Makanan
yang aman adalah yang tidak tercemar, tidak mengandung mikroorganisme
atau bakteri dan bahan kimia berbahaya, telah diolah dengan tata cara
yang benar sehingga sifat dan zat gizinya tidak rusak, serta tidak
bertentangan dengan kesehatan manusia. Karena itu, kualitas makanan,
baik secara bakteniologi, kimia, dan fisik, harus selalu diperhatikan.
Kualitas dari produk pangan untuk konsumsi manusia pada dasarnya
dipengaruhi oleh mikroorganisme.
Pertumbuhan
mikroorganisme dalam makanan memegang peran penting dalam pembentukan
senyawa yang memproduksi bau tidak enak dan menyebabkan makanan menjadi
tak layak makan. Beberapa mikroorganisme yang mengontaminasi makanan
dapat menimbulkan bahaya bagi yang mengonsumsinya. Kondisi tersebut
dinamakan keracunan makanan.
Keracunan
makanan tidak disebabkan tertelannya organisme hidup, melainkan akibat
masuknya toksin atau substansi beracun yang disekresi ke dalam makanan.
Organisme penghasil toksin tersebut mungkin mati setelah pembentukan
toksin dalam makanan. Organisme yang menyebabkan keracunan makanan salah
satunya adalah Clostridium botulinum (Astawan, 2007).
C. botulinum
dapat menghasilkan molekul protein dengan daya keracunan yang sangat
kuat yang dikenal dengan botulinin. Botulinin tersebut yang menyebabkan
botulisme, yaitu penyakit keracunan makanan yang terkontaminasi oleh C. botulinum.
Suhu dan waktu pemanasan yang tidak memadai selama sterilisasi dapat mengakibatkan tumbuhnya Clostridium botulinum. Clostridium botulinum
merupakan bakteri thermophilik (tahan panas) yang dapat hidup dalam
kondisi anaerobik (tidak ada oksigen). Bakteri ini menghasilkan toksin
(racun) yang dapat menyerang saraf (karena menyerang saraf maka disebut
neurotoksin). Gejala keracunan ini (botulism) dapat terjadi selang
beberapa jam sampai satu atau dua hari setelah mengkonsumsi makanan yang
terkontaminasi Clostridium botulinum. Beberapa gejala
yang timbul antara lain mulut kering, penglihatan kabur, tenggorokan
kaku, kejang-kejang dan dapat mengakibatkan penderita meninggal karena
sukar bernafas (Wiwit, 2008).
Kasus
botulismus pertama kali dilaporkan tahun 1793 serta agen etiologinya
pertama kali diisolasi tahun 1895 oleh E. Van Ermengen. Wabah yang
diteliti oleh Van Ermengen terjadi di Belgia dengan kejadian 34 kasus
dan menewaskan 3 orang penderita. Organisme penyebab dinamainya Bacillus botulinus dari latin botulus yang berarti sosis. Botulismus disebabkan oleh C. botulinum
adalah kuman gram positif, anaerob, bentuk batang, spora (Jay, 1978).
Berdasarkan atas spesifisitas serologi dari toksinnya dikenal ada 7
jenis toksin yaitu : Jenis A, B, C, D, E, F,dan G. Toksin A, B, E, dan F
sebagai penyebab penyakit pada manusia. Toksin jenis A umumnya sebagai
penyebab botulismus negara bagian Barat Amerika, dimana toksin A
bersifat lebih toksik dibandingkan dengan toksin jenis B. Toksin jenis B
lebih sering dijumpai di tanah dan bersifat kurang toksik dari jenis A.
Toksin C merupakan penyebab penyakit pada unggas, sapi dan hewan
lainnya. Toksin D berkaitan dengan keracunan makanan pada pakan sapi
terutama di Afrika Selatan. Toksin E bersifat toksik pada manusia
terutama ditemukan pada ikan dan produk-produk ikan. Toksin F sama
dengan jenis A dan B yang diisolasi di Denmark.
Jenis G dilaporkan di Argentina tetapi dikatakan tidak mengakibatkan
botulismus pada manusia. Berdasarkan atas sifat toksinnya dapat juga
digolongkan atas dasar kemampuan proteolitiknya dimana toksin jenis A, B
dan F bersifat proteolitik, sedangkan jenis E tidak (Suardana, 2001;
Frazier dan Westhoff, 1988; Jay, 1978).
Ada
tiga jenis botulism yang biasa dijumpai, yaitu foodborne botulism
(terjadi karena mengkonsumsi makanan yang terkontaminasi oleh Clostridium botulinum) seperti pada kasus di atas, wound botulism (karena ada luka yang terkontaminasi oleh Clostridium botulinum) dan infant botulism (terjadi pada anak-anak yang mengkonsumsi makanan terkontaminasi Clostridium botulinum) (Wiwit, 2008).
1. MORFOLOGI
Sel vegetatif C. botulinum
berbentuk batang dan berukuran cukup besar untuk ukuran bakteri.
Panjangnya antara 3 μm hingga 7 – 8 μm. Lebarnya antara 0,4 μm hingga
1,2 μm.
Pada pengecatan Gram, C. botulinum yang mengandung spora bersifat Gram positif, sedangkan C. botulinum yang tidak mengandung spora bersifat Gram negatif. Namun, C. botulinum termasuk bakteri Gram positif.
Spora yang dihasilkan oleh sel Clostridium secara struktural sangat berbeda dengan sel pada spesies itu sendiri, tapi yang terkenal adalah spora pada Clostridia yang bersifat patogen. Lapisan paling luar spora disebut dengan exosporium. Exosporium ini bervariasi antara masing – masing species, terkenal pada species yang bersifat patogen, termasuk C. botulinum. Lapisan di bawah exosporium disebut
dengan membran spora, terdiri atas protein yang strukturnya tidak
biasa. Bagian tengah spora mengandung DNA spora, ribosom, enzim, dan
kation. Kandungan logam pada spora C. botulinum berbeda dari kandungan metal pada Bacillus. Strain proteolitik C. Botulinum dapat menghasilkan spora yang sangat resisten dengan pemanasan tinggi.
C. botulinum merupakan
bakteri anaerob yang tidak dapat tumbuh di lingkungan anaerob. Hasil
uji pertumbuhan pada media agar aerob adalah negatif. C. botulinum bersifat motil atau dapat bergerak dengan flagel yang berbentuk peritirik. Motilitas C. botulinum ini umumnya sulit ditunjukkan, terutama pada strain yang sudah cukup lama ditanam. C. botulinum merupakan bakteri Gram positif yang memiliki kandungan peptidoglikan antara 80 – 90% dari komponen dinding sel. C. botulinum tidak dapat membentuk kapsula maupun plasmid. Bakteriofag pada genus Clostridium dapat diasosiasikan dengan neurotoksisitas dari C. botulinum tipe C dan D (Elvira, 2008).
1.1 Toksin
C. botulinum menghasilkan
toksin yang disebut neurotoksin atau BoNT (botulinum neurotoxin).
Neurotoksin ini merupakan eksotoksin karena toksin dikeluarkan oleh
bakteri ke lingkungan. Toksin botulinum ini memiliki struktur dan fungsi
yang sama dengan toksin tetanus. Namun, toksin botulinum mempengaruhi
syaraf periferi karena memiliki afinitas untuk neuron pada persimpangan
otot syaraf.
Terdapat tujuh macam toksin yang berbeda – beda yang dihasilkan oleh C. botulinum, yaitu
tipe A, B, C, D, E, F, dan G. Toksin tipe A, B, dan E 9 (dan kadang –
kadang F) merupakan toksin yang menyebabkan penyakit botulisme pada
manusia. Tujuh macam toksin yang dihasilkan oleh C. botulinum ini
telah diidentifikasi dan sudah dapat disintesis sebagai polipeptida
rantai tunggal dengan bobot molekul 150.000 dalton yang kurang toksik.
Setelah dipotong dengan protease, akan terbentuk dua rantai polipeptida,
yaitu rantai ringan atau sub unit A dengan bobot molekul 50.000 dalton
dan rantai berat atau sub unit B dengan bobot molekul 100.000 dalton.
Kedua rantai ini dihubungkan oleh ikatan disulfida. Sub unit A merupakan
toksin yang paling toksik yang pernah diketahui.
Beberapa strain C. botulinum pembentuk toksin menghasilkan bakterifaga yang dapat menginfeksi straun lain yang nontoksin dan mengubahnya menjadi toksigenik.
2. FISIOLOGI
C. botulinum termasuk bakteri yang bersifat mesophilic dengan suhu optimum untuk tumbuh yaitu 370 C untuk strain jenis A dan B serta 300 C untuk strain jenis E. Suhu terendah dari strain jenis A dan B adalah 12,50 C namun pernah juga dilaporkan bahwa kuman dapat tumbuh pada suhu 100 C. Disisi lain spora jenis E dikatakan mampu tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 3,30 C, sementara jenis F dilaporkan tumbuh dan menghasilkan toksin pada suhu 40 C . Secara umum strain jenis E dan B bersifat non-proteolitik serta strain F suhu minimum untuk tumbuhnya lebih kurang 100 C lebih rendah daripada strain A dan B. Sedangkan suhu maksimum untuk tumbuhnya yaitu : jenis A dan B pada suhu 500 C. Strain jenis E memiliki suhu maksimum 5 derajat lebih rendah dari strain A dan B dengan suhu optimumnya yaitu 300 C (Suardana, 2001; Cliver, 1990 ; Jay, 1978).
Produksi toksin dari C. botulinum
tergantung dari kemampuan sel untuk tumbuh di dalam makanan dan menjadi
autolisis disana (Suardana, 2001; Frazier dan Westhoff, 1988). Lebih
lanjut produksi toksin dipengaruhi oleh komposisi dari makanan atau
medium terutama glukosa atau maltosa yang diketahui sangat potensial
terhadap produksi toksin, kelembaban, pH, potensial redok, kadar garam,
temperatur dan waktu penyimpanan.
Berdasarkan atas pH, dilaporkan bahwa C. botulinum
tidak mampu tumbuh pada pH di bawah 4,5. Lebih jauh dilaporkan bahwa
organisme akan tumbuh dengan baik dan menghasilkan toksin pada pH
5,5-8,0 (Suardana, 2001; Jay, 1978). Sedangkan Frazier dan Westhoff
(1988) menyatakan bahwa nilai pH minimal untuk pertumbuhan sel vegetatif
adalah 4,87 sedangkan untuk petumbuhan spora 5,01 di dalam cairan
kaldu.
Nutrisi yang diperlukan untuk pertumbuhan bersifat komplek, diperlukan asam amino, vitamin B dan mineral. C. botulinum
jenis A dan B memerlukan kadar air 0,94 dan jenis E pada 0,97
Dilaporkan bahwa kadar garam 10% atau 50% sukrosa akan menghambat
pertumbuhan jenis A dan B. Tar dalam Jay (1978) menyatakan bahwa pada
konsentrasi 25-500 ppm dapat menghambat jenis A lebih dari sebulan pada
suhu optimum dengan pH 5,9-7,6. Di dalam penelitian pembentukan toksin
jenis E dan pertumbuhan sel didalam kalkun yang diinkubasikan pada suhu
300 C, Midura et al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa spora
jenis E akan memperbanyak diri dan menghasikan toksin dalam waktu 24
jam. Penampakan toksin bertepatan dengan pertumbuhan sel selama 2 minggu
setelah toksin berada di luar sel hidup. Penemuan ini mengungkapkan
bahwa kemungkinan ditemukannya toksin jenis E di dalam makanan tanpa
ditemukannya sel jenis E.
Makanan
yang mengandung toksin umumnya tanpa jenis organisme yang lain, hal ini
disebabkan oleh perlakuan panas dan pengepakan vakum. Dilihat dari
kehadiran ragi, kuman dilaporkan dapat tumbuh dan menghasilkan toksin
pada pH rendah 4,0. Ragi dianggap menghasilkan faktor pertumbuhan yang
diperlukan oleh Clostridia untuk tumbuh pada pH rendah, sementara
bakteri asam laktat diasumsikan sebagai alat pertumbuhan dengan
terjadinya penurunan potensial redok. Sejumlah strain C. perfringens
menghasilkan penghambat yang efektif terhadap 11 strain tipe A, 7 B
proteolitik, dan 1 non proteolitik, pada 5 strain E dan 7 strain F.
Kautter et al., dalam Jay (1978) menemukan bahwa strain jenis E dihambat
oleh organisme non toksik lainnya yang mempunyai ciri morfologi dan uji
biokimia yang sama dengan tipe E. Organisme yang menunjukkan efek
penghambatan ini menghasilkan substansi seperti bakteriocin yang dikenal
dengan nama bioticin. Laporan menunjukkan bahwa adanya kaitan antara C. botulinum
tipe F dalam sampel lumpur selama periode waktu tertentu dengan
kehadiran dari Bacillus licheniformis, dan kahadiran bakteri ini
dianggap sebagai pembawa faktor penghambat untuk pertumbuhan strain
jenis F (Suardana, 2001).
3. TAKSONOMI
Klasifikasi Clostridium botulinum adalah :
Kingdom : Bacteria
Divisi : Firmicutes
Kelas : Clostridia
Ordo : Clostridiales
Famili : Clostridiaceae
Genus : Clostridium
Species : Clostridium botulinum
4. EKOLOGI
Penyebaran bakteri C. botulinum melalui spora yang dihasilkan oleh bakteri tersebut. Spora C. botulinum dapat ditemukan di saluran pencernaan manusia, ikan, burung, dan hewan ternak. Selain itu, spora C. botulinum juga
dapat ditemukan di tanah, pupuk organik, limbah, dan hasil panen. Spora
tersebut dapat berakhir di usus hewan yang memakan hewan atau tumbuhan
yang terkontaminasi spora tersebut kemudian memasuki rantai makanan
manusia.
Jika
spora memasuki lingkungan yang anaerob, misalnya pada kaleng makanan,
spora – spora tersebut akan tumbuh menjadi bakteri yang dapat
menghasilkan neurotoksin. Pada makanan yang tertutup dan pH nya rendah (lebih dari 4,6) merupakan tempat pertumbuhan bakteri C. botulinum
yang kemudian dapat memproduksi racun. Faktor lain yang mendukung
tumbuhnya spora menjadi sel vegetatif adalah kadar garam yang di bawah
7%, kandungan gula di bawah 50%, temperatur 4oC – 49oC (suhu kamar), kadar kelembapan tinggi, serta sedikitnya kompetensi dengan bakteri flora (Elvira, 2008).
5. PERANAN DALAM LINGKUNGAN
Kusnadi, dkk (2003) menjelaskan bahwa bakteri penghasil racun (enterotoksin atau eksotoksin) dapat mencemari badan air, salah satunya adalah C. botulinum. Spora dapat masuk ke dalam air melalui debu atau tanah,
kotoran hewan, dan makanan-limbah. Jika makanan atau minuman dan air
bersih tercemari air tersebut, maka dalam keadaan yang memungkinkan,
bakteri tersebut akan mengeluarkan racun sehingga makanan atau minuman
mengandung racun dan bila dikonsumsi dapat menyebabkan keracunan
makanan. Bahkan menurut Dwidjoseputro (2005) pada makanan yang telah
dipasteurisasi pun juga dapat mengandung racun (toksin) . Makanan yang
telah dipasteurisasi kemudian terus menerus disimpan di dalam kaleng
pada temperatur kamar, dapat mengandung racun yang berasal dari Clostridium botulinum.
Spora-spora dari bakteri ini tidak mati dalam proses pasteurisasi.
Dalam keadaan tertutup (anaerob) dan suhu yang menguntungkan, maka
spora-spora tersebut dapat tumbuh menjadi bakteri serta menghasilkan
toksin. Racun yang dihasilkan tidak mengganggu alat pencernaan,
melainkan mengganggu urat saraf tepi (Iqbal, 2008).
Dua hal yang mendasari terbentuknya toksin pada bahan makanan yakni : adanya sejumlah C. botulinum
yang memperbanyak diri dan selanjutnya dihasilkan toksin pada bahan
makanan yang tercemar. Diketahui bahwa bentuk sporanya adalah kontaminan
yang sangat besar, yang mana akan bersifat toleran terhadap berbagai
situasi dan akan membunuh sel vegetatif yang selanjutnya menyisakan sel
yang dormant (terhenti) untuk periode yang lama sebelum memperbanyak
diri untuk menjadi sel vegetatif apabila kondisinya mendukung (Suardana,
2001; Cliver, 1990). Lebih jauh dinyatakan bahwa kontaminasi dapat
terjadi selama masa persiapan makanan atau selama penanganan
selanjutnya, tetapi yang paling sering adalah pada saat pemanenan suatu
produk. Sehingga tidaklah mengherankan bahwa kasus keracunan makanan
oleh C. botulinum berasal dari kontaminasi lingkungan dimana kuman C. botulinum
sudah sering dijumpai seperti adanya kontaminasi sayuran dan
buah-buahan akibat kontaminasi kuman jenis A yang berasal dari tanah,
kontaminasi jenis E berasal dari lingkungan perairan (Suardana, 2001;
Cliver, 1990).
Keberadaan C. botulinum
pada bahan makanan sebenarnya tidak membahayakan sepanjang kuman tidak
menghasilkan toksin. Pertumbuhannya tergantung pada kecukupan nutrisi
yang diperlukannya untuk tumbuh serta kondisi yang obligate anaerob.
Kuman tidak dapat tumbuh pada permukaan suatu produk yang terpapar oleh
udara, tetapi dapat tumbuh di bawah permukaan produk asalkan tersedianya
unsur pokok untuk oksidasi-reduksi.
Potensial
redok yang lambat pada makanan kaleng dengan kondisi anaerob akan
mengakibatkan toksigenesis yang selanjutnya mengakibatkan terjadinya
botulismus. Adanya kondisi anaerob dapat juga terjadi dengan cara lain
seperti pada saat pengepakan, contohnya pada kasus keracunan kentang
dimana kentang yang tercemar oleh C. botulinum dibungkus dengan aluminium foil untuk beberapa hari (Suardana, 2001; Cliver, 1990).
DAFTAR PUSTAKA
Astawan, Made. 2007. Waspadai Bakteri Patogen pada Makanan. http://cyberman.cbn.net.id/cbprtl/common/ptofriend.aspx?x=Nutrition&y=cybermed%7C0%7C0%7C6%7C425.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar