Selamat Berkunjung

Selamat Berkunjung !
Diharap komentarnya agar lebih bermanfaat, menambah wawasan dan hikmah

Selasa, 21 Februari 2012

PENGEMBANGAN BUDIDAYA TUMBUHAN OBAT (HERBAL) SEBAGAI KOMODITAS AGRIBISNIS BERBASIS KEARIFAN LOKAL DALAM KONSEP BIOREGION

 ABSTRAK Akhir-akhir ini penggunaan tumbuhan obat di Indonesia semakin meningkat, namun upaya budidaya tumbuhan obat masih sangat terbatas.  Lebih dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat.
Berbagai produk alami yang berasal dari tumbuhan telah menjadi komoditi  komersial yang menarik bagi para pengusaha herbal.  Dalam pemanfaatannya bahan baku tumbuhan obat masih tergantung pada tumbuhan yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat yang diusahakan secara tradisional.  Pengadaan bahan baku obat atau jamu dengan cara pemungutan langsung dari hutan alam akan mengancam keberadaan populasinya.
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal). Pada umumnya mereka mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya dan dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun.
Tujuan penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengetahui pengembangan budidaya tumbuhan obat (herbal) sebagai komoditas agribisnis berbasis kearifan lokal dalam konsep bioregion.
Metode yang digunakan adalah dengan telaah pustaka dan didapat kesimpulan bahwa untuk mendukung aktivitas agribisnis tumbuhan obat (herbal) di Indonesia harus disertai dengan melakukan kegiatan budidaya tumbuhan obat dengan melibatkan masyarakat sekitar (masyarakat lokal) dengan kearifannya sebagai pengelola dan penjaga kelestarian plasma nutfah seperti yang tertuang dalam konsep bioregion.
Kata kunci : tumbuhan obat, komoditas agribisnis, kearifan lokal, konsep bioregion


BAB I.  PENDAHULUAN
1.1.  Latar Belakang
Akhir-akhir ini penggunaan tumbuhan obat di Indonesia semakin meningkat, sedangkan usaha budidaya tumbuhan obat masih sangat terbatas.  Banyak pula jenis tumbuhan berpotensi obat yang tumbuh di kawasan tropis ini belum dimanfaatkan secara optimal. Lebih dari 400 etnis masyarakat Indonesia memiliki hubungan yang erat dengan hutan dalam kehidupannya sehari-hari dan mereka memiliki pengetahuan tradisional yang tinggi dalam pemanfaatan tumbuhan obat (Sulandjari, 2009).
Di Indonesia, tumbuhan obat merupakan salah satu komponen penting dalam pengobatan, yang berupa ramuan jamu tradisional dan telah digunakan sejak ratusan tahun yang lalu. Tumbuhan obat telah berabad-abad didayagunakan oleh bangsa Indonesia dalam bentuk jamu untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapinya dan merupakan kekayaan budaya bangsa Indonesia yang perlu dipelihara dan dilestarikan.
Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization) memperkirakan sekitar 80% masyarakat dunia yang tinggal di pedesaan masih menggantungkan dirinya terhadap tumbuhan obat untuk menjaga kesehatannya (Anonim, 2001).  Peran tumbuhan bagi masyarakat tradisional hampir tidak tergantikan oleh obat-obatan modern kimiawi (Hidayat, 2007).  Ong (2000) dikutip oleh Hasanah (2010)  mengatakan bahwa sudah sejak lama bangsa Indonesia mengenal khasiat berbagai ragam jenis tanaman sebagai sarana perawatan kesehatan, pengobatan serta untuk mempercantik diri yang selama ini dikenal sebagai jamu. Dikalangan internasional, jamu dikenal dengan istilah Herbs yang berasal dari bahasa latin Herba yang berarti rumput, tangkai, tangkai hijau yang lunak dan kecil dan agak berdaun.
Berbagai produk alami yang berasal dari tumbuhan telah menjadi komoditi  komersial yang menarik bagi para pengusaha herbal dunia. Wijayanti (2004) dikutip oleh Hidayat (2007) mengatakan bahwa pasar herbal dunia telah menghasilkan sekitar US$20 milyar pada tahun 2000 dan bahwa konsumsi produk alami ini diperkirakan setiap tahunnya akan meningkat.  Untuk pasar dalam negeri, produk herbal meningkat dari sekitar  1 trilyun rupiah pada tahun 2000 menjadi sekitar 2 trilyun rupiah pada tahun 2002 dan diperkirakan akan meningkat menjadi 6 trilyun rupiah pada tahun 2010.
Hal tersebut di atas dapat terwujud karena melimpahnya ketersediaan sumber daya hayati tumbuhan obat di hutan Indonesia.  Menurut Supriadi (2001) diperkirakan sekitar 30.000 tumbuhan ditemukan di dalam hutan hujan tropika, dan sekitar 1 260 spesies di antaranya berkhasiat sebagai obat. Baru sekitar 180 spesies yang telah digunakan untuk berbagai keperluan industri obat dan jamu, tetapi baru beberapa spesies saja yang telah dibudidayakan secara intensif.
Dalam pemanfaatannya bahan baku tumbuhan obat masih tergantung pada tumbuhan yang ada di hutan alam atau berasal dari pertanaman rakyat yang diusahakan secara tradisional.  Pengadaan bahan baku obat atau jamu dengan cara pemungutan langsung dari hutan alam akan mengancam keberadaan populasinya. Menurut Muharso (2000) kegiatan eksploitasi tanaman liar secara berlebihan melebihi kemampuan regenerasi dari tanaman dan tanpa disertai usaha budidaya, akan mengganggu kelestarian tanaman tersebut.
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal). Pada umumnya mereka mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya dan dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun.  Kearifan tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari

1.2.  Tujuan
Penulisan tugas karya ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pengembangan budidaya tumbuhan obat di Indonesia  berbasis kearifan lokal dalam konsep bioregion, dalam rangka menjawab salah satu permasalahan terhadap ancaman kelestrarian tumbuhan obat di Indonesia yang digunakan sebagai komoditas agribisnis.
BAB II.  PLASMA NUTFAH TUMBUHAN OBAT
Hutan, terutama hutan hujan tropis, mengandung bagian terbesar dari sumberdaya genetik (plasma nutfah) yang ada.  Dalam hutan tropis terdapat berbagai jenis tumbuhan dan hewan.  Masing-masing jenis tumbuhan dan hewan  mengandung sifat keturunan yang karateristik bagi jenis yang bersangkutan.  Jumlah dan jenis yang ada dalam hutan berhubungan erat dengan luas hutan (Anonim, 1999) dikutip oleh Hasanah (2010).
Dalam UU No 12 tahun 1992, pasal 1 butir 2, plasma nutfah diartikan sebagai substansi  yang terdapat dalam kelompok mahluk hidup dan merupakan sumber sifat keturunan yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan atau dirakit untuk menciptakan jenis unggul atau kultivar baru.
Klasifikasi kondisi tanaman obat akibat pengambilan bahan baku tanpa dilakukan pelestarian plasma nutfahnya diklasifikasikan menjadi 5 kelompok (Muharso, 2000):
  1. Punah (extinct), jenis tanaman yang dianggap telah musnah/hilang sama sekali dari permukaan bumi.
  2. Genting (endangered), jenis tanaman yang terancam punah
  3. Rawan (vulnerable), jenis tanaman yang terdapat dalam jumlah sedikit dan eksploitasinya terus berjalan sehingga perlu dilindungi.
  4. Jarang (rare) jenis tanaman yang populasinya besar tetapi tersebar secara lokal, atau daerah penyebarannya luas tetapi tidak sering dijumpai serta mengalami erosi berat.
5.  Terkikis (indeterminate), jenis tanaman yang jelas mengalami proses
kelangkaan tetapi informasi keadaan sebenarnya belum mencukupi untuk
masuk dalam katagori tersebut.
Menurut Rifai et al. (1992) dikutip oleh Hidayat (2007) yang termasuk katagori genting adalah purwoceng (Pimpinella pruatjan), katagori rawan diwakili oleh Ki koneng (Arcangelisia flava) dan pulai (Alstonia scholaris) termasuk katagori jarang.
Permasalahan pelestarian Tumbuhan Obat Indonesia menurut Zuhud et al. (2001) disebabkan karena a) Kerusakan habitat, b) Punahnya budaya dan pengetahuan tradisional penduduk asli/lokal di dalam atau sekitar hutan, c) Pemanenan tumbuhan obat yang berlebihan. Adanya eksploitasi terhadap kayu yang sekaligus pohon tersebut yang juga merupakan spesies tumbuhan obat juga merupakan ancaman terhadap kelestarian tumbuhan obatnya. Sebagian besar areal konsesi HPH (areal eksploitasi kayu) yang sudah diusahakan saat ini terdapat di tipe hutan hujan dataran rendah dimana 44% spesies tumbuhan obat penyebarannya terdapat di formasi hutan ini dan di areal hutan konversi (areal hutan yang bisa dirubah menjadi areal non-hutan seperti untuk perluasan lahan pertanian/ perkebunan, areal transmigrasi dan areal industri dll).
Ancaman kelestarian plasma nutfah tumbuhan obat hutan tropika saat ini menurut Zuhud et al. (2001) sangat serius karena formasi hutan tropika dataran rendah selama 2 dekade belakangan ini mengalami kerusakan yang sangat parah, akibat eksploitasi kayu, perambahan hutan, kebakaran hutan, konversi hutan, perladangan berpindah dan lain-lain. d) Ketidak seimbangan penawaran dan permintaan tumbuhan obat, e) Lambatnya pengembangan budidaya tumbuhan obat Indonesia, f) Rendahnya harga tumbuhan obat, g) Kurangnya kebijakan dan peraturan perundangan pelestarian, h) Kelembagaan pelestarian tumbuhan obat.
Kegiatan eksplorasi yang merupakan pelacakan atau penjelajahan, mencari, mengumpulkan dan meneliti jenis plasma nutfah tertentu dilakukan untuk mengamankan dari kepunahan ( Kusumo et al, 2002) dikutip oleh Hasanah (2010). Pendekatan awal dalam kegiatan eksplorasi pada umumnya dimulai dengan penelitian etnobotani dan etnofarmakologi sebagai upaya untuk menginventarisasi jenis tumbuhan obat dan manfaat penggunaannya (Anggadiredja dan Rifai, 2000) dikutip oleh Hidayat (2007).  Kegiatan eksplorasi sudah banyak dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian dan industri maupun perorangan namun hasil-hasilnya tidak terdokumentasi dengan baik sehingga kita tidak pernah memiliki literatur yang utuh tentang tumbuhan obat dan ramuannya serta cara pengobatannya (Hasnam et al, 2000).
Beberapa spesies tumbuhan adalah spesies yang secara alam dinyatakan langka serta terancam kepunahan. Di Indonesia, kegiatan eksploitasi hutan, konversi hutan dan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat, serta pengambilan tumbuhan obat dengan tidak mempertimbangkan aspek kelestarian dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian dan penurunan populasi tumbuhan obat, sehingga secara tidak disadari kelangkaan jenis tumbuhan obat terus meningkat.
Idealnya semua tumbuhan obat harus dilestarikan, meliputi semua populasi di alam (in situ) dan dilakukan penangkaran diluar habitatnya (ex situ). Menurut Zuhud et al. (2001) tujuan pelestarian ex situ adalah a) untuk diintroduksi kembali ke habitat aslinya, b) untuk kegiatan pemuliaan dan c) untuk tujuan penelitian dan pendidikan. Prioritas pelestarian ex situ diberikan untuk spesies yang habitatnya telah rusak atau tidak dapat diamankan lagi, pelestarian ex situ juga harus digunakan untuk meningkatkan spesies lokal yang hampir punah menjadi tersedia kembali di alam. Di beberapa negara hal ini menjadi perhatian untuk melestarikan semua spesies tumbuhan obat secara ex situ.
Komoditas Tanaman Obat unggulan versi Badan POM (2001) telah ditetapkan seperti sambilito, pegagan, jati belanda, tempuyung, temulawak, daun ungu, cabe jawa, sanrego, pasak bumi, pace, daun jinten, kencur, dan teknologi budidayanya untuk sebagian komoditas sudah tersedia. Beberapa contoh obat tradisional dikemukakan oleh Ma’at (2001) yang berasal dari tanaman obat asli Indonesia yang dikemukakan dengan menggunakan bahasa ilmu kedokteran moderen agar dapat dipahami oleh kalangan dokter yang nantinya diharapkan menjadikan cikal bakal suatu Obat tradisional.
Untuk Pelayanan Kesehatan Formal:
1. Obat Tradisional sebagai imunomodulator: Phyllanthus niruri L.
2. Obat Tradisional untuk pengobatan Hiperkolesterolemia dan hipertrigli seridemia :   Sechium edule
3. Obat Tradisional untuk pengobatan kanker: Fam cruciferae, Solanum nigrum, Catharanthus roseus/Vinca rosea, Aloe vera L, Allium sativum L., Curcuma longa L., Nigella sativa L., Morinda citrifolia L., Andrographis paniculata Ness., Gynura procumbens Merr.
4. Obat alami sebagai terapi imun dan terapi adjuvan pada infeksi HIV/AIDS.
5. Obat Tradisional untuk pengobatan hiperurisemia dan artritis Gout.
6. Obat bahan alam untuk pengobatan hemoroid
Pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia diduga akan terus berlangsung mengingat eratnya keterikatan bangsa Indonesia pada tradisi  kebudayaannya dalam memakai jamu. Di samping itu, beberapa bahan baku jamu telah menjadi komoditas ekspor yang handal untuk menambah devisa negara. Sayangnya meningkatnya pemanfaatan tumbuhan obat sebagai komoditas ekspor belum diikuti dengan pembudidayaan yang rasional dan pelestarian plasma nutfahnya. Kenyataan ini akan memaksa perlunya suatu kesadaran terhadap pemanfaatan sumber daya alam hayati secara lebih hati-hati dan lebih optimal dan lebih didasarkan pada kesadaran bahwa alam merupakan stok bahan baku obat-obatan yang potensial.
III.  KEARIFAN LOKAL
Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari dua kata: kearifan (wisdom) dan lokal (local). Dalam Kamus Inggris Indonesia John M. Echols dan Hassan Syadily, local berarti setempat, sedangkan wisdom (kearifan) sama dengan kebijaksanaan. Secara umum maka local wisdom (kearifan setempat) dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (local) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.
Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius. Local genius ini merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini ( Ayatrohaedi, 1986) dikutip oleh Sartini (2004). Antara lain dikatakan bahwa local genius adalah juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri dan  bahwa unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya untuk bertahan sampai sekarang. Ciri-cirinya adalah:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam
budaya asli
4. mempunyai kemampuan mengendalikan
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
I Ketut Gobyah  dalam “Berpijak pada Kearifan Lokal” dikutip oleh Sartini (2004) mengatakan bahwa kearifan lokal (local genius) adalah kebenaran yang telah mentradisi atau ajeg dalam suatu daerah.  Kearifan lokal merupakan perpaduan antara nilai-nilai suci irman Tuhan danberbagai nilai yang ada. Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal.
S. Swarsi Geriya dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali” dikutip oleh Sartini (2004) mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga.  Dalam penjelasan tentang ‘urf, Pikiran Rakyat terbitan 6 Maret 2003 yang dikutip oleh Sartini (2004) menjelaskan bahwa tentang kearifan berarti ada yang memiliki kearifan (al-‘addah al-ma’rifah), yang dilawankan dengan al-‘addah al-jahiliyyah.
Kearifan adat dipahami sebagai segala sesuatu yang didasari pengetahuan dan diakui akal serta dianggap baik oleh ketentuan agama.  Adat kebiasaan pada dasarnya teruji secara alamiah dan niscaya bernilai baik, karena kebiasaan tersebut merupakan tindakan sosial yang berulang-ulang dan mengalami penguatan (reinforcement). Apabila suatu tindakan tidak dianggap baik oleh masyarakat maka ia tidak akan mengalami penguatan secara terus-menerus. Pergerakan secara alamiah terjadi secara sukarela karena dianggap baik atau mengandung kebaikan. Adat yang tidak baik akan hanya terjadi apabila terjadi pemaksaan oleh penguasa. Bila demikian maka ia tidak tumbuh secara alamiah tetapi dipaksakan.
Sistem pemerintahan yang cenderung terpusat (sentralistik) dan bersifat top down ternyata memberikan dampak yang kurang baik bagi pembangunan bidang kehutanan. Dampak yang cukup terasa adalah terpinggirkannya masyarakat lokal (adat) yang tinggal di dalam maupun sekitar kawasan hutan dan memiliki kearifan tradisional dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya hutan.
Jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta jiwa, sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan (sebagai masyarakat lokal). Pada umumnya mereka mempunyai kemampuan, pengalaman hidup dan kearifan tradisional dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus pemanfaatannya, dalam hal ini dikembangkan secara turun temurun. Menurut Zakaria (1994) dikutip oleh Wirasena (2010), kearifan tradisional didefinisikan sebagai pengetahuan kebudayaan yang dimiliki oleh suatu masyarakat tertentu yang mencakup sejumlah pengetahuan kebudayaan yang berkenan model-model pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam secara lestari.
Berdasarkan pengertian tersebut diatas, kita melihat bahwa kearifan tradisional merupakan hasil akumulasi pengetahuan berdasarkan pengamatan dan pengalaman masyarakat di dalam proses interaksi yang terus menerus dengan lingkungan yang ada di sekitarnya dan bisa mencakup generasi yang berbeda. Tentu saja, dengan keragaman masyarakat di Indonesia kearifan tradisional inipun juga makin beragam dalam hal ini satu daerah dengan daerah lain penerapannya akan berbeda meskipun tujuannya sama.
Dalam kearifan tradisional terdapat unsur-unsur yang cukup berharga untuk mendukung program penyelamatan sumberdaya genetik tanaman hutan di Indonesia. Hal ini bisa demikian karena kearifan tradisional merupakan ( Oding,S. 2002) dikutip oleh Sartini (2004) :
a. dasar kemandirian dan keswadayaan
b. memperkuat partisipasi masyarakat dalam proses pemberdayaan
c. menjamin daya hidup dan keberlanjutan
d. mendorong teknologi tepat guna
e. menjamin pendekatan yang efektif dari segi biaya, dan
f. memberikan kesempatan untuk memahami dan memfasilitasi perancangan
pendekatan program yang sesuai .
Seperti telah diungkap sebelumnya bahwa berbagai jenis pengelolaan sumber daya alam berdasarkan kearifan tradisional sangat banyak ragamnya. Namun demikian pelaksanaan dan aplikasinya akan sangat berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Masing-masing karakteristik kearifan tradisional ini akan sangat tergantung pada pemahaman masyarakat lokal terhadap alam sekitar dan mengadaptasikannya pada pengelolaan sumber daya alam dengan berbagai kondisi lingkungan hidup.
Kearifan tradisional dapat dijadikan komponen penting untuk melaksanakan upaya penyelamatan sumberdaya genetik tanaman hutan. Dengan kearifan tradisional yang dimiliki masyarakat lokal akan mampu melahirkan kearifan lingkungan, dalam hal ini dapat berjalan seiring dan sejalan dalam menjaga kelestarian sumber daya alam dan genetik. Selain itu, kearifan tradisional merupakan salah satu ciri kebudayaan nasional sehingga patut digali dan dikembangkan lebih lanjut di masa yang akan datang.
Upaya pendekatan penyelamatan sumber daya genetik tanaman hutan melalui pola kolaboratif dan partisipatif merupakan alternatif untuk menjawab tantangan diatas. Semua ini tentu saja didasarkan pada asumsi bahwa masyarakat lokal memiliki kepentingan dan keterkaitan dengan sumber daya alam di sekitarnya. Sehingga akan penting perannya dalam pelibatan kegiatan penyelamatan tanaman hutan di Indonesia. Disisi lain, masyarakat lokal cenderung akan mau memberikan komitemen jangka panjang dalam upaya penyelamatan konservasi sumberdaya genetik tanaman hutan di Indonesia. Komitmen itu tidak saja muncul tanpa adanya kepastian akses manfaat dan akses kepada proses pengambilan kebijakan dalam upaya penyelamatan tanaman hutan pada tataran teknis/lapangan (Wirasena, 2010).
IV.  BUDIDAYA TUMBUHAN OBAT DALAM KONSEP BIOREGION
Budidaya tanaman obat adalah merupakan salah point sasaran kegiatan konservasi keanekaragaman hayati dalam periode 5 tahun (2005 – 2009) yang disertai dengan kebijakan pembangunan konservasi keanekaragaman hayati untuk mengembangkan jaringan sistem kawasan ekosistem esensial dan pendekatan pengelolaannya melalui konsep bioregion (Anonim, 2005)
Bioregion adalah suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam; yang tidak ditentukan oleh batasan politik dan administratif tetapi dibatasi oleh batasan geografik, komunitas manusia serta sistem ekologi. Dalam suatu cakupan bioregion, terdapat mozaik lahan dengan fungsi konservasi maupun budi daya yang terikat satu sama lain secara ekologis (Anonim, 2005). Dengan demikian pengelolaannya merupakan pendekatan integratif dalam pengelolaan keseluruhan bentang alam yang terikat secara ekologis yang menyandarkan dirinya pada tiga komponen yaitu: (1)  komponen ekonomi yang mendukung usaha pendayagunaan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan dalam matriks kawasan budi daya, dengan pengembangan budidaya jenis-jenis unggulan setempat   (2) Komponen ekologi yang terdiri atas kawasan-kawasan ekosistem alam yang saling berhubungan satu sama lain melalui koridor, baik habitat alami maupun semi alami dan (3) Komponen sosial budaya yang dapat memfasilitasi partisipasi masyarakat lokal dalam perencanaan dan pengambilan keputusan mengenai pemanfaatan sumberdaya alam serta memberikan peluang bagi pemenuhan  kebutuhan sosial/budaya secara lintas generasi  (Sumardja, 1997) dikutip oleh Amzu (2003).
Konsep bioregion dari sudut pandang sumberdaya biofarmaka dan pengetahuan tradisional masyarakat lokal merupakan ikatan yang sangat erat untuk keberlanjutan pengembangan budidaya biofarmaka (tumbuhan berkhasiat obat). Sebagai contoh setiap region hutan mengandung keanekaragaman jenis tumbuhan obat yang tinggi dan spesifik, dan berguna untuk mengobati penyakit dan menjaga kesehatan masyarakat setempat. Dengan melibatkan informan pangkal (tokoh adat, pemerintah, agama), informan pokok (ahli pengobatan tradisional) dan pelengkap (anggota masyarakat biasa yang memiliki pengetahuan mengenai tumbuhan obat) kita dapat mengetahui macam biofarmaka yang esensial diperlukan oleh etnis setempat untuk menjaga kesehatannya.
Sebagai contoh dari hasil penelitian diperoleh 28 jenis tumbuhan obat pada suku Heibebulu dan 24 jenis pada masyarakat suku Moi. Jenis tumbuhan yang paling dominan digunakan sebagai obat pada kedua lokasi penelitian tersebut adalah dari Famili Euphorbiaceae. Pemanfaatannya terutama untuk jenis penyakit seperti batuk, demam, sakit perut, alat KB tradisional dan malaria (Herny, 2001). Selanjutnya (Zuhud et al., 2000) melaporkan di Taman Nasional Meru Betiri terdapat 355 jenis tumbuhan, terbagi ke dalam 92 famili. Dari total jenis tumbuhan tersebut, 291 jenis (81,7%) telah teridentifikasi mempunyai khasiat sebagai obat.
Pengetahuan tradisional masyarakat lokal tidak bisa dilepaskan dari pengembangan konsep bioregional dan IPTEK. Pengembangan IPTEK yang tidak berbasis pada sumberdaya alam hayati setempat sering tidak berhasil secara maksimal dan tumbuh hanya sesaat (Amzu, 2003). Hal ini disebabkan karena sumberdaya alam dan sumberdaya manusia yang berpengetahuan tradisional dimarginalkan dan akhirnya kemandirian dan kepercayaan diri menjadi hancur.
Pengembangan budidaya tumbuhan obat didasarkan kepada beberapa pertimbangan antara lain  (1) besarnya potensi tumbuhan obat dan kayanya pengetahuan tradisional masyarakat akan pemanfaatannya (2) berkembangnya pasar simplisia/obat tradisional atau adanya perusahaan jamu di sekitar lokasi; (3) tersedianya lahan yang sesuai baik secara ekologis maupun aksesibilitas untuk pengembangan budidaya tumbuhan obat (4) sumberdaya manusia (para pakar dibidang biofarmaka dan petani) telah siap.
Untuk pemanfaatan tumbuhan obat Indonesia perlu ditempuh kebijakan operasional dan langkah-langkah sebagai berikut (Muharso, 2000):
  1. Eksploitasi dan pelestarian Sumber Daya Alam
    Kebijakan operasional:
    - Eksploitasi tumbuhan liar di hutan alam untuk bahan baku OT/OAI dibatasi sebelum       budidaya jenis tumbuhan tersebut terlaksana dengan baik
    - Segera dilakukan langkah budidaya terhadap jenis tumbuhan yang banyak diperlukan untuk bahan baku OT/OAI.
    Langkah –langkah:
    - Melaksanakan inventarisasi jenis tumbuhan obat yang terdapat di hutan atau tumbuhan liar.
    - Melakukan penanaman kembali jenis tumbuhan obat dalam kondisi genting atau terancam punah.
  2. Penelitian, budidaya tumbuhan obat, penanganan pasca panen, standarisasi serta pengembangan pasar.
Kekayaan jenis tumbuhan obat yang terdapat di ekosistem alami di Indonesia berasal dari berbagai tipe ekosistem hutan, oleh karena itu strategi pengembangan tumbuhan obat  haruslah mempertimbangkan secara cermat faktor biogeografi dan ekologinya. Di dalam usaha budidaya suatu tanaman, diperlukan pengetahuan tentang faktor tumbuh tanaman tersebut, karena dalam proses budidaya suatu tanaman yang berorientasi pada produktivitas tanaman selain kemampuan suatu tanaman beradaptasi pada faktor lingkungan yang sedang berubah juga memerlukan pengetahuan tentang faktor-faktor produksi untuk mendapatkan produktivitas tanaman yang optimum. Pengetahuan tentang daerah penyebaran tumbuhan dapat pula digunakan untuk menentukan  tipe  iklim  dan  tanah  yang  sesuai  sehingga dapat memilih tempat budidaya.
Nilai tumbuhan berkhasiat obat adalah terletak pada kandungan bahan aktif atau metabolit sekundernya dan keberadaan metabolit sekunder dalam tumbuhan sangat tergantung pada lingkungan terutama faktor-faktor yang mempengaruhi proses enzimatik antara lain jenis tanah, unsur hara, curah hujan, temperatur dan cahaya. Disamping itu bagian dari tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan baku obat atau berkhasiat obat untuk berbagai jenis tanaman berbeda. Kadang bagian akar, daun, bunga buah dsb. Permasalahannya adalah bahan aktif sebagai hasil utama tanaman biofarmaka pembentukannya memerlukan tekanan lingkungan sedangkan untuk mendapatkan simplisia dengan bobot kering yang tinggi diperlukan faktor lingkungan yang mendukung, fotosintesis yang maksimal. Dengan demikian dalam memproduksi tanaman biofarmaka dengan bobot simplisia yang tinggi adalah dilema.
Hoft et al., (1996) dikutip oleh Sulandjari (2009) menyatakan, beberapa laporan menunjukkan bahwa pada tanaman terjadi reaksi positip bila kekurangan air terhadap kandungan metabolit sekunder, seperti alkaloid tidak muncul di bawah kondisi kelembaban udara tinggi; kandungan alkaloid tertinggi pada Opium poppy (candu) yang ditanam di Rusia, Polandia dan Hongaria terjadi di bawah kondisi kekurangan air; dan stress air meningkatkan nikotin pada tembakau.
Pada penelitiannya terhadap Tabernaemontana pachysiphon menunjukkan bahwa intensitas cahaya yang rendah merangsang pembentukan alkaloid tetapi menurunkan pertumbuhan. Lebih dari 20% bobot kering akar berkurang pada intensitas cahaya yang rendah, namun kadar isovoacangine meningkat. Tanaman pule pandak (Raufolia serpentina), akarnya mengandung lebih dari 50 senyawa alkaloid yang berkhasiat menyembuhkan beberapa penyakit, faktor limit untuk pertumbuhannya adalah tanaman ini menghendaki naungan. Berdasarkan hasil penelitian Sulandjari et al (2005) menunjukkan bahwa pada kerapatan naungan 50% sampai dengan kerapatan naungan  80%, kadar reserpina lebih tinggi daripada kerapatan naungan 20%; namun bobot akar pertanaman tertinggi didapat pada tingkat naungan20%. .
Ketinggian tempat juga dapat berpengaruh terhadap kandungan bahan aktif dari tumbuhan obat  Biji dari tanaman kelabet (Trigonella spp) yang berfungsi sebagai antidiabetik, kandungan alkaloid trigonelina-nya lebih tinggi apabila ditanam di dataran tinggi daripada di dataran rendah (Hendrison, 2007) dikutip Sulandjari (2009). Demikian juga pada tanaman pule pandak kandungan reserpinanya lebih tinggi apabila ditanam di dataran rendah daripada di dataran tinggi (Sulandjari, 2007) dikutip Sulandjari (2009).
Di dalam mengembangkan budidaya tumbuhan obat berbasis pengelolaan bioregional dapat ditempuh melalui cara di dalam habitat aslinya (in-situ) dan di luar habitat aslinya (ex-situ). Menurut McNeely et al.,(1992) dikutip Sulandjari (2009) kelestarian jangka panjang adalah pelestarian in-situ, tetapi untuk spesies yang langka dan telah sangat  terdesak jumlah populasinya perlu dilakukan strategi ex-situ.
Pengembangan budidaya tanaman biofarmaka yang dilakukan di kawasan hutan (hutan produksi, hutan lindung atau pada zona rehabilitasi taman nasional) dapat dilakukan dengan sistem agrowanatani atau pola agroforestri. Agroforestri merupakan suatu bentuk pengelolaan sumberdaya alam yang dinamis dan berbasis ekologi, dengan memadukan tegakan pepohonan sehingga mampu mempertahankan terjadinya interaksi antara ekologi, ekonomi, dan unsur-unsur lainya, terutama dengan sosial-budaya sehingga dapat terwujud pembangunan yang berkelanjutan (Adnan, 2006). Namun perlu diperhatikan kemungkinan adanya sifat alelopati dari tegakan ataupun tanaman biofarmaka itu sendiri yang memungkinkan untuk berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan dan hasil masing-masing tanaman.
Konsep yang menyatakan bahwa tumbuhan dapat menimbulkan pengaruh buruk atau beracun atau hambatan pada tumbuhan lain yang dikenal sebagai alelopati dikemukakan oleh de Candolle sejak tahun 1932 dikutip oleh Sulandjari (2009). Fenol merupakan salah satu komponen senyawa yang bersifat alelopatik yang dapat ditemukan dalam jumlah cukup besar pada hampir semua tumbuhan. Terutama tanaman-tanaman yang diketahui menghasilkan minyak atsiri dan metabolit sekunder lain seperti Eukaliptus dan Akasia.
Senyawa fenol dapat dikeluarkan melalui akar, daun ataupun organ tumbuhan lainnya. Senyawa-senyawa ini merupakan senyawa sekunder yang memegang peranan penting dalam interaksinya antara tumbuhan yang satu dengan yang lainnya. Bertambahnya senyawa-senyawa fenol yang sifatnya autoinhibitor meningkat sejalan dengan laju pertumbuhan tumbuhan tersebut (Hall et al., 1982) dikutip oleh Sulandjari (2009).
Beberapa penelitian pernah dilakukan terhadap tumbuhan Eucalyptus deglupta adanya senyawa alelokemi yang dilepaskan ke lingkungan yang mempengaruhi tumbuhan lain yang berasosiasi. Senyawa yang menghambat pertumbuhan berupa fenol yang mudah larut dalam air, terpen yang mudah menguap, telah dapat diperoleh dari daun, kulit kayu dan akarnya (Silander et al., 1983) dikutip oleh      Sulandjari (2009). Selanjutnya senyawa fenol dapat masuk ke dalam tanah melalui pelindian, daun, eksudat akar atau karena dekomposisi atau penguraian bahan-bahan sisa-sisa tumbuhan (Rice, 1984) dikutip oleh Sulandjari (2009).
Di samping itu pola tanam tumpangsari telah banyak dilakukan oleh masyarakat yaitu tanaman biofarmaka antara lain empon-empon dengan tanaman pangan; tumpangsari tanaman jahe diantara karet muda; tempuyung dengan daun dewa dan lain-lain  Pemanfaatan lahan marginal dapat juga menjadi pilihan untuk pengembangan Tumbuhan obat mengingat luas lahan marginal di Indonesia mencapai 140 juta ha dan baru sebagian kecil saja yang sudah dimanfaatkan sehingga tidak mengurangi lahan-lahan subur yang disediakan untuk tanaman pangan
Kegiatan utama yang harus dilakukan dalam pengembangan budidaya tumbuhan obat dengan pendekatan bioregion adalah pembimbingan dan pendampingan kepada masyarakat pelaku budidaya tumuhan obat terutama masyarakat tepi hutan untuk memberikan pengertian dan motivasi dalam melestarikan kekayaan tanaman biofarmaka kita. Dalam pembimbingan dilakukan pembelajaran dalam budidaya dan pasca panen yang memenuhi syarat dalam kualitas sebagai bahan baku obat. Selanjutnya membangun kemitraan dengan industri jamu/ dan industri fitofarmaka. Dalam kerjasama dengan mitra, keuntungan yang dapat diambil adalah jenis simplisia biofarmaka yang dibutuhkan untuk industri mitra, waktu panen, dan penjaminan pasar dari hasil budidaya, oleh karenanya kelestarian tanaman biofarmaka akan lebih terjaga dan lebih terjamin sesuai dengan daya dukung atau kemampuan lingkungan.
Agar unsur-unsur bioregion tersebut berjalan dengan baik maka pemerintah setempat diperlukan sebagai fasilitator dan penunjang kemitraan tersebut. Dalam hal ini peran LSM sangat berarti. Perguruan Tinggi dan lembaga penelitian berperan dalam
penelitian, pelatihan dan pendidikan  bersama pemerintah memonitor dan mengevaluasi program.
Dalam menunjang pengembangan budidaya tumbuhan berkhasiat obat dengan pendekatan bioregion perlulah kiranya dilakukan pemetaan biofarmaka budidaya berdasarkan  kesesuaian lahan hubungannya dengan bahan aktif dan ekofisiologi dan letak Industri Kecil Obat Tradisional (IKOT) ataupun Industri Obat Tradisional (IOT) untuk menunjang dalam menetapkan kebijakan – kebijakan atau peraturan-peraturan dalam agribisnis tumbuhan berkhasiat obat (Sulandjari, 2009).
V.  AGRIBISNIS TUMBUHAN OBAT
Jika kita tinjau pencapaian komoditas agribisnis produk berbahan baku tumbuhan obat ini terlihat sangat prospektif dan tangguh. Komoditas ini sangat tahan  terhadap gangguan krisis moneter karena basis harga pemasarannya dalam dolar Amerika. Dalam kondisi saat ini harga jual yang tinggi (dalam rupiah) menjadikan produk berbasis sumberdaya alam ini sebagai penghasil devisa yang cukup besar.
Menurut data dari Sekretariat Convention on Biological Diversity, pasar global obat herbal pada tahun 2000 mencapai US$ 43 milyar. WHO mencatat pada tahun 2000 pasar obat herbal yang tergolong besar adalah sebagai berikut: Cina (US$ 5 milyar); Eropa barat (US$ 6,6 milyar); Amerika Serikat (US$ 3 milyar); Jepang (US$ 2 milyar) dan Kanada (US$1 milyar). Demikian pula pasar Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun (tahun 2001  sebesar Rp. 1,3 trilyun dan tahun 2002 naik menjadi Rp. 1,5 trilyun),  di Malaysia nilai perdagangan produk herbal tahun 2000 mencapai US$1,2 miliar, dengan tren pasar meningkat 13% per tahun (Sampurno, 2003).
Kecenderungan masyarakat dunia yang memprioritaskan produk yang ekologis dibandingkan dengan produk yang kimiawi, menyebabkan permintaan akan obat bahan alami juga akan terus meningkat. Nilai obat modern yang berasal dari ekstrak tumbuhan tropis di dunia pada tahun 1985 mencapai US$ 43 milyar, 25% obat modern tersebut bahan bakunya berasal dari tumbuh-tumbuhan obat. Sedangkan nilai jual obat tradisional pada tahun 1992 di dunia mencapai US$ 8 milyar (Maxmillian, 2007).
Untuk kawasan Asia, dalam hal ini Cina berdasar data terakhir tahun 2000, ada 11.146 jenis biofarmaka yang dimanfaatkan pada industri TCM (Tradisional China Medicine) dengan memanfaatkan area seluas 760.000 hektar dengan total output 8.500.000 metrik ton dan secara rutin pembudidayakan sekitar 200 jenis biofarmaka utama sepanjang tahun. Dengan kurang lebih 1200 industri dan 600 di antaranya memiliki kebun terintegrasi dengan pabrik China dapat meraup omset US$ 5 milyar (domestik) dan US$ satu milyar (ekspor). (Maxmillian, 2007).
Di pasar domestik, rimpang temulawak (Curcuma aeruginosa Roxb.) dan rimpang jahe (Zingiber officinale Roxb.) merupakan dua jenis biofarmaka budidaya yang banyak dipasok oleh petani untuk industri obat tradisional, baik industri besar maupun menengah, yaitu rata-rata 310.870 kg/tahun dan 272.854 kg/tahun. Jenis-jenis biofarmaka yang diminta oleh negara-negara industri farmasi, seperti tapak dara (Catharanthus roseus),kina (Chinchona spp), kecubung (Datura metel), pule pandak (Rauwolfia serpentina) dan valerian (Valeriana officinalis) umumnya dapat tumbuh di Indonesia dan tidak membutuhkan persyaratan yang spesifik untuk tumbuhnya (Maxmillian, 2007). Dari data dan angka di atas menunjukkan bahwa prospek ke depan komoditas ini masih terbuka lebar pemasarannya.
VI.  SIMPULAN

Prospek yang besar dalam agribisnis komoditas tumbuhan obat di Indonesia tidak dapat hanya mengandalkan dari pengambilam langsung tumbuhan obat di hutan alam, namun harus diimbangi dengan kegiatan budidaya tumbuhan obat terutama tumbuhan obat yang memiliki intensitas tinggi dalam pemakaiannya.
Pelaksanaan agribisnis komoditas tumbuhan obat dan budidaya tumbuhan obat agar dapat mencapai tingkat keberhasilan yang tinggi harus dilaksanakan berbasis pada kearifan masyarakat lokal yang termasuk dalam konsep bioregion.
VII.   DAFTAR PUSTAKA
1.  Anonim.  2001.  Rancangan Strategi Konservasi Tumbuhan Obat Indonesia.
Kerjasama Pusat  Pengendalian Kerusakan Keanekaragaman Hayati, BAPEDAL dan
Fakultas Kehutanan IPB.
2. Anonim.  2005.  Arah Kebijakan Konservasi Keanekaragaman Hayati Tahun 2005 –
2009. Departemen Kehutanan, Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam,
Direktorat  Konservasi Keanekaragaman Hayati. Jakarta.
3.  Adnan.  2006.  Belajar Kepada Rakyat :  Pengelolaan Hutan dan Kawasan dengan
Kearifan Lokal. www.blog.com. 6 hal.
4.  Amzu, E., 2003.  Pengembangan Tumbuhan Obat Berbasis Konsep Bioregional
(Aplikasi Azas Keunikan Sistem Kedirian).  Makalah Individu Program Pasca
Sarjana S3 IPB.  Bogor.
5.  Ditjen POM.  2001.  Kebijakan Nasional Pengembangan Obat Tradisional.
Departemen Kesehatan RI.  Jakarta.  20 hal.
6.  Hasnam, E.A., Hadad, N. Bermawi, Sudjindro, H. Novarianto.  2000.  Konservasi
Plasma Nutfah Tanaman Industri.  Puslitbangtri.  Makalah pada Pertemuan Komisi
Nasional Plasma Nutfah di  Bogor 21-23 November 2000.
7.  Herny.  2001.  Invenarisir Tanaman Obat pada Masyarakat Suku Hei Behulu dan
Suku Moi  Kabupaten Jayapura.  Irian Jaya.
8.  Hidayat, S.  2007.  Pengamatan Keberadaan Tumbuhan Obat Langka di Taman
Nasional Ujung Kulon dalam Buletin Kebun Raya Indonesia. 10  (01) : 1 – 8.
9.  Ma’at, S.  2001.  Manfat Tanaman Obat Asli Indonesia Bagi Kesehatan.  Makalah
pada Lokakarya Pengembangan Agrisbisnis Biofarmaka Kerjasama Deparetemen
Pertanian dan IPB.  Bogor.
10  Muharso.  2000.  Kebijakan Pemanfaatan Tumbuhan Obat Indonesia.  Makalah
Seminar Tumbuhan Obat di Indonesia, Kerjasama Inonesian Research Centre For
Indegeneous Knowledge (INRIK), Universitas Pajajaran dan Yayasan Ciungwanara
dengan Yayasan KEHATI 26-27 April 2000.
11. Sampurno.  2003.  Kebijakan Pengembangan Obat Bahan Alam Indonesia.  Makalah
Seminar  Nasional Tanaman Obat Indonesia.  XXXIII.  Jakarta.
12. Supriadi, dkk.  2001.  Tumbuhan Obat Indonesia Penggunaan dan Khasiatnya.
Edisi Pertama.  Pustaka Populer Obor.  145 hal.
13.  Sartini.  2004.  Menggali Kearifan Lokal dalam Jurnal Filsafat.  37 (02).
14.  Sulanjari, Suwidjojo, P., Sukardi W.  2005.  Hubungan Mikroklimat dengan
Kandungan Reserpina  Pule Pandak.  Majalah Obat Tradisional. 10 (33) : 34-38.
15.  Sulanjari.  2009.  Pendekatan Bioregion dalam Pengembangan Budidaya Tanaman
Biofarmaka.  Pidato Pengukuhan Guru Besar Agroekologi tanggal 6 Agustus 2009.
UNS.  Surakarta.
16.  Wirasena, P.  2010.  Peran Kearifan Lokal Dalam Penyelamatan Sumber Daya
Genetik Tanaman Hutan di Indonesia.  Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan
Tananam.  Kampus Balitbang  Kehutanan.  Bogor.
17.  Zuhud, E.A.M., Azis, S., M. Ghulamahdi, L.K. Darusman.  2001.  Dukungan
Teknologi   Pengembangan Obat Asli Indonesia dari Segi Budaya, Pelestarian,
Pasca Panen.  Makalah  Lokakarya Agribisnis Berbasis Biofarmaka.  Pemanfaatan
dan Pelestraian Sumber Hayati Mendukung Agribisnis Tanaman Obat.
18.  Zuhud, E.A.M., Siwoyo, Hikmat Sandra.  2000.  Inventarisasi dan Indentifikasi dan
Pemetaan  Potensi Wanafarma Propinsi Jawa Timur.  Laporan tidak dipublikasikan.

By Herlina

Terapi Lintah Sebagai Pengobatan Jerawat dan Kangker


Gambar Lintah untuk terapi jerawat dan kangker

Dalam artikel ini akan dibahas sebuah terapi yang sangat unik karena menggunakan lintah sebagai media untuk penyembuhannya bagaimana informasi lengkapnya anda akan mendapatkannya.  Lebih dari seratusan penderita jerawat setiap minggunya mendatangi dan mengikuti 'terapi lintah' di salah satu klinik di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau.

"Saya sudah empat kali menjalani 'terapi lintah' di sini. Harapannya, pasti ingin jerawat ini cepat hilang dari wajah," kata Nur Asyiah, (28), yang ditemui di 'klinik tradisional' khusus 'terapi lintah' milik Slamet Riyadi di Jalan Hangtuah, Pekanbaru, Riau, Jumat (27/1).
Dia menuturkan, rata-rata pasien (kebanyakan wanita, Red) ke sini, memang sangat berharap perobatan alternatif ini menjadi solusi membebaskan mereka dari bintik-bintik merah yang menempel pada wajah.
Nur Asyiah juga mengaku, telah lebih dua tahun merasa kebingungan untuk 'menghapus' jerawatnya, sebelum akhirnya memilih ber-'terapi lintah' berasama 'Pak De', panggilan sehari-hari Slamet Riyadi. "Ternyata, setelah terapi di sini, syukur jerawat saya mulai berkurang," ungkapnya.
Nur Asyiah merupakan satu dari ratusan pasien 'Pak De' yang mengeluhkan kondisi wajah bertabur jerawat. Setiap harinya, pria berkacamata dengan kumis tebal ini mengungkapkan juga, selalu didatangi pasien dengan keluhan demikian, bahkan beberapa ada yang menderita kanker.
"Kalau pasien jerawat, itu ada banyak sekali. Mereka berobat tiga sampai lima kali. Dalam seminggu itu diperkirakan ada lebih seratus orang," ujarnya.
Lintah Juga Sembuhkan Kaker
'Pak De' mengatakan, terhadap para penderita jerawat, dirinya hanya membutuhkan dua sampai tiga lintah satu kali terapi. Lintah-lintah tersebut, menurutnya, ditempelkan persis di bagian titik wajah yang terdapat jerawat.
"Lintah yang ditempelkan tersebut akan menyedot darah kotor penyebab jerawat. Penyembuhan tentunya dilakukan secara bertahap dan tidak bisa sekali sembuh," ujarnya.
Klinik alternatif khusus 'terapi lintah' ini dibuka 'Pak De' setiap hari, sekitar pukul 08.00 hingga 11.00 WIB. Kemudian di hari sore, jam 13.00 sampai 17.00 WIB.
Namun bagi pasien penderita penyakit kronis, seperti kanker, patah tulang, diabetes dan lainnya, 'Pak De' memberikan kesenggangan waktu khusus. "Yakni pada malam hari sekitar pukul 20.00 hingga 23.00 WIB," kata Slamet Riyadi. (sumber : repoblika.co.id)

Budidaya Sarang Burung Wallet

Cara budidaya burung walet
Siapa yang tak ingin punya bangunan yang di tempati berkembang biaknya burung walet. Setiap orang pasti banyak yang menginginkannya sebab sarang burung walet di samping harganya yang tinggi juga menjadi salah satu komoditi ekspor yang sangat menjanjikan.
Di pasaran internasional kebutuhan akan sarang burung walet sangat besar sedangkan persediaan barang sangat terbatas. Hal ini di sebabkan oleh kurang banyaknya pembudidaya burung walet ini. Selain itu juga produksi sarang walet yang telah ada merupakan produksi dari sarang-sarang alami. Budidaya sarang burung walet sangat menjanjikan bila dikelola dengan baik dan intensif.
Burung Walet merupakan burung pemakan serangga yang bersifat aerial dan suka meluncur. Burung walet mempunyai kebiasaan berdiam di gua-gua atau rumah-rumah yang cukup lembab, remang-remang sampai gelap dan menggunakan langit- langit untuk menempelkan sarang sebagai tempat beristirahat dan berbiak.
MANFAAT
Hasil dari peternakan walet ini adalah sarangnya yang terbuat dari air liurnya (saliva). Sarang walet ini selain mempunyai harga yang tinggi, juga dapat bermanfaat bagi duni kesehatan. Sarang walet berguna untuk menyembuhkan paru-paru, panas dalam, melancarkan peredaran darah dan penambah tenaga.
1. Persyaratan Lingkungan Kandang
* Daerah yang jauh dari jangkauan pengaruh kemajuan teknologi dan perkembangan masyarakat.
* Dataran rendah dengan ketinggian maksimum 1000 m dpl.
* Persawahan, padang rumput, hutan-hutan terbuka, pantai, danau, sungai, rawa-rawa merupakan daerah yang paling tepat.
* Daerah yang jauh dari gangguan burung-burung buas pemakan daging.
2. Perlengkapan
a ) Suhu, Kelembaban dan Penerangan
Gedung untuk kandang walet harus memiliki suhu, kelembaban dan penerangan yang mirip dengan gua-gua alami. Suhu gua alami berkisar antara 24-26 derajat C dan kelembaban ± 80-95 %.
Pengaturan kondisi suhu dan kelembaban dilakukan dengan:
* Membuat saluran-saluran air atau kolam dalam gedung.
* Melapisi plafon dengan sekam setebal 20 cm.
* Menggunakan ventilasi dari pipa bentuk “L” yang berjaraknya 5 m satu lubang, berdiameter 4 cm.
* Pada lubang keluar masuk diberi penangkal sinar yang berbentuk corong dari goni atau kain berwarna hitam sehingga keadaan dalam gedung akan lebih gelap. Suasana gelap lebih disenangi walet.
* Menutup rapat pintu, jendela dan lubang yang tidak terpakai.
b) Bentuk dan Konstruksi Gedung
Umumnya, rumah walet seperti bangunan gedung besar, luasnya bervariasi dari 10×15 m2 sampai 10×20 m2. Makin tinggi wuwungan (bubungan) dan semakin besar jarak antara wuwungan dan plafon, makin baik rumah walet dan lebih disukai burung walet. Rumah tidak boleh tertutup oleh pepohonan tinggi.
Tembok gedung dibuat dari dinding berplester sedangkan bagian luar dari campuran semen. Bagian dalam tembok sebaiknya dibuat dari campuran pasir, kapur dan semen dengan perbandingan 3:2:1 yang sangat baik untuk mengendalikan suhu dan kelembaban udara. Untuk mengurangi bau semen dapat disirami air setiap hari.
Kerangka atap dan sekat tempat melekatnya sarang-sarang dibuat dari kayu- kayu yang kuat, tua dan tahan lama, awet, tidak mudah dimakan rengat. Atapnya terbuat dari genting.
Gedung walet perlu dilengkapi dengan roving room sebagai tempat berputar- putar dan resting room sebagai tempat untuk beristirahat dan bersarang. Lubang tempat keluar masuk burung berukuran 20×20 atau 20×35 cm2 dibuat di bagian atas. Jumlah lubang tergantung pada kebutuhan dan kondisi gedung. Letaknya lubang jangan menghadap ke timur dan dinding lubang dicat hitam.
3. Pembibitan
Umumnya para peternak burung walet melakukan dengan tidak sengaja. Banyaknya burung walet yang mengitari bangunan rumah dimanfaatkan oleh para peternak tersebut. Untuk memancing burung agar lebih banyak lagi, pemilik rumah menyiapkan tape recorder yang berisi rekaman suara burung Walet. Ada juga yang melakukan penumpukan jerami yang menghasilkan serangga-serangga kecil sebagai bahan makanan burung walet.
Pemilihan Bibit dan Calon Induk
Sebagai induk walet dipilih burung sriti yang diusahakan agar mau bersarang di dalam gedung baru. Cara untuk memancing burung sriti agar masuk dalam gedung baru tersebut dengan menggunakan kaset rekaman dari wuara walet atau sriti. Pemutaran ini dilakukan pada jam 16.00–18.00, yaitu waktu burung kembali mencari makan.
Perawatan Bibit dan Calon Induk
Di dalam usaha budidaya walet, perlu disiapkan telur walet untuk ditetaskan pada sarang burung sriti. Telur dapat diperoleh dari pemilik gedung walet yang sedang melakukan “panen cara buang telur”. Panen ini dilaksanakan setelah burung walet membuat sarang dan bertelur dua butir. Telur walet diambil dan dibuang kemudian sarangnya diambil. Telur yang dibuang dalam panen ini dapat dimanfaatkan untuk memperbanyak populasi burung walet dengan menetaskannya di dalam sarang sriti.
4. Perawatan Ternak
Anak burung walet yang baru menetas tidak berbulu dan sangat lemah. Anak walet yang belum mampu makan sendir perlu disuapi dengan telur semut (kroto segar) tiga kali sehari. Selama 2–3 hari anak walet ini masih memerlukan pemanasan yang stabil dan intensif sehingga tidak perlu dikeluarkan dari mesin tetas. Setelah itu, temperatur boleh diturunkan 1–2 derajat/hari dengan cara membuka lubang udara mesin.
Setelah berumur ± 10 hari saat bulu-bulu sudah tumbuh anak walet dipindahkan ke dalam kotak khusus. Kotak ini dilengkapi dengan alat pemanas yang diletakan ditengah atau pojok kotak.
Setelah berumur 43 hari, anak-anak walet yang sudah siap terbang dibawa
ke gedung pada malam hari, kemudian dletakan dalam rak untuk pelepasan. Tinggi rak minimal 2 m dari lantai. Dengan ketinggian ini, anak waket akan dapat terbang pada keesokan harinya dan mengikuti cara terbang walet dewasa.
Sumber Pakan
Burung walet merupakan burung liar yang mencari makan sendiri. Makanannya adalah serangga-serangga kecil yang ada di daerah pesawahan, tanah terbuka, hutan dan pantai/perairan. Untuk mendapatkan sarang walet yang memuaskan, pengelola rumah walet harus menyediakan makanan tambahan terutama untuk musim kemarau. Beberapa cara untuk mengasilkan serangga adalah:
* budidaya serangga yaitu kutu gaplek dan nyamuk. c. membuat kolam dipekarangan rumah walet.
* menanam tanaman dengan tumpang sari.
* menumpuk buah-buah busuk di pekarangan rumah.
5. Pemeliharaan Kandang
Apabila gedung sudah lama dihuni oleh walet, kotoran yang menumpuk di lantai harus dibersihkan. Kotoran ini tidak dibuang tetapi dimasukan dalam karung dan disimpan di gedung.
HAMA DAN PENYAKIT
1) Tikus
Hama ini memakan telur, anak burung walet bahkan sarangnya. Tikus mendatangkan suara gaduh dan kotoran serta air kencingnya dapat menyebabkan suhu yang tidak nyaman. Cara pencegahan tikus dengan menutup semua lubang, tidak menimbun barang bekas dan kayu-kayu yang akan digunakan untuk sarang tikus.
2) Semut
Semut api dan semut gatal memakan anak walet dan mengganggu burung walet yang sedang bertelur. Cara pemberantasan dengan memberi umpan agar semut-semut yang ada di luar sarang mengerumuninya. Setelah itu semut disiram dengan air panas.
3) Kecoa
Binatang ini memakan sarang burung sehingga tubuhnya cacat, kecil dan tidak sempurna. Cara pemberantasan dengan menyemprot insektisida, menjaga kebersihan dan membuang barang yang tidak diperlukan dibuang agar tidak menjadi tempat persembunyian.
4) Cicak dan Tokek
Binatang ini memakan telur dan sarang walet. Tokek dapat memakan anak burung walet. Kotorannya dapat mencemari raungan dan suhu yang ditimbulkan mengganggu ketenangan burung walet. Cara pemberantasan dengan diusir, ditangkap sedangkan penanggulangan dengan membuat saluran air di sekitar pagar untuk penghalang, tembok bagian luar dibuat licin dan dicat dan lubang-lubang yang tidak digunakan ditutup.
8. PANEN
Sarang burung walet dapat diambil atau dipanen apabila keadaannya sudah memungkinkan untuk dipetik. Untuk melakukan pemetikan perlu cara dan ketentuan tertentu agar hasil yang diperoleh bisa memenuhi mutu sarang walet yang baik. Jika terjadi kesalahan dalam menanen akan berakibat fatal bagi gedung dan burung walet itu sendiri. Ada kemungkinan burung walet merasa tergangggu dan pindah tempat. Untuk mencegah kemungkinan tersebut, para pemilik gedung perlu mengetahui teknik atau pola dan waktu pemanenan.
Pola panen sarang burung dapat dilakukan oleh pengelola gedung walet dengan beberapa cara, yaitu:
1) Panen rampasan
Cara ini dilaksanakan setelah sarang siap dipakai untuk bertelur, tetapi pasangan walet itu belum sempat bertelur. Cara ini mempunyai keuntungan yaitu jarak waktu panen cepat, kualitas sarang burung bagus dan total produksi sarang burung pertahun lebih banyak. Kelemahan cara ini tidak baik dalam pelestaraian burung walrt karena tidak ada peremajaan. Kondisinya lemah karena dipicu untuk terus menerus membuat sarang sehingga tidak ada waktu istirahat. Kualitas sarangnya pun merosot menjadi kecil dan tipis karena produksi air liur tidak mampu mengimbangi pemacuan waktu untuk membuat sarang dan bertelur.
2) Panen Buang Telur
Cara ini dilaksanankan setelah burung membuat sarang dan bertelur dua butir. Telur diambil dan dibuang kemudian sarangnya diambil. Pola ini mempunyai keuntungan yaitu dalam setahun dapat dilakukan panen hingga
4 kali dan mutu sarang yang dihasilkan pun baik karena sempurna dan tebal. Adapun kelemahannya yakni, tidak ada kesempatan bagi walet untuk menetaskan telurnya.
3) Panen Penetasan
Pada pola ini sarang dapat dipanen ketika anak-anak walet menetas dan sudah bisa terbang. Kelemahan pola ini, mutu sarang rendah karena sudah mulai rusak dan dicemari oleh kotorannya. Sedangkan keuntungannya adalah burung walet dapat berkembang biak dengan tenang dan aman sehingga polulasi burung dapat meningkat.
Adapun waktu panen adalah:
1) Panen 4 kali setahun
Panen ini dilakukan apabila walet sudah kerasan dengan rumah yang dihuni dan telah padat populasinya. Cara yang dipakai yaitu panen pertama dilakukan dengan pola panen rampasan. Sedangkan untuk panen selanjutnya dengan pola buang telur.
2) Panen 3 kali setahun
Frekuensi panen ini sangat baik untuk gedung walet yang sudah berjalan dan masih memerlukan penambahan populasi. Cara yang dipakai yaitu, panen tetasan untuk panen pertama dan selanjutnya dengan pola rampasan dan buang telur.
3) Panen 2 kali setahun
Cara panen ini dilakukan pada awal pengelolaan, karena tujuannya untuk memperbanyak populasi burung walet.
9. PASCAPANEN
Setelah hasil panen walet dikumpulkan dalu dilakukan pembersihan dan penyortiran dari hasil yang didapat. Hasil panen dibersihkan dari kotoran- kotoran yang menempel yang kemudian dilakukan pemisahan antara sarang walet yang bersih dengan yang kotor.

Sumber : Peluangusaha-oke

Budidaya Cacing Sutra

Budidaya Cacing Sutra
Cacing sutra dikenal memiliki kandungan gizi dan protein yang tinggi , sehingga mampu mempercepat pertumbuhan pada ikan. sayangnya saat ini pasokan cacing sutra sangat minim karena mengandalkan tangkapan dari alam dan sangat tergantung musim . para peternak ikan banyak yang melakukan Budidaya cacing sutra, namun hanya untuk konsumsi sendiri.Ada satu cara unik dan menarik dalam budidaya cacing sutra yaitu dengan memanfaatkan limbah organik dari kolam lele konsumsi.
HABITAT
Cacing sutra hidup pada subtrat lumpur dengan kedalaman 0 – 4 cm.
air memegang peranan penting untuk kelangsungan hidup cacing ini. Nah parameter optimalnya  ialah:
• pH : 5,5 -8,0
• DO (oksigen terlarut) : 2,5 – 7,0 ppm
• Suhu : 25 – 28 C
• Amoniak : <3,6
Cacing sutra termasuk hewan hermaprodit yang berkembang biak lewat telur secara eksternal. Telur yang dibuahi oleh jantan akan membelah menjadi 2 sebelum menetas.
campuran  bahan organik untuk cacing sutra yang baik adalah antara lumpur , dedak (bekatul) dan kotoran ayam .
Teknik budidaya cacing sutra:
* Persiapan Bibit
Bibit bisa diambil dari alam atau beli di toko ikan hias.
Sebaiknya bibit cacing di karantina dulu karena ditakutkan membawa bakteri patogen.
* Persiapan Media
kubangan lumpur dibuat dengan ukuran 1 x 2 meter sebagai media perkembangan yang dilengkapi saluran pemasukan dan pengeluaran air. Tiap kubangan dibuat petakan – petakan kecil ukuran 20 x 20 cm, tinggi bedengan atau tanggul 10 cm, antar bedengan diberi lubang dengan diameter 1 cm.
* Pemupukan
Lahan di pupuk dengan pupuk kandang sebanyak 300 gr/ M2, atau dengan dedak halus atau ampas tahu sebanyak 200 – 250 gr/M2  .
Cara bikin pupuknya :
• Siapkan kotoran ayam, jemur 6 jam.
• Siapkan bakteri EM4 untuk fermentasi kotoran ayam tersebut. Cari di toko pertanian atau toko peternakan atau balai peternakan.
• Aktifin dulu bakterinya. caranya ¼ sendok makan gula pasir + 4ml EM4 + dalam 300ml air trus diemin kurang lebih 2 jam.
• Campurkan cairan tadi ke dalam 10kg tokai yang udah di jemur tadi, aduk hingga rata.
• Trus masukin ke dalam wadah yang ditutup rapat selama 5 hari
* Fermentasi
Lahan direndam selama 3-4 hari dengan air setinggi 5 cm .
* Penebaran Bibit
Selama Proses Budidaya lahan dialiri air dengan debit 2-5 Liter / detik
* Tahapan Kerja Budidaya Cacing Sutra
Cacing sutra atau cacing rambut memang telah lama dimanfaatkan sebagai salah satu alternatif pakan ikan. karena harga jualnya yang relatif tinggi, membuat bisnis cacing sutra cukup banyak dilirik orang. namun sayangnya, sedikit orang yang memahami teknis pembudidayaan cacing sutra ini. Berikut ini langkah2 yang harus dilakukan dalam pembudidayaan cacing sutra.
• Lahan uji coba berupa kolam tanah berukuran 8 x 1,5 m dengan kedalaman 30 cm. Dasar kolam uji coba ini hanya diisi dengan sedikit lumpur.
• Apabila matahari cukup terik, jemur kolam minim sehari. kolam harus dibersihkan dari rumput atau hewan lain yang berpotensi menjadi hama bagi cacing sutra, seperti kijing atau keong mas .
• Pipa pengeluaran air dicek kekuatannya dan pastikan berfungsi dengan baik. Pipa pengeluaran ini sebaiknya berbahan paralon berdiameter 2 inci dengan panjang sekitar 15 cm.
• Usai penjemuran dan pengeringan, usahakan kondisi dasar kolam bebas dari bebatuan dan benda-benda keras lainnya. hendaknya konstruksi tanah dasar kolam tidak bergelombang atau relatif datar .
• Dasar kolam diisi dengan lumpur halus yang berasal dari saluran atau kolam yang dianggap banyak mengandung bahan organik hingga ketebalan dasar lumpur mencapai 10 cm dan rata.
• Untuk memastikannya, gunakan aliran air sebagai pengukur kedataran permukaan lumpur tersebut. Jika kondisinya sudah rata, berarti kedalaman air akan terlihat sama di semua sisihnya.
• Masukkan 3 karung kotoran ayam kering ukuran kemasan pakan ikan, kemudian ratakan dan selanjutnya bisa diaduk-aduk dengan kaki.
• Setelah itu genangi kolam tersebut hingga kedalaman air maksimum 5 cm, sesuai panjang pipa pembuangan.
• Pasang atap peneduh untuk mencegah tumbuhnya lumut di kolam.
• Kolam yang sudah tergenang air tersebut dibiarkan selama 1 minggu, agar gas yang dihasilkan dari kotoran ayam hilang. Cirinya, media sudah tidak beraroma busuk lagi.
• Tebarkan 0,5 liter gumpalan cacing sutra dengan cara menyiramnya terlebih dahulu di dalam baskom agar gumpalannya buyar.
• Cacing sutra yang sudah terurai ini kemudian ditebarkan di kolam budi daya ke seluruh permukaan kolam secara merata.
• Seterusnya atur aliran air dengan pipa paralon berukuran 2/3 inci.
7. Panen
Cacing Bisa dipanen setelah 8-10 hari.

Sumber : Peluangusaha-oke.com

Budidaya Kroto Semut Rangrang Tanpa Pohon


 
 Semut Rangrang

Kroto atau telur semut rangrang ( jawa : kranggang ) adalah salah satu makanan terbaik untuk burung kicau, namun semakin lama keberadaan kroto semakin sulit di cari, oleh sebab itulah harga kroto dipasaran semakin mahal saja. Ini tentu bisa menjadi prospek bisnis yang sangat bagus untuk di kembangkan jika kita bisa membudidayakan kroto semut rangrang sendiri.
Harga kroto dipasaran umumnya di patok dengan harga 45 hingga 80 ribu bahkan hingga 100 ribu perkilogramnya. Siapapun dapat mengembangkan bisnis budidaya kroto ini termasuk anda juga. Nah bagi anda yang tertarik untuk membudidayakan kroto, silahkan simak cara budidaya kroto di bawah ini.


Langkah pertama adalah kita cari sarang ratu semut rangrang / semut merah penghasil kroto. Perlu kerja keras untuk mengerahui satu per satu sarang semut rangrang / semut merah untuk menemukan sang ratu. Begitu kita temukan, potong cabang tempat semut bersarang dan kita letakkan ke pohon inang baru. Agar mereka cepat nyaman di tempat baru, suguhi dengan bangkai serangga dan cairan manis. Secara alaminya, semut rangrang / semut merah penghasil kroto dapat menghasilkan hingga 1 kg kroto dalam 10 hari.
Peran manusia dengan menyediakan cairan manis, bangkai hewan-hewan kecil, tulang atau sisa makanan berdaging lainnya akan meningkatkan produksi. Sarang atau koloni semut rangrang / semut merah penghasil kroto di dalam satu pohon bisa mencapai lebih dari satu, yang terdiri atas sarang pusat, sarang telur, dan sarang satelit. Sarang pusat biasanya terletak di tajuk pohon. Di sarang pusat ini berdiam ratu semut, yang jumlahnya mencapai 2-6 ekor per koloni.
Ratu semut berukuran paling besar. Sarang telur, berukuran sedang, merupakan tempat telur dan larva semut. Sarang satelit tersebar di tempat-tempat tertentu di pohon sebagai pos terdekat gudang makanan. Ini salah satu cara bertahan dari pengganggu atau musuh alami.

Budidaya Anggrek Bulan

Budidaya Anggrek Bulan
Anggrek bulan ( Phalaenopsis amabilis ) adalah termasuk salah satu bunga nasional. Phalaenopsis berasal dari bahasa Yunani, yaitu plaenos yang berarti “kupu” dan opsis yang berarti “melihat”. Anggrek bulan banyak terdapat di negara-negara tetangga seperti Filipina, Malaysia, Singapura, Australia dll. Anggrek bulan biasa hidup dengan cara menempel pada batang atau cabang pohon di hutan-hutan dan tumbuh subur hingga 600 meter di atas permukaan laut.
Anggrek bulan termasuk dalam tanaman anggrek monopodial yang menyukai sedikit cahaya matahari sebagai penunjang hidupnya. Ciri khas dari Anggrek bulan adalah daunnya berwarna hijau dengan bentuk memanjang. Akar-akarnya berwarna putih dan berbentuk bulat memanjang serta terasa berdaging. Bunganya memiliki sedikit keharuman dan waktu mekar yang lama serta dapat tumbuh hingga diameter 10 cm lebih.
Ada dua tempat yang biasa tumbuh tanaman Anggrek bulan. Pertama tanaman anggrek yang hidup menempel pada tanaman lain dan tidak mengganggu tanaman yang ditempeli. Jenis ini disebut anggrek Epiphyt. Yang termasuk jenis ini: Cattleya, Dendrobium, Cymbidium, Phalaenopsis, Vanda, Oncidium. Kedua tanaman anggrek yang hidup ditanah. Biasanya hidup pada tanah berhumus yang subur. Jenis ini disebut anggrek Terrestris atau anggrek tanah.

Peluang Usaha Budidaya Anggrek Bulan
 
Anggrek bisa dijual sebagai tanaman pot maupun sebagai tanaman potong. Indonesia memiliki kekayaan jenis anggrek yang beragam, terutama anggrek epifit yang hidup di pohon-pohon hutan, dari Sumatera sampai Papua. Anggrek bulan adalah bunga pesona bangsa Indonesia. Anggrek juga menjadi bunga nasional Singapura dan Thailand.Dari keindahan anggrek itulah kini banyak orang mengagumi, bahkan mengkoleksi bunga yang membutuhkan sedikit cahaya matahari ini. Harga Anggrek bulan di pasaran khususnya daerah Jakarta dan sekitarnya adalah kurang lebih Rp. 50.000 per unit.
Pemasaran bisnis anggrek ini dapat langsung di distribusikan ke tengkulak, lalu disalurkan ke pasar-pasar bunga, misalnya di Jakarta Barat, di Pasar Rawa Belong. Selain itu juga bisa melayani pemesan yang datang langsung ke kebun dengan memberi bonus beberapa tangkai bunga kepada pembeli. Anda juga dapat mempromosikan bisnis anggrek Anda melalui media online, baik itu berupa blog atau website. Atau Anda juga bisa bergabung pada komunitas pecinta tanaman hias. Agar produk Anda dengan mudah dikenal banyak orang.
Cara Budidaya Anggrek Bulan
Pada dasarnya menanam Anggrek Bulan tidaklah sulit namun di butuhkan kesabaran dan fokus serta perhatian yang tinggi. Yang terpenting dalam budidaya Anggrek Bulan adalah akarnya tidak rusak, draenase lancar dan tanaman tidak goyang.
Membudidayakan AnggrekBulan harus tahu dan faham betul tempat dan habitatnya, bagaimana lingkungannya, seberapa kebutuhan air dan cahanya. Banyak kasus yang memaksakan penanaman anggrek pada daerah yang kurang sesuai sehingga pertumbuhan dan bunga yang dihasilkan juga tidak maksimal.
1. Syarat tumbuh Anggrek Bulan
Anggrek bulan membutuhkan intensitas cahaya optimum antara 20%-50% dengan suhu optimum antara 180C – 290C, serta kelembaban antara 70%-80%.
2. Media tanam
Media tanam yang dapat digunakan untuk anggrek adalah sabut kelapa, lempengan akar pakis, moss dan sabut kelapa. Tetapi media yang lebih banyak digunakan adalah media sabut kelapa, karena sabut kelapa memiliki aerasi yang baik dan dapat menyimpan  air serta memiliki pH yang cocok untuk tanaman yaitu 5,5 – 6,5 serta harganya relatif murah.
3. Cara penanaman
Bibit anggrek botolan yang telah berusia 1 tahun atau daunnya sudah mencapai 1 cm dan sudah muncul 2-3 helai akar. Anggrek dikeluarkan dari botol menggunakan kawat yang dibengkokkan pada bagian ujungnya. Anggrek yang baru dikeluarkan di tanam dalam pot plastik        Tiga bulan kemudian, tanaman dipindahkan ke pot yang lebih kecil yaitu ukuran 8 cm atau 10 cm dan ditanami 3-5 tanaman. Pot diisi 2/3 bagian,kemudian masukkan larutan fungisida atasi 2ml/l dan larutan pupuk organik suburi 2ml/l. Setelah 3 bulan dilakukan pemindahan tanaman (repotting), ke dalam pot yang lebih besar yaitu ukuran 18 cm dan ditanami 1 tanaman saja. Setiap 6-8 bulan sekali media diganti dengan yang baru.
4. Pemeliharaan
Pemeliharaan meliputi :
Penyiraman
Penyiraman dilakukan sehari sekali. Jika suhu siang hari tinggi, bagian bawah rak dan lantai disiram.
Pemupukan
Pemupukan dilakukan 7-10 hari sekali dan dilakukan pada pagi atau siang hari. Pupuk yang digunakan adalah pupuk organik, karena ramah lingkungan dan mengandung unsur hara yang kompleks.
5. Hama dan penyakit
Beberapa jenis hama  yang menyerang tanaman anggrek antara lain : semut, siput atau keong, thrips, kepik  atau kumbang. Semuanya dapat dikendalikan menggunakan insektisida dan molustisida.
Sedangkan penyakit yang menyerang antara lain adalah:
Penyakit yang disebabkan cendawan dapat dikendalikan dengan   fungisida
Penyakit yang disebabkan oleh bakteri dapat dikendalikan dengan bakterisida
Penyakit yang disebabkan oleh virus dapat dikendalikan dengan virusida atau dilakukan dengan cara mekanis yaitu membakar tanaman yang terserang dan mencegah pelukaan mekanis dengan alat yang tidak steril

Jenis-Jenis Ikan Mas

Ranchu Goldfish

Ikan mas koki jenis Ranchu Goldfish dengan tampilan yang tidak biasa ini disebut sebagai “raja ikan mas” oleh orang Jepang. Ranchu adalah hasil dari percobaan perkimpoian silang yang berbeda dari Lionhead Cina.IKan ini tidak punya sirip atas,dan punya banyak warna seperti orange, red, white, red-and-white, blue, black, black-and-white, black-and-red,Ikan dengan badan kuning pucat dan kepala merah sangat jarang dan langka.
foto ikan mas Ranchu Goldfish spesifikasi ikan mas koki Ranchu Goldfish
Ikan Mas Koki Ranchu Goldfish jenis klasifikasi ikan mas koki dunia

Bubble Eye/Suihogan Goldfish

Spesies ikan mas koki unik yang berasal dari Cina ini punya mata yang menunjuk ke atas dan 2 kantung besar berisi cairan,Ikan ini juga tidak punya sirip di punggungnya,ikan mas ini bisa tumbuh 6 -8 inchi
Bubble Eye/Suihogan Goldfish jenis ikan mas koki kelas dunia. Foto ikan mas koki Bubble Eye/Suihogan Goldfish

Butterfly tail/Jikin Goldfish

Butterfly tail/Jikin Goldfish merupakan salah satu jenis ikan mas koki yang sangat indah dan menggemaskan tetapi langka,ikan ini diyakini dari Jepang. Ciri yang paling menonjol dari ikan mas koki Butterfly tail/Jikin Goldfish adalah ekor yang memiliki bentuk X.ekor kupu kupunya memiliki panjang khas, berbentuk cerutu atau torpedo. Tubuh yang putih dengan bibir,sirip dan insang merah.dapat tumbuh sampai 9 inci. Nama lainnya adalah ekor Merak dan Rokuri
klasifikasi ikan mas koki jenis Butterfly tail/Jikin Goldfish yang cantik

Telescope Eye/Demekin Goldfish

Spesies ini punya mata yang esar dan unik,Variasi ini berwarna merah, merah-putih,belacu, hitam-putih, coklat, biru, lavender, cokelat-dan-biru dan warna hitam.
Mereka mungkin juga kadang punya sisik metalik.Walau matanya besar,penglihatannya buruk dan lebih baik tidak dicampur 1 akuarium dengan jenis lain yang lincah dan ditempatkan di akurium tanpa benda lancip
Klasifikasi Ikan mas koki Telescope Eye-Demekin Goldfish

Oranda Goldfish

Oranda, ikan mas koki unik dari Cina dan Jepang, dicirikan oleh tudung seperti raspberry dikepalanya. Ikan mas koki ini sangat terkenal di seluruh dunia,dan punya badan bear dengan 4 ekor panjang
New Tipe Mas Koki Oranda Goldfish
Oranda Goldfish jenis ikan mas koki yang paling murah

Ryukin Golfish

IKan mas koki berwarna cerah dan menarik dari Jepang ini punya sirip yang besarnya 2 kali panjang tubuhnya,moncongnya juga lancip dan punggungnya bungkuk Ryukin punya warna seperti merah marun, merah-putih, putih, metalik dan warna belacu.di akuarium yang bagus perawatannya ikan ini dapat mencapai hingga 8 inci atau 21 cm. Nama julukan lainnya adalah Ribbontail Jepang,Fringetail,Fantail atau Veiltail
Ryukin Golfish ikan mas koki yang berwarna merah

Lionchu/Lionhead Goldfish

Ikan mas koki Lionchu/Lionhead Goldfish yang dikenal dengan ikan mas koki paling Unik , Lionchu/Lionhead Goldfish adalah ikan mas yang tidak memiliki sirip atas dari Thailand dan hasil dari perkimpoian silang antara lionheads dan ranchus. Memiliki tubuh yang besar, lebar dan melengkung ke belakang dan kepala yang besar.
Ikan mas koki Lionchu-Lionhead Goldfish

Celestial Eye/Choten gan Goldfish

Ikan mas Celestial Eye salah satu ikan mas koki aneh yang berasal dari Cina dan Korea.Mata ikan mas ini seperti mata ikan mas teleskop,tapi mengarah keatas Tubuh ikan ini berbentuk seperti torpedo,dan tak punya sirip atas
Ikan Mas Koki jenis Celestial Eye-Choten gan Goldfish

PomPom/Hanafusa Goldfish

PomPom/Hanafusa Goldfish, adalah ikan yang paling banyak dicari oleh pengusaha dan kolektor ikan mas koki, pasalnya .Hanafusa punya daging yang tumbuh seperti pom pom di sekitar hidungnya,badannya seperti lionhead,tapi yang tumbuh adalah hidungnya, kadang malah ada daging yang tumbuh sampai melewati bawah rahangnya
PomPom-Hanafusa Goldfish ikan mas koki yang unik dan cantik
Nah bagiamana, apakah Anda makin tertarik dengan membudidayakan dan mengoleksi ikan mas koki ? barangkali beberapa jenis ikan mas koki diatas dapat memberikan inspirasi untuk usaha dan hobi Anda dalam memelihara ikan mas koki.