulun meliputi Mesir dan Suriah. Pendirianya adalah Ahmad bin Tulun, putra seorang Turki yang diutus oleh gubernur Transoksania (Uzbekistan) emmbawa upeti ke Abbasiyah. Dinasti Tulun yang memerintah sampai 38 tahun berakhir ketika dikalahkan oleh pasukan Abbasiyah dan setelah Khalifah Syaiban bin Tulun terbunuh.
 
HAMDANIYAH (292 H/905 M - 394 H/1004 M)

Wilayah kekuasaanya meliputi Aleppo (Suriah) dan Mosul (Irak). Nama dinasti ini dinisbahkan kepada pendirinya, Hamdan bin Hamdun yang bergelar Abul Haija'. Dinasti Hamdaniyah di Mosul dipimpin oleh Hasan yang menggantikan ayahnya, Abu al-Haija;. Kepemimpinan Hasan mendapat pengakuan dari pemerintah Baghdad. Dinasti Hamdaniyah di Aleppo didirikan oleh Ali Saifuddawlah, suadara dari penguasa Hamdaniyah Mosul. Ali Saifuddawlah merebut Aleppo dari Dinasti Ikhsyidiyah. Dinasti Hamdaniyah di Mosul maupun di Aleppo berakhir ketika para pemimpin meninggal.
 
FATIMIYAH (296 H/909 M - 566 H/1171 M)

Wilayah kekuasaannya meliputi Afrika Utara, Mesir dan Suriah. Berdirinya Dinasti Fatimiyah dilatarbelakangi oleh melemahnya Dinasti Abbasiyah. Ubaidillah al-Mahdi mendirikan dinasti Fatimiyah yang lepas dari kekuasaan Abbasiyah. Dinasti ini mengalami puncak kejayaan pada masa kepemimpinan al-Aziz. Kebudayaan Islam berkembang pesat pada masa Dinasti Fatimiyah, yang ditandai dengan berdirinya Masjid al-Azhar. Masjid ini berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti Fatimiyah berakhis setelah al-Adid, khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah, jatuh sakit. Salahudin Yusub al-Ayyubi, wazir Dinasti Fatimiyah menggunakan kesempatan tersebut dengan mengakui kekuasaan khalifah Abbasiyah, al-Mustadi. Peninggalan dinasti ini meliputi antara lain Masjid al-Azhar yang sekarang terkenal dengan Universitas al-Azhar-nya, Bab al-Futuh (Benteng Futuh) dan Masjid al-Akmar di Cairo, Mesir.
 
BUWAIHI (33 H/945M - 447 H/1055M)

Wilayah kekuasaan Dinasti Buwaihi meliputi Irak dan Iran. Dinasti ini dibangun oleh tiga bersaudara yaitu Ali bin Buwaihi, Hasan bin Buwaihi dan Ahmad bin Buwaihi. Perjalanan Dinasti Buwaihi dapat dibagi dua periode. Periode pertama merupakan periode pertumbuhan dan konsolidasi sedangkan periode kedua daalh periode defensi, khususnya di wilayah Irak dan Iran Tengah. Dinasti Buwaihi mengalami perkembangan pesat ketika Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah. Dinasti Buwaihi mengalami kemunduran dengan adanya pengaruh Tugril Beg dari Dinasti Seljuk. Peninggalan dinasti ini antara lain berupa observatorium di Baghdad dan sejumlah perpustakaan di Syiraz, ar-Rayy dan Isfahan (Iran).
 
SELJUK (469 H/1077 M - 706 H/1307 M

Wilayah kekuasaannya meliputi Irak, Iran, Kirman dan Suriah. Dinasti Seljuk dibagi menjadi lima cabang yaitu Seljuk Iran, Seljuk Irak, Seljuk Kirman, Seljuk Asia Kecil dan Seljuk Suriah. Dinasti Seljuk didirikan oleh Seljuk bin Duqaq dari suku bangsa Guzz dari Turkestan. Akan tetapi tokoh yang dipandang sebagai pendiri dinasti seljuk yang sebenarnya adalah Tugril Beq. Ia berhasil memperluas wilayah kekuasaan Dinasti Seljuk dan mendapat pengakuan dari Dinasti Abbasiyah. Dinasti Seljuk melemah setelah para pemimpinnya meninggal atau ditaklukkan oleh bangsa lain. Peninggalan dinasti ini adalah Kizil Kule (Menara Merah) di Alanya, Turki Selatan, yang merupakan pangkalan pertahanan Bani Seljuk dan Masjid Jumat di Isfahan, Iran.
 
AYUBIYAH (569 H/1174 M - 650 H/1252 M)

Pusat pemerintahan Dinasti Ayubiyah adalah Cairo, Mesir. Wilayah kekuasaannya meliputi kawasan Mesir, Suriah dan Yaman. Dinasti Ayubiyah didirikan Salahudin Yusuf al-Ayyubi, setelah menaklukan khalifah terakhir Dinasti Fatimiyah, al-Adid. Salahudin berhasil menaklukan daerah Islam lainnya dan pasukan salib. Selain dikenal sebagai panglima perang, Salahudin juga mendorong kemajuan di bidang agama dan pendidikan. Berakhirnya masa pemerintahan Ayubiyah ditandai dengan meninggalnya Malik al-Asyraf Muzaffaruddin, sultan terakhir dan berkuasanya Dinasti Mamluk. Peninggalan Ayubiyah adalah Benteng Qal'ah al-Jabal di Cairo, Mesir.
 
DELHI (602 H/1206 M - 962 H/1555 M)

Wilayah kekuasaan Dinasti Delhi terletak di India Utara. Dinasti Delhi mengalami lima kali pergantian kepemimpinan yaitu Dinasti Mamluk, Dinasti Khalji, Dinasti Tuglug, Dinasti Sayid dan Dinasti Loyd. Pada periode pertama, Delhi dipimpin Dinasti Mamluk selama 84 tahun. Mamluk merupakan keturunan Qutbuddin Aybak, seorang budak dari Turki. Dinasti Khalji dari Afghanistan memerintah selama 30 tahu. Dinasti Tuglug memerintah selama 93 tahun, sedangkan Dinasti Sayid selama 37 tahun. Penguasa terakhir Delhi adalah Dinasti Lody yang memerintah selama 75 tahun. Peninggalan Dinasti Delhi antara lain adalah Masjid Kuwat al-Islam dan Qutub Minar yang berupa menara di Lalkot, Delhi (India)
 
MAMLUK MESIR (648 H/1250 M - 923 H/1517 M)

Wilayah kekuasaan Dinasti Mamluk Mesir dan Suriah. Dinasti Mamluk berasal dari golongan hamba yang dimiliki oleh para sultan dan amir, yang dididik secara militer oleh tuan mereka. Dinasti Mamluk yang memerintah di Mesir dibagi dua yaitu Mamluk Bahri dan Mamluk Burji. Sultan pertama Dinasti Mamluk Bahri adalah Izzudin Aibak, Sultan Dinasti Mamluk Bahri yang terkenal antara lain adalah Qutuz, Baybars, Qalawun dan Nasir Muhammad bin Qalawun. Baybars adalah sultan Dinasti Mamluk Bahri yang berhasil membangun pemerintahan yang kuat dan berkuasa selama 17 tahun. Dinasti Mamluk Burji kemudian mengambil alih pemerintahan dengan menggulingkan sultan Mamluk Bahri terakhir, as-Salih Hajii bin Sya'ban. Sultan pertama penguasa Dinasti Mamluk Burji adalah Barquq (784 H/1382 M-801 H/1399 M). Dinasti Mamluk Mesir memberikan sumbangan besar bagi sejarah Islam dengan mengalahkan kelompok Nasrani Eropa yang menyerang Syam (Suriah). Selain itu, Dinasti Mamluk Mesir berhasil mengalahkan bangsa Mongol, merebut dan mengislamkan Kerajaan Nubia (Ethiopia), serta menguasai Pulau Cyprus dan Rhodos. Dinasti Mamluk Mesir berakhir setelah al-Asyras Tuman Bai, sultan terakhir, dihukum gantung oleh pasukan Usmani Turki. Peninggalan Dinasti Mamluk antara lain berupa Masjid Rifai, Mausoleum Qalawun dan Masjid Sultan Hassan di Cairo.
 
MUGHAL (931 H/1525 M - 1275 H/1858 M)

Wilayah kekuasaan dinasti ini terletak di India. Dinasti Mughal didirikan oleh Zahiruddin Muhammad Babur, putra pertama Umar Syeikh Mirza, seorang penguasa Fargana di Turkistan (Transoksania). Dinasti Mughal dimulai ketika Babur menguasai Punjab dan meruntuhkan Dinasti Lody di Delhi. Dinasti Mughal menyebabkan terpusatnya daerah di India yang semula oleh gubernur, serta meluasnya politik Islam di wilayah India. Dinasti Mughal sangat memperhatikan pengembangan Islam, terutama di bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan. Dinasti Mughal mendirikan khanqah (pesantren), yang merupakan pusat studi Islam dan ilmu pengetahuan. Dinasti Mughal juga memperhatikan pengembangan peradaban, terutama di bidang seni lukis, seni musik dan seni bangunan. Hal ini antara lain terlihat dari peninggalannya berupa Istana Hawa Mahal di Jaipur, red Fort (Benteng Merah), Delhi, Taj Mahal di Agra dan Masjid Badsyahi di Lahore. Dinasti ini runtuh setelah Inggris mulai menancapkan kekuasaanya di India. Bahadur II, sultan terakhir, diusir dari istananya oleh penguasa Inggris.
 
USMANI/OTTOMAN (699 H/1300 M - 1341 H/1922 M)

Dinasti yang pusat pemerintahannya di Istanbul, Turki, ini mempunyai wilayah kekuasaan paling luas. Wilayahnya meliputi sebagian Asia, Afrika dan Eropoa. Dinasti Usmani merupakan satu di antara tiga dinasti Islam yang besar pada abad Pertengahan, selain Dinasti Safawi di Persia (Iran) dan Dinasti Mughal di India. Dalam sejarah Islam, periode itu disebut juga Masa Tiga Kerajaan Besar. Dinasti Usmani menjadi negara besar setelah berhasil menaklukan Bizantium (856 H/1453 M) dan berkuasa lebih dari 6 abad. Dinasti ini didirikan oleh Usman, putra seorang pemimpin suku Kayi yang bernama Artogrol. Dinasti Usmani berhasil menyebarkan Islam sampai ke daratan Eropa. Puncak kejayaan dinasti ini tercapai pada masa pemerintahan Sulaiman I (The Great, The Magnificent, al-Qanuni). Dinasti Usmani kemudian semakin melemah akibat pemberontakan internal dan kalah perang melawan bangsa Eropa. Pada perkembangan selanjutnya, Dinasti Usmani mengalami masa modernisasi (1839-1924), yang ditandai dengan pembaruan di bidang politik, administrasi dan kebudayaan. DInasti Usmani berakhir dan berganti menjadi negara modern yang berbentuk republik yang sekuler pada 1924. Pendirian republik Turki dipelopori oleh Mustafa Kemal Pasya Ataturk. Ia menanamkan paham nasionalisme dan menghapuskan kekuasaan sultan. ada banyak peninggalan Dinasti Usmani, antara lain Masjid Sulaiman, Masjid al-Muhammadi, Masjid Abu Ayub al-Ansari dan Masjid Aya Sofia di Istanbul yang berasal dari renovasi sebuah gereja.

Referensi
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Prof. Dr. Abdul Aziz Dahlan, Prof. Dr. Nurcholish Madjid, etc. Ensiklopedi Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2005.
  • Prof. Dr. Nurcholish Madjid, Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.

Hubungan Hadis dengan Al-Quran

Al-hadits oleh para ulama didefinisikan seperti definisi Al-Sunnah, yaitu "Segala sesuatu yang dinisbahkan kepada Muhammad saw., baik ucapan, perbuatan dan taqrir (ketetapan), maupun sifat fisik dan psikis, baik sebelum beliau menjadi nabi maupun sesudahnya." Ulama ushul fiqh, membatasi pengertian hadis hanya pada "ucapan-ucapan Nabi Muhammad saw. yang berkaitan dengan hukum"; sedangkan bila mencakup pula perbuatan dan taqrir beliau yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai Al-Sunnah.

Pengertian hadis seperti yang dikemukakan oleh ulama ushul tersebut, dapat dikatakan sebagai bagian dari wahyu Allah SWT yang tidak berbeda dari segi kewajiban menaatinya dengan ketetapan-ketetapan hukum yang bersumber dari wahyu Al-Quran.

Sementara itu, ulama tafsir mengamati bahwa perintah taat kepada Allah dan Rasul-Nya yang ditemukan dalam Al-Quran dikemukakan dengan dua redaksi berbeda. Pertama adalah Athi'u Allah wa al-rasul, dan kedua adalah Athi'u Allah wa athi'u al-rasul. Perintah pertama mencakup kewajiban taat kepada beliau dalam hal-hal yang sejalan dengan perintah Allah SWT; karena itu, redaksi tersebut mencukupkan sekali saja penggunaan kata athi'u. Perintah kedua mencakup kewajiban taat kepada beliau walaupun dalam hal-hal yang tidak disebut secara eksplisit oleh Allah SWT dalam Al-Quran, bahkan kewajiban taat kepada Nabi tersebut mungkin harus dilakukan terlebih dahulu --dalam kondisi tertentu-- walaupun ketika sedang melaksanakan perintah Allah SWT, sebagaimana diisyaratkan oleh kasus Ubay ibn Ka'ab yang ketika sedang shalat dipanggil oleh Rasul saw. Itu sebabnya dalam redaksi kedua di atas, kata athi'u diulang dua kali, dan atas dasar ini pula perintah taat kepada Ulu Al-'Amr tidak dibarengi dengan kata athi'u karena ketaatan terhadap mereka tidak berdiri sendiri, tetapi bersyarat dengan sejalannya perintah mereka dengan ajaran-ajaran Allah dan Rasul-Nya. (Perhatikan Firman Allah dalam QS 4:59). Menerima ketetapan Rasul saw. dengan penuh kesadaran dan kerelaan tanpa sedikit pun rasa enggan dan pembangkangan, baik pada saat ditetapkannya hukum maupun setelah itu, merupakan syarat keabsahan iman seseorang, demikian Allah bersumpah dalam Al-Quran Surah Al-Nisa' ayat 65.

Tetapi, di sisi lain, harus diakui bahwa terdapat perbedaan yang menonjol antara hadis dan Al-Quran dari segi redaksi dan cara penyampaian atau penerimaannya. Dari segi redaksi, diyakini bahwa wahyu Al-Quran disusun langsung oleh Allah SWT. Malaikat Jibril hanya sekadar menyampaikan kepada Nabi Muhammad saw., dan beliau pun langsung menyampaikannya kepada umat, dan demikian seterusnya generasi demi generasi.

Redaksi wahyu-wahyu Al-Quran itu, dapat dipastikan tidak mengalami perubahan, karena sejak diterimanya oleh Nabi, ia ditulis dan dihafal oleh sekian banyak sahabat dan kemudian disampaikan secara tawatur oleh sejumlah orang yang --menurut adat-- mustahil akan sepakat berbohong. Atas dasar ini, wahyu-wahyu Al-Quran menjadi qath'iy al-wurud. Ini, berbeda dengan hadis, yang pada umumnya disampaikan oleh orang per orang dan itu pun seringkali dengan redaksi yang sedikit berbeda dengan redaksi yang diucapkan oleh Nabi saw. Di samping itu, diakui pula oleh ulama hadis bahwa walaupun pada masa sahabat sudah ada yang menulis teks-teks hadis, namun pada umumnya penyampaian atau penerimaan kebanyakan hadis-hadis yang ada sekarang hanya berdasarkan hafalan para sahabat dan tabi'in. Ini menjadikan kedudukan hadis dari segi otensititasnya adalah zhanniy al-wurud.

Walaupun demikian, itu tidak berarti terdapat keraguan terhadap keabsahan hadis karena sekian banyak faktor -- baik pada diri Nabi maupun sahabat beliau, di samping kondisi sosial masyarakat ketika itu, yang topang-menopang sehingga mengantarkan generasi berikut untuk merasa tenang dan yakin akan terpeliharanya hadis-hadis Nabi saw.
 
Fungsi Hadis terhadap Al-Quran

Al-Quran menekankan bahwa Rasul saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah (QS 16:44). Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fungsinya.

'Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh Al-Azhar, dalam bukunya Al-Sunnah fi Makanatiha wa fi Tarikhiha menulis bahwa Sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan Al-Quran dan fungsi sehubungan dengan pembinaan hukum syara'. Dengan menunjuk kepada pendapat Al-Syafi'i dalam Al-Risalah, 'Abdul Halim menegaskan bahwa, dalam kaitannya dengan Al-Quran, ada dua fungsi Al-Sunnah yang tidak diperselisihkan, yaitu apa yang diistilahkan oleh sementara ulama dengan bayan ta'kid dan bayan tafsir. Yang pertama sekadar menguatkan atau menggarisbawahi kembali apa yang terdapat di dalam Al-Quran, sedangkan yang kedua memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat Al-Quran.

Persoalan yang diperselisihkan adalah, apakah hadis atau Sunnah dapat berfungsi menetapkan hukum baru yang belum ditetapkan dalam Al-Quran? Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada 'ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.

Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT. Ketika Rasul saw. melarang seorang suami memadu istrinya dengan bibi dari pihak ibu atau bapak sang istri, yang pada zhahir-nya berbeda dengan nash ayat Al-Nisa' ayat 24, maka pada hakikatnya penambahan tersebut adalah penjelasan dari apa yang dimaksud oleh Allah SWT dalam firman tersebut.

Tentu, jalan keluar ini tidak disepakati, bahkan persoalan akan semakin sulit jika Al-Quran yang bersifat qathi'iy al-wurud itu diperhadapkan dengan hadis yang berbeda atau bertentangan, sedangkan yang terakhir ini yang bersifat zhanniy al-wurud. Disini, pandangan para pakar sangat beragam. Muhammad Al-Ghazali dalam bukunya Al-Sunnah Al-Nabawiyyah Baina Ahl Al-Fiqh wa Ahl Al-Hadits, menyatakan bahwa "Para imam fiqih menetapkan hukum-hukum dengan ijtihad yang luas berdasarkan pada Al-Quran terlebih dahulu. Sehingga, apabila mereka menemukan dalam tumpukan riwayat (hadits) yang sejalan dengan Al-Quran, mereka menerimanya, tetapi kalau tidak sejalan, mereka menolaknya karena Al-Quran lebih utama untuk diikuti."

Pendapat di atas, tidak sepenuhnya diterapkan oleh ulama-ulama fiqih. Yang menerapkan secara utuh hanya Imam Abu Hanifah dan pengikut-pengikutnya. Menurut mereka, jangankan membatalkan kandungan satu ayat, mengecualikan sebagian kandungannya pun tidak dapat dilakukan oleh hadis. Pendapat yang demikian ketat tersebut, tidak disetujui oleh Imam Malik dan pengikut-pengikutnya. Mereka berpendapat bahwa al-hadits dapat saja diamalkan, walaupun tidak sejalan dengan Al-Quran, selama terdapat indikator yang menguatkan hadis tersebut, seperti adanya pengamalan penduduk Madinah yang sejalan dengan kandungan hadis dimaksud, atau adanya ijma' ulama menyangkut kandungannya. Karena itu, dalam pandangan mereka, hadis yang melarang memadu seorang wanita dengan bibinya, haram hukumnya, walaupun tidak sejalan dengan lahir teks ayat Al-Nisa' ayat 24.

Imam Syafi'i, yang mendapat gelar Nashir Al-Sunnah (Pembela Al-Sunnah), bukan saja menolak pandangan Abu Hanifah yang sangat ketat itu, tetapi juga pandangan Imam Malik yang lebih moderat. Menurutnya, Al-Sunnah, dalam berbagai ragamnya, boleh saja berbeda dengan Al-Quran, baik dalam bentuk pengecualian maupun penambahan terhadap kandungan Al-Quran. Bukankah Allah sendiri telah mewajibkan umat manusia untuk mengikuti perintah Nabi-Nya?
Harus digarisbawahi bahwa penolakan satu hadis yang sanadnya sahih, tidak dilakukan oleh ulama kecuali dengan sangat cermat dan setelah menganalisis dan membolak-balik segala seginya. Bila masih juga ditemukan pertentangan, maka tidak ada jalan kecuali mempertahankan wahyu yang diterima secara meyakinkan (Al-Quran) dan mengabaikan yang tidak meyakinkan (hadis).
 
Pemahaman atas Makna Hadis

Seperti dikemukakan di atas, hadis, dalam arti ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw., pada umumnya diterima berdasarkan riwayat dengan makna, dalam arti teks hadis tersebut, tidak sepenuhnya persis sama dengan apa yang diucapkan oleh Nabi saw. Walaupun diakui bahwa cukup banyak persyaratan yang harus diterapkan oleh para perawi hadis, sebelum mereka diperkenankan meriwayatkan dengan makna; namun demikian, problem menyangkut teks sebuah hadis masih dapat saja muncul. Apakah pemahaman makna sebuah hadis harus dikaitkan dengan konteksnya atau tidak. Apakah konteks tersebut berkaitan dengan pribadi pengucapnya saja, atau mencakup pula mitra bicara dan kondisi sosial ketika diucapkan atau diperagakan? Itulah sebagian persoalan yang dapat muncul dalam pembahasan tentang pemahaman makna hadis.

Al-Qarafiy, misalnya, memilah Al-Sunnah dalam kaitannya dengan pribadi Muhammad saw. Dalam hal ini, manusia teladan tersebut suatu kali bertindak sebagai Rasul, di kali lain sebagai mufti, dan kali ketiga sebagai qadhi (hakim penetap hukum) atau pemimpin satu masyarakat atau bahkan sebagai pribadi dengan kekhususan dan keistimewaan manusiawi atau kenabian yang membedakannya dengan manusia lainnya. Setiap hadis dan Sunnah harus didudukkan dalam konteks tersebut.

Al-Syathibi, dalam pasal ketiga karyanya, Al-Muwafaqat, tentang perintah dan larangan pada masalah ketujuh, menguraikan tentang perintah dan larangan syara'. Menurutnya, perintah tersebut ada yang jelas dan ada yang tidak jelas. Sikap para sahabat menyangkut perintah Nabi yang jelas pun berbeda. Ada yang memahaminya secara tekstual dan ada pula yang secara kontekstual.
Suatu ketika, Ubay ibn Ka'ab, yang sedang dalam perjalanan menuju masjid, mendengar Nabi saw. bersabda, "Ijlisu (duduklah kalian)," dan seketika itu juga Ubay duduk di jalan. Melihat hal itu, Nabi yang mengetahui hal ini lalu bersabda kepadanya, "Zadaka Allah tha'atan." Di sini, Ubay memahami hadis tersebut secara tekstual.

Dalam peperangan Al-Ahzab, Nabi bersabda, "Jangan ada yang shalat Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah." Sebagian memahami teks hadis tersebut secara tekstual, sehingga tidak shalat Ashar walaupun waktunya telah berlalu --kecuali di tempat itu. Sebagian lainnya memahaminya secara kontekstual, sehingga mereka melaksanakan shalat Ashar, sebelum tiba di perkampungan yang dituju. Nabi, dalam kasus terakhir ini, tidak mempersalahkan kedua kelompok sahabat yang menggunakan pendekatan berbeda dalam memahami teks hadis.

Imam Syafi'i dinilai sangat ketat dalam memahami teks hadis, tidak terkecuali dalam bidang muamalat. Dalam hal ini, Al-Syafi'i berpendapat bahwa pada dasarnya ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi saw., harus dipertahankan bunyi teksnya, walaupun dalam bidang muamalat, karena bentuk hukum dan bunyi teks-teksnya adalah ta'abbudiy, sehingga tidak boleh diubah. Maksud syariat sebagai maslahat harus dipahami secara terpadu dengan bunyi teks, kecuali jika ada petunjuk yang mengalihkan arti lahiriah teks.

Kajian 'illat, dalam pandangan Al-Syafi'i, dikembangkan bukan untuk mengabaikan teks, tetapi untuk pengembangan hukum. Karena itu, kaidah al-hukm yaduru ma'a illatih wujud wa 'adam, hanya dapat diterapkan olehnya terhadap hasil qiyas, bukan terhadap bunyi teks Al-Quran dan hadis. Itu sebabnya Al-Syafi'i berpendapat bahwa lafal yang mengesahkan hubungan dua jenis kelamin, hanya lafal nikah dan zawaj, karena bunyi hadis Nabi saw. menyatakan, "Istahlaltum furujahunna bi kalimat Allah (Kalian memperoleh kehalalan melakukan hubungan seksual dengan wanita-wanita karena menggunakan kalimat Allah)", sedangkan kalimat (lafal) yang digunakan oleh Allah dalam Al-Quran untuk keabsahan hubungan tersebut hanya lafal zawaj dan nikah.

Imam Abu Hanifah lain pula pendapatnya. Beliau sependapat dengan ulama-ulama lain yang menetapkan bahwa teks-teks keagamaan dalam bidang ibadah harus dipertahankan, tetapi dalam bidang muamalat, tidak demikian. Bidang ini menurutnya adalah ma'qul al-ma'na, dapat dijangkau oleh nalar. Kecuali apabila ia merupakan ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan dengan perincian, maka ketika itu ia bersifat ta'abbudiy juga. Teks-teks itu, menurutnya, harus dipertahankan, bukan saja karena akal tidak dapat memastikan mengapa teks tersebut yang dipilih, tetapi juga karena teks tersebut diterima atas dasar qath'iy al-wurud. Dengan alasan terakhir ini, sikapnya terhadap teks-teks hadis menjadi longgar. Karena, seperti dikemukakan di atas, periwayatan lafalnya dengan makna dan penerimaannya bersifat zhanniy.

Berpijak pada hal tersebut di atas, Imam Abu Hanifah tidak segan-segan mengubah ketentuan yang tersurat dalam teks hadis, dengan alasan kemaslahatan. Fatwanya yang membolehkan membayar zakat fitrah dengan nilai, atau membenarkan keabsahan hubungan perkawinan dengan lafal hibah atau jual beli, adalah penjabaran dari pandangan di atas. Walaupun demikian, beliau tidak membenarkan pembayaran dam tamattu' dalam haji, atau qurban dengan nilai (uang) karena kedua hal tersebut bernilai ta'abudiy, yakni pada penyembelihannya.
Demikianlah beberapa pandangan ulama yang sempat dikemukakan tentang hadis.
 
Referensi
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Membumikan Al-Quran, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, Penerbit Mizan, Bandung, 1992.
  • Tim DISBINTALAD (Drs. A. Nazri Adlany, Drs. Hanafi Tamam, Drs. A. Faruq Nasution), Al-Quran Terjemah Indonesia, Penerbit PT. Sari Agung, Jakarta, 2004
  • Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA., Wawasan Al-Quran, Tafsir Maudhu'i atas Pelbagai Persoalan Umat, Penerbit Mizan, Bandung, 1997.
  • Departemen Agama RI, Yayasan Penyelenggara Penerjemah/Penafsir Al-Quran, Syaamil Al-Quran Terjemah Per-Kata, Syaamil International, 2007.
  • 'Abdul Halim Mahmud, Al-Tafkir Al-Falsafiy fi Al-Islam, Dar Al-Kitab Al-Lubnaniy, Beirut, 1982
  • Malik bin Nabi, Intaj Al-Mustasyriqin wa Atsaruhu fi Al-Fikr Al-Islamiy Al-Hadits, Dar Al-Ma'rifah, Beirut, cet. VI
  • Muhammad Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Dar Al-Manar, cet. III, 1367 H
  • Hanafi Ahmad, Al-Tafsir Al-'Ilmiy li Al-Ayat Al-Kawniyyah fi Al-Qur'an, Dar Al-Ma'arif, Kairo, cet. II
  • 'Aisyah 'Abdurrahman, Al-Qur'an wa Qadhaya Al-Insan, Dar Al-'Ilmi li Al-Malayin, Beirut, 1982, cet. V
  • Muhammad Husain Al-Thabathaba'iy, Tafsir Al-Mizan, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, cet. III, 1397 H.K., jilid I
  • Muhammad Al-Bahiy, Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, karya Mahmud Syaltut, Dar Al-Qalam, Mesir, cet. II
  • alquran.bahagia.us, al-quran.bahagia.us, dunia-islam.com, Al-Quran web, PT. Gilland Ganesha, 2008.
  • Muhammad Fu'ad Abdul Baqi, Mutiara Hadist Shahih Bukhari Muslim, PT. Bina Ilmu, 1979.
  • Dr. Syauqi Abu Khalil, Atlas Al-Quran, Membuktikan Kebenaran Fakta Sejarah yang Disampaikan Al-Qur'an secara Akurat disertai Peta dan Foto, Dar al-Fikr Damaskus, Almahira Jakarta, 2008.
  • Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA, Dr. Ahmad Qodri Abdillah Azizy, MA, Dr. A. Chaeruddin, SH., etc. Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Penerbit PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2008, Editor : Prof. Dr. Taufik Abdullah, Prof. Dr. M. Quraish Shihab, Prof. Dr. H. Ahmad Sukardja, MA.
  • Sami bin Abdullah bin Ahmad al-Maghluts, Atlas Sejarah Para Nabi dan Rasul, Mendalami Nilai-nilai Kehidupan yang Dijalani Para Utusan Allah, Obeikan Riyadh, Almahira Jakarta, 2008.
  • Al-Hafizh Zaki Al-Din 'Abd Al-'Azhum Al Mundziri, Ringkasan Shahih Muslim, Al-Maktab Al-Islami, Beirut, dan PT. Mizan Pustaka, Bandung, 2008.
  • M. Nashiruddin Al-Albani, Ringkasan Shahih Bukhari, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 2008.
  • Al-Bayan, Shahih Bukhari Muslim, Jabal, Bandung, 2008.
  • Muhammad Nasib Ar-Rifa'i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, Maktabah al-Ma'arif, Riyadh, dan Gema Insani, Jakarta, 1999.