Malcolm X adalah seorang tokoh Muslim kulit hitam Amerika
(Afro-Amerika). Ketokohannya dapat disandingkan dengan Dr Martin Luther
King yang berjuang menghapus segala macam diskriminasi, lebih-lebih
yang menimpa kaum Afro-Amerika.
”Saya tahu, masyarakat seringkali
membunuh orang-orang yang berusaha mengubah mereka menjadi lebih baik.
Jika saya mati dengan membawa cahaya kebenaran hakiki bagi mereka, hal
itu akan menghancurkan kanker rasisme yang menggerogoti tubuh Amerika
Serikat (AS). Semua itu terserah kepada Allah SWT. Sementara itu,
kesalahan atau kekhilafan dalam upaya saya itu semata-mata adalah dari
saya sendiri.”
Demikianlah pesan terakhirnya dalam buku “Malcolm X”, sebuah autobiografi yang ditulis oleh Alex Harley.
Malcolm X lahir pada tanggal 19 Mei
1925 di Omaha, Nebraska, AS, dengan nama asli Malcolm Little. Ibunya
bernama Louise Little dan ayahnya Earl Little adalah seorang pendeta
Baptis dan anggota UNIA (Universal Negro Improvement Association),
yakni sebuah organisasi yang dirintis oleh Marcos Aurelius Garvey untuk
mewadahi perbaikan hidup bagi orang Afro-Amerika.
Semasa kecilnya, Malcolm dan
keluarganya sering menjadi sasaran penembakan, pembakaran rumah,
pelecehan, dan ancaman lantaran ayahnya adalah anggota UNIA yang
militan. Tindakan kekerasan yang diterima keluarga Malcolm mencapai
puncaknya, saat ayahnya dibunuh kelompok rasis kulit putih ketika
Malcolm berusia enam tahun.
Kehilangan seorang ayah yang menjadi
pelindung, pengayom, sekaligus guru, telah mengubah kehidupan Malcolm
menjadi anak yang liar. Sekolahnya putus ketika ia berusia sekitar 15
tahun. Ia pun sering tinggal di jalanan. Kehidupan jalanan dan
kegemarannya pada kehidupan dunia hitam, telah membuatnya terjerumus
dalam berbagai kehidupan antargeng, narkotika, minuman keras, perjudian,
dan pelacuran. Kehidupan seperti ini ia jalani hingga keluarganya
pindah ke Harlem (wilayah terkenal bagi orang kulit hitam Amerika) di
New York.
Pada usia 20 tahun, Malcolm diajukan
ke pengadilan atas kasus pencurian dan ditahan hingga berusia 27 tahun.
Seperti layaknya seorang narapidana, banyak keonaran yang dilakukannya
semasa di penjara. Berulang-ulang ia harus keluar masuk penjara akibat
perbuatan yang dilakukannya.
Namun, dari balik tembok penjara ini,
dia justru menemukan apa yang dinamakan pencerahan diri, mulai dari
membaca dan menulis di dalam penjara Chalestown State.
Kemudian, terjadilah kontak dengan
saudaranya, Philbert, melalui surat-menyurat. Ia juga sering berdiskusi
dengan saudara kandungnya, Hilda, yang sering mengunjunginya selama di
penjara. Diskusi yang dilakukan berkaitan dengan ajaran agama Islam di
tempat kedua saudaranya terlibat, yakni Nation of Islam (NoI).
Memilih Islam
Berawal dari sinilah Malcolm mengenal
NoI. Kemudian, ia memutuskan masuk Islam dan mengganti namanya menjadi
Malcolm X. Inisial X menunjukkan bahwa ia adalah eks perokok, eks
pemabuk, eks kristen,
dan eks budak. Selama dalam penjara, Malcolm mengadakan kontak melalui
surat-menyurat dengan Elijah Muhammad, pimpinan sekaligus tokoh bagi
pengikut NoI. Berkat Elijah pula, Malcolm memahami arti ketertindasan
dan ketidakadilan yang menimpa ras kulit hitam sepanjang sejarah. Sejak
itulah, Malcolm X menjadi seorang napi yang kutu buku mulai dari
menekuni sastra, agama, bahasa, dan filsafat.
Pada hari pembebasannya di tahun 1952,
Malcolm langsung pergi ke Chicago untuk bergabung dengan kegiatan NoI.
Malcolm belajar Islam dan ajaran NoI langsung dari sang pendiri. Setahun
kemudian, Malcolm kembali ke Boston untuk mengorganisasi pendirian
sebuah masjid. Atas keberhasilannya itu, ia diangkat menjadi imam Masjid
Tujuh (Temple Seven) di Harlem.
Dengan bergabungnya Malcolm, NoI
berkembang menjadi organisasi yang berskala nasional. Malcolm sendiri
menjadi figur yang terkenal di dunia, mulai dari wawancara di televisi,
majalah, dan pembicara di berbagai universitas terkemuka dan forum
lainnya. Kepopulerannya muncul atas kata-katanya yang tegas dan kritis,
seputar kesulitan yang dialami kaum negro, yaitu tentang diskriminasi
dan sikap kekerasan yang ditunjukkan kaum kulit putih terhadap kaumnya
(kulit hitam).
Namun sayangnya, NoI juga memberikan
pandangan-pandangan yang bersikap rasis. Sehingga, ia menolak bantuan
apa pun dari kalangan kulit putih yang benar-benar mendukung perjuangan
antidiskriminasi. Bahkan, selama 12 tahun, Malcolm mendakwahkan bahwa
orang kulit putih adalah iblis dan Elijah Muhammad adalah yang terhormat
dan utusan Allah.
Pandangan tersebut tentu saja
bertentangan dengan ajaran Islam sendiri, yang tidak membedakan
kehormatan dan kehinaan seseorang berdasarkan ras, serta tidak ada nabi
sesudah Nabi Muhammad SAW. Pandangan rasis dari NoI, membuat Malcolm
kemudian menyadari bahwa hal tersebut sebagai sebuah ajaran yang tidak
rahmatan lil alamin. Karena hal itu, ia pun memutuskan keluar dari NoI.
Bahkan, Malcolm mengatakan, dirinya
sering menerima teguran bahwa tuduhan yang dilontarkan kepada kaum kulit
putih, tidak memiliki dasar dalam perspektif Islam. Di antaranya, yang
memberikan teguran adalah justru dari kalangan Muslim Timur Tengah atau
Muslim Afrika Utara. Meski demikian, mereka menganggap Malcolm
benar-benar memeluk Islam dan mengatakan jika dia berkesempatan mengenal
Islam sejati, pasti akan memahami ajarannya dan memegang teguh
ajarannya.
Kembali ke Ajaran Islam yang Murni
Pada tahun 1964, setelah menunaikan
ibadah haji, Malcolm X mendapatkan gambaran yang berbeda atas
pandangannya selama ini. Apalagi, setelah berjumpa dengan kaum Muslimin
dari seluruh dunia, dari berbagai ras, bangsa, dan warna kulit yang
semua memuji Tuhan yang satu dan tidak saling membedakan. Malcolm
berkata, ”Pengalaman haji yang saya alami dan lihat sendiri, benar-benar
memaksa saya mengubah banyak pola pikir saya sebelumnya dan membuang
sebagian pemikiran saya. Hal itu tidaklah sulit bagi saya.”
Kata-kata ini sebagai bukti bahwa
dirinya mengubah pandangan hidup, dari memperjuangkan hak sipil orang
negro ke gagasan internasionalisme dan humanisme Islam. Malcolm X pun
mulai meninggalkan ideologi separatisme kulit hitamnya dan beralih ke
ajaran Islam yang sesungguhnya. Ia juga mengganti namanya menjadi
el-Hajj
Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.
Malik el-Shabazz. Kendati berganti nama, Malcolm X jauh lebih populer ketimbang nama barunya. Malcolm menegaskan bahwa kaum Muslim kulit hitam berasal dari leluhur kaum Muslim yang sama. Perjalanan haji, ungkap dia, telah membuka cakrawala berpikirnya dengan menganugerahkan cara pandang baru selama dua pekan di Tanah Suci.
Kebenaran Islam telah menunjukkan
kepada dirinya bahwa kebencian membabi buta kepada semua orang kulit
putih adalah sikap yang salah, seperti halnya jika sikap yang sama
dilakukan orang kulit putih terhadap orang negro. Pada perjalanan
keduanya ke Timur Tengah di tahun 1964, Malcolm X menyempatkan diri
berkunjung ke Afrika, negeri leluhurnya. Selama delapan pekan, dia
beraudiensi dengan Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Nigeria
Nnamoi Azikiwe, Presiden Tanzania Julius K Nyarere, Presiden Guinea
Sekou Toure, Presiden Kenya Jomo Kenyatta, dan Perdana Menteri Uganda
Milton Obote. Ia juga bertemu dengan para pemimpin agama berkebangsaan
Afrika, Arab, dan Asia, baik Muslim dan non-Muslim.
”Saya melihat hal yang tidak pernah
saya lihat selama 39 tahun hidup di Amerika Serikat. Saya melihat semua
ras dan warna kulit bersaudara dan beribadah kepada satu Tuhan tanpa
menyekutukannya. Benar pada masa lalu saya bersikap benci pada semua
orang kulit putih. Namun, saya tidak merasa bersalah dengan sikap itu
lagi, karena sekarang saya tahu bahwa ada orang kulit putih yang ikhlas
dan mau bersaudara dengan orang negro,” ujarnya.
Malcolm X akhirnya mendirikan
Organization of Afro-American Unity pada 28 Juni 1964 di New York.
Melalui organisasi ini, ia menerbitkan Muhammad Speaks (Muhammad
Bericara) yang kini diganti menjadi Bilalian News (Kabar Kaum Bilali
[Muslim Kulit Hitam]).
Namun, ia tak sempat lama menikmati
usahanya dalam memperjuangkan Islam yang lebih baik lagi. Pada 21
Februari 1965, saat akan memberi ceramah di sebuah hotel di New York,
Malcolm X tewas ditembak oleh tiga orang Afro-Amerika. Sebuah kelompok
yang dia perjuangkan tentang nilai-nilai dan hak-hak warga kulit hitam.
Tak ada yang tahu, apa motif di balik penembakan itu.
Kendati demikian, impian Malcolm X
menyebarkan visi antirasisme dan nilai-nilai Islam yang humanis,
menggugah kalangan Afro-Amerika dan dunia. Banyak yang menaruh simpati
padanya. Bahkan, berkat perjuangannya pula, banyak orang yang memeluk
agama Islam. Salah satunya adalah Classius Clay Junior, seorang petinju kelas berat yang akhirnya berganti nama menjadi Muhammad Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar