“I think I came to see Islam, or at least one part of Islam, as an important defense mechanism against the commercialization of the world”, Peter Jennings
Jika Anda penikmat sejarah dunia, Anda akan temukan sebab kemajuan dan kehancuran sebuah peradaban. Kuncinya adalah belajar. Kecepatan belajar dari kesalahan dan mempelajari kesuksesan adalah point menentukan untuk nasib sebuah bangsa: akan memimpin, tertinggal atau terhapus dari sejarah. Peradaban Mongol pernah sempat muncul dari lembar sejarah dunia untuk kemudian lenyap, peradaban Indian dengan Aztek dan Maya yang terkenalpun pernah tampak kilauannya dari buku-buku sejarah, walaupun kini tinggal nama. Bahkan ada pula peradaban canggih di masanya yang terdengar oleh kita, tapi sekarang jejaknya susah ditemukan, bahkan hanya dianggap sebuah dongeng. Itulah negeri Atlantis.
Ada 3 peradaban terakhir yang semangat belajarnya patut kita tiru, karena mereka masih hidup sampai sekarang. Mereka adalah: peradaban Islam, Barat, dan Jepang. Peradaban Islam tak hanya mewujud karena tuntunan Allah SWT lewat Nabi dan kitab sucinya, peradaban ini juga mampu menjadi estafet sekaligus filter dari peradaban-peradaban besar sebelumnya seperti Romawi dan Yunani. Peradaban Barat pun demikian. Mereka tak hanya mewarisi darah dan wilayah bangsa Romawi, mereka juga menerima tongkat estafet kejayaan Islam yang memudar. Peradaban Jepang memang belum bisa disebut meneruskan estafet dari Barat. Tapi mereka adalah peradaban bangsa yang menjadi simbol semangat belajar yang luar biasa. Bahkan Jepang menjadi trigger (pemicu) bagi munculnya the next civilization : Asia Timur.
Peradaban Islam
Abad ke-7 ketika dunia sudah terperosok jauh dan hampir menemui ajal keruntuhannya, dari semenanjung Arab tiba-tiba muncul cahaya yang menerangi dunia yang dipimpin seorang yang buta huruf namun jenius: Muhammad. Ia langsung dilantik oleh langit untuk memimpin perubahan dunia. Muhammad tidak hanya sukses namun dalam menyebarkan agama, ia juga memimpin peradaban. Sampai abad ke-16, menara peradaban Islam makin menjulang terang ke seantero dunia.
Peradaban itu dimulai dari Mekkah dan Madinah. Muhammad memimpin dan merubah bangsa yang suka berperang menjadi bangsa tangguh nan cerdas. Ia juga memimpin otak-otak cemerlang bangsa Arab yang hanya butuh sedikit polesan dan lecutan motivasi untuk melejit. Orang-orang Arab tak hanya duduk melingkari sang Nabi untuk mendengar tuturan kata-katanya. Merekapun tak hanya merekamnya dengan sangat sempurna di otak mereka (Qur’an dan Hadist), tapi mereka juga mempraktekkan ilmu yang mereka dapat. Tak heran jika mereka langsung memperoleh hasil yang gemilang: kejayaan dunia.
Tak perlu menunggu lama, Sang Nabi sudah menguasai jazirah Arab sebelum wafatnya. Dan Beliau mampu melihat masa depan dari wajah-wajah para sahabatnya. Ya, Beliau tak hanya memimpin revolusi negara lewat militer dan pemerintahan, Muhammad juga memimpin peradaban ilmu. Beliau memulainya dari kebijakan yang sangat jitu. Selain mendidik dengan lisanya, Beliauun membebaskan tawanan perang dengan syarat mengajarkan ilmu yang mereka miliki. Para murid-muridnya (disebut sahabat Nabi) pun dimotivasi untuk mengajar dan terus mengajar. Bangsa Arab kemudian tak hanya betul-betul kuat dalam fisik dan ahli bersenjata, mereka juga disempurnakan dengan penguasaan ilmu dan motivasi iman Islam yang tinggi.
Tak heran pula jika belum sampai berumur setengah abad, mereka sudah berhadap-hadapan dan berdiri sejajr dengan superpower saat itu: Romawi dan Persia. Benderang agama sekaligus spirit ilmu bak kecepatan cahaya segera menjalar ke seluruh negeri yang mereka taklukkan.
Khulafaur Rasyidin atau 4 khalifah pasca Nabi: Abu Bakar, Usman bin Affan, Umar bin Khattab, dan Ali bin Abi Thalib tah hanya meneruskan iman dan Islam, mereka juga mengajarkan keuangan, administrasi dan bagaimana mengelolah negara yang teramat luas.
Dinasti Umayyah kemudian melanjutkan kesuksesan Khulafaur Rasyidin juga dengan pondasi pemerintahan yang kuta dan ilmu yang cemerlang. Para ilmuwan dan penuntut ilmu di zaman itu begitu diistimewakan. Pondasi tradisi ilmiah tersebut makin disempurnakan pada masa dinasti Abbasiyah. Maka tak heran jika banyak lahir ilmuwan-ilmuwan sekaligus ulama-ulama pada masa-masa tersebut.
Dinasti-dinasti tersebut mulai mengenalkan pemakaian pos untuk urusan informasi antar wilayah yang luas, membentuk protokol kenegaraan, kepolisian, dan kementrian. Mereka membangun armada kapal yang kuat, sistem navigasi yang jempolan, dan mereka juga membangun “surga-surga” dunia. Ini masih terlihat dan terawat di kota-kota Spanyol sampai sekarang.
Peradaban Kertas dan Buku
Dinasti Abbasiyah kemudian menyulap Bagdad menjadi metropolis dunia di Asia, sementara Dinasti Umayyah menyulap kota-kota di Spanyol (Andalusia) seperti Cordoba, Toledo, Malaga menjadi cahaya-cahaya peradaban di Eropa. “Kekhalifahan Abbasiyah berangkali merupakan periode yang paling makmur dalam sejarah umat manusia hingga saat itu.” (Henry S. Lucas, sejarahwan)
Baghdad tak hanya cahaya ilmu, juga pusat ekonomi. Baghdad menjadi penghubung pusat-pusat ekonomi lainnya. Baghdad bak pemilik jalur sutra. Baghdad, Basrah, dan Iskandariyah di Mesir seperti New York, Tokyo, dan London di jaman sekarang.
Mereka juga mengembangkan kertas dari China, berdagang sampai ke Nusantara, membangun industri dan pertanian mereka. Para petani sudah menggunakan sistem silang, irigasi, kanal, dan pupuk penyubur tanah.
Salah satu pemimpin Islam terkenal kala itu adalah Khalifah Al Ma’mun dan Harun Ar Rasyid. Mereka mendorong pnulisan buku dan penterjemahan karya-karya Yunani. Mereka membangun banyak perpustakaan. Bahkan tercatat di Baghdad kala itu sudah ada sekitar 700 masjid, dan 70 perpustakaan. Beberapa perpustakaan memiliki buku sampai 500.000 buah. Toko-toko buku tak terhitung jumlahnya.
Islam di Andalusia-pun tak kalah ilmiah. Bahkan saking cintanya dengan ilmu, salah satu khalifahnya, Al Hakam II memiliki perpustakaan pribadi dengan 400.000 koleksi buku. Ia mendorong pencarian buku-buku terbaik dan penterjemahan. Pada masanya Cordoba tak kalah maju dengan Baghdad. Kertas dan buku adalah salah satu kunci kemajuannya.
Dari pusat peradaban Baghdad dan Andalusialah lahir ilmuwan besar seperti Ibnu Rusyd sang ahli filsafat yang terkenal dengan rasionalitasnya, An Nafis penemu sirkulasi darah, Ibnu Haitam sang bapak optik, Ar Razi penemu obat cacar, Al Farabi si ahli musik, Al Battani si ahli astronomi, Ibnu Batuta sang ahli ilmu bumi dan penjelajah dunia yang populer serta Ibnu Khaldun sang bapak ilmu sosial.
Ibnu Khaldun sendiri tak hanya dikenal sebagai ahli sejarah dunia, ia juga tajam dalam analisa sekonomi. Buku Ibnu Khaldun berjudul Mukadimmah menjadi salah satu mosterpiece-nya. Tak salah jika konon Adam Smith, sang bapak kapitalisme dunia dalam buku Nation of Wealth yang asli mencantumkan namanya sebagai inspirator.
Untuk ilmu alam, Islam pun melahirkan nama-nama legendaris seperti Al Khawarizmi pakar matematika yang menemukan angka nol. Kemudian Ibnu Shina yang wajahnya terpahat di gerbang masuk Universitas Paris, Prancis. Ibnu Shina adalah ilmuwan yang buku kedokterannya Al-Qanun (The Cannon) menjadi rujukan kedokteran dunia hampir 700 tahun lamanya karena tak tergantikan. Ia menulis sekitar 450 buah buku dari berbagai bidang termasuk buku puisi.
Jembatan Islam-Eropa
Abad 12 Eropa mulai belajar dari Islam. Tercatat nama-nama tokoh Eropa menjadi murid peradaban Islam, seperti pendeta terkenal Gerbert d’Aurillac yang kemudian menjadi Paus. Lalu Adelard of Bath yang kemudian mempelopori gerakan keilmuan di Inggris. Ia dianggap sebagai ilmuwan Inggris pertama. Ia menterjemahkan buku matematika Al Khawarizmi. Lalu ada Gerard of Cremoda yang menterjemahkan buku astronomi karya Al Zarqali, yang kemudian menjadi karya astronomi paling akurat di Eropa saat itu.
Sumber: Buku “Keajaiban Belajar” – “Beauty of Learning”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar