Oleh: Dr. Armi Susandi, MT
“apabila bumi diguncangkan dengan guncangan (yang dahsyat)”
Petikan
dari Surat Al Zalzalah ayat 1 tersebut tidak hanya menunjukkan
guncangan yang berasal dari dalam Bumi, tetapi juga dari atmosfer.
Kondisi di atmosfer lebih dinamis daripada di dalam Bumi, sehingga lebih
mudah terjadi guncangan terutama jika ada campur tangan manusia.
Fenomena alam yang disebut ‘guncangan’ di atmosfer dalam ayat
tersebut, dapat berupa badai, angin ribut, dan lain-lain.
Dalam
kondisi iklim yang normal, fenomena alam tersebut umumnya terjadi saat
pergantian musim atau saat musim-musim tertentu saja. Namun, peningkatan
konsentrasi gas rumah kaca (CO2, CH4, dan uap
air) telah mengganggu pola iklim tersebut. Terganggunya pola iklim
tersebut terlihat dari temperatur atmosfer yang terus meningkat.
Fenomena ini disebut sebagai pemanasan global (Global Warming).
Gas
rumah kaca dapat terbentuk secara alamiah ataupun karena aktivitas
manusia. Secara alamiah, gas rumah kaca berasal dari Matahari dan Bulan.
Sedangkan aktivitas manusia yang menimbulkan gas rumah kaca
(utamanya CO2) di antaranya ialah penggunaan bahan bakar fosil dan pembakaran hutan.
Gas
rumah kaca sebenarnya berfungsi sebagai penghangat udara di bumi. Pada
saat sinar Matahari sampai ke Bumi, sebagian dipantulkan kembali menjadi
radiasi panas. Dengan adanya gas rumah kaca, radiasi panas tersebut
tidak seluruhnya diteruskan ke luar angkasa, melainkan dipantulkan
kembali ke Bumi (lihat gambar di atas). Akibatnya, udara di Bumi tetap
hangat saat malam hari, dengan temperatur rata-rata sekitar 15° C. Tanpa
gas tersebut, temperatur di Bumi dapat turun hingga -18° C.
Akan
tetapi, meski bermanfaat, konsentrasi gas rumah kaca di alam harus tetap
seimbang agar temperatur atmosfer Bumi tidak menjadi terlalu panas.
Keseimbangan tersebut dapat terjaga karena sebagian gas rumah kaca
berupa CO2 diserap oleh tumbuhan, terutama di hutan, melalui
fotosintesis. Namun, dengan terjadinya perubahan tata guna lahan oleh
manusia, maka jumlah hutan di bumi semakin berkurang. Sebaliknya,
konsentrasi gas rumah kaca di bumi semakin meningkat dengan
berkembangnya aktivitas manusia.
Setiap
tahun, penggunaan bahan bakar fosil menghasilkan sekitar 5.5 gigaton
karbon. Hutan dan pepohonan saat ini masih mampu menyerap 1 gigaton,
sedangkan lautan menyerap 2 gigaton. Artinya, masih tersisa 3.5 gigaton
karbon yang terbuang ke atmosfer. Penebangan hutan menyebabkan jumlah CO2 yang terserap semakin berkurang, sehingga konsentrasi gas rumah kaca di bumi terus meningkat (lihat diagram di bawah).
Diagram
di atas menunjukkan kontribusi gas-gas rumah kaca terhadap pemanasan
global. Tampak bahwa kontribusi terbesar berasal dari gas CO2 sehingga disimpulkan bahwa pemanasan global terjadi karena peningkatan konsentrasi gas CO2.
Peningkatan tersebut berawal sejak Revolusi Industri di Inggris, dan
diperkirakan akan terus meningkat. Jika konsentrasi gas CO2 terus meningkat, temperatur pun akan terus meningkat.
Jika
hal tersebut tidak diantisipasi, maka muka air laut akan naik karena es
kutub yang mencair. Di zona transisi seperti daerah subtropis, badai
akan makin sering terjadi. Periode Badai El Nino akan lebih singkat,
yang semula dari 3-7 tahun menjadi 2-5 tahun sekali. El Nino berkorelasi
dengan kekeringan dan kebakaran hutan. Wabah penyakit yang biasanya
muncul saat peralihan musim pun, akan lebih sering terjadi karena cuaca
yang tidak menentu.
Di
Indonesia, sekitar 3% produktivitas pertanian akan turun, yang biasanya
dalam 1 tahun bisa panen 2 kali, kini menjadi 1 kali. Sebab anomali
temperatur yang terjadi tidak mampu diimbangi oleh tumbuhan. Jika
pertanian terutama di Pulau Jawa, terganggu, maka kestabilan pangan
nasional akan terganggu. Selain itu, karena mayoritas penduduk Indonesia
adalah petani, maka tingkat kemiskinan pun akan bertambah. Sebab,
petani merupakan lapisan masyarakat yang paling rentan terhadap
perubahan iklim.
Pemanasan
global juga dapat memicu alam untuk mencari keseimbangan baru, yaitu
perubahan pola cuaca dan iklim. Daerah kutub akan menjadi lebih hangat,
sehingga penggunaan bahan bakar untuk pemanas akan
berkurang. Sebaliknya, daerah tropis akan menjadi lebih panas. Namun,
dampak pemanasan tersebut tidak tersebar merata di seluruh dunia
sehingga merugikan beberapa negara. Meskipun negara tersebut memiliki
kebijakan yang cukup ramah lingkungan, efek pemanasan yang mereka alami
bisa lebih tinggi. Bahkan sebagian wilayahnya dapat terendam akibat
naiknya muka air laut.
Untuk mengurangi dampak pemanasan global tersebut, berbagai upaya telah dilakukan. Seperti merumuskan Kyoto Protocol, yang menyebutkan bahwa negara-negara yang mengeluarkan emisi gas CO2 harus membayar kepada negara-negara yang memiliki hutan lebat. Selain itu, dibentuk juga Adaptation Fund dimana negara-negara maju harus membantu negara-negara berkembang untuk meningkatkan pertaniannya.
Di Indonesia sendiri, telah dilakukan upaya-upaya pencegahan. Misalnya dengan proyek pengurangan emisi dan proyek penyerapan karbondioksida (CO2).
Pengurangan emisi dilakukan dengan penggunaan bahan bakar rendah emisi.
Sedangkan penyerapan karbondioksida dilakukan dengan reforestasi atau
penghutanan kembali lahan-lahan yang gundul. Upaya-upaya
lain yang bisa dilakukan ialah efisiensi penggunaan energi, mencegah
kerusakan hutan dan pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah
lingkungan.
Wallahu a’lam bis showab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar