WANITA DALAM PANDANGAN ISLAM MODERAT
Oleh :
Dr. H.M. Idris A. Shomad, MA
Wanita adalah makhluk unik yang diciptakan Allah
SWT, keunikannya nampak pada karakter dasar yang dimiliki setiap wanita,
sebagaimana disinyalir Rasulullah saw bahwa wanita bak “Qowawir” (kaca)
yang memiliki karakteristik seperti lembut, halus, ‘mudah pecah’ (sensitif), karenanya
mesti disikapi dengan hati-hati. Beliau bersabda kepada seorang sahabat bernama
Anjasyah: “wahai Anjasyah perlahan-lahanlah dalam berjalan, karena kita
sedang mengiringi Al-Qawarir (wanita-wanita)” (HR. Bukhari).
Wanita juga merupakan makhluk yang menarik untuk
dibicarakan dan dibahas. Kemenarikan bahasan dan pembicaraan wanita nampak pada
beragamnya tema-tema bahasan wanita, dari persoalan pribadi wanita yang dapat
menjadi zinah (perhiasan) sebagaimana sebaliknya bisa menjadi fitnah
(bencana), sampai persoalan peran dan fungsi sosial wanita di luar rumah.
Semuanya adalah bahasan yang dibicarakan dalam permasalahan wanita, sejatinya
dilakukan secara cermat dan teliti, tanpa gegabah yang dapat menyebabkan
kesalahan persepsi terhadap persoalan ini.
Persepsi tentang wanita yang bijak adalah persepsi
yang tidak condong kepada pengekangan terhadap wanita karena sikap-sikap yang
kaku terhadap teks-teks agama, sebaliknya tidak pula memberikan persepsi yang
liberal yang cenderung mempersepsikan kebebasan tanpa batas dan kaidah-kaidah
agama yang diangkat dan dibahas oleh para ulama Islam.
“Islam tidak memposisikan laki-laki dan perempuan
dalam posisi yang serba salah. Islam juga tidak membuat mereka merasa berdosa
ketika harus terlibat dalam berbagai aktivitas sosial. Hanya saja, Islam mewarnainya
dengan adab-adab syar’i sebagaimana berbagai aktivitas lain. Islam
meletakkan panduan bagi wanita yang dapat menjaga diri berikut masyarakatnya. misalnya
menutup aurat, larangan berduaan (berkhalwat), pemberian batas-batas ikhtilath
dan hal lain yang terkait dengan keterlibatan wanita dalam aktivitas sosial” [1]
.
Posisi Wanita Dalam Islam
Untuk dapat meyakini
keunggulan kedudukan dan posisi wanita dalam Islam secara lebih mantap,
sebaiknya kita pahami pandangan terlebih dahulu posisi wanita dalam pandangan
kebudayaan-kebudayaan kuno, seperti wanita dalam pandangan perundang-undangan China,
Yunani, Romawi, India dan Italia dsb.
Dalam budaya China Kuno
terdapat sebuah kaidah: "tidak ada di dunia sesuatu yang paling rendah
nilainya selain wanita", "wanita adalah tempat terakhir dalam
jenis kelamin dan dia mesti ditempat pada pekerjaan yang paling hina" [2] .
Dalam perundang-undangan Yunani,
sebagaimana ditulis Dymosten: "kami menjadikan wanita pelacur untuk
bersenang-senang, menjadikan teman wanita (pacar) untuk kesehatan fisik kami,
menjadikan istri-istri kami agar kami memiliki anak-anak yang legal" [3] .
Di Italia pada sebagian wilayahnya
wanita dianggap seperti pembantu rumah tangga, dia hanya boleh duduk di lantai
sementara suaminya duduk di atas kursi. Apabila suaminya mengendarai kuda maka
sang istri mesti berjalan di bawah mengikuti sang suami meski dalam perjalanan
yang jauh sekalipun" [4] .
Sedangkan India dalam materi
Qanun no: 147 disebutkan bahwa wanita tidak berhak pada setiap tahapan hidupnya
untuk melakukan aktifitasnya sesuai keinginannya, meskipun dalam masalah rumah
tangganya" [5]
.
Dalam budaya Romawi wanita
tidak mendapatkan posisi terhormat, bahkan diperlakukan seperti anak-anak dan
orang-orang gila, sebagaimana dikutip
Abdul Mun'im Badr dan abdul Mun'im al-Badrawi dalam bukunya Mabadi'
al-Qanun ar-Rumani hal: 197-265 [6] .
Sedangkan pandangan Arab Kuno
terhadap wanita dapat kita cermati dari sebuah ayat al-Qur'an dari sekian
banyak ayat-ayat al-Qur'an: "dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran)
anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan Dia sangat marah. Ia
Menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang
disampaikan kepadanya. Apakah Dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan
ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup) ?. ketahuilah,
Alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (QS. An-Nahl: 58-59).
Sedangkan sikap Islam terhadap
wanita sangat adil dan proporsional; Islam sangat menghargai kedudukan wanita
sebagaimana memberikan arahan-arahan untuk dapat menjaga kehormatan dan harga
wanita sebagai makhluk Allah dengan segala keunikannya.
Islam menetapkan persamaan
antara laki-laki dan perempuan dalam hal kemuliaan dan tanggungjawab secara
umum[7], sebagaimana ditegaskan
Nabi Muhammad saw dalam sebuah haditsnya :
النساء
شقائق الرجال
“Wanita adala belahan dari pria” (HR. Ahmad dari
Aisyah r.a)
Adapun terkait tugas
masing-masing dalam keluarga dan masyarakat Islam menetapkan sikap proporsional
bagi laki-laki dan perempuan dalam hak dan kewajiban mereka, sekaligus sebagai
bukti keadilan Islam[8] , firman Allah SWT:
4
£`çlm;ur ã@÷WÏB Ï%©!$#
£`Íkön=tã Å$rá÷èpRùQ$$Î/4
“Para
wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang
kakruf” (QS. Al-Baqarah: 228).
Islam memandang bahwa setiap jenis laki-laki dan
perempuan memiliki kelebihan masing-masing; Allah memberikan kelebihan bagi
laki-laki atas perempuan dengan satu derajat, firmanNya:
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ [البقرة:228]
“dan bagi mereka (wanita-wanita) hak sebagaimana kewajiban
dengan makruf, bagi kaum lelaki atas mereka derajat, dan Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana (QS. Al-Baqarah: 228).
Karenanya
Allah SWT memberikan tugas lebih berat bagi lelaki atas kaum perempuan; kaum
lelakilah yang mengemban tugas-tugas berat seperti kenabian, kepemimpinan
global (al-imamah al-uzhma), tugas qodho (peradilan), megimami
shalat, jihad fi sabilillah. Sebagaimana diberikan kekhususan kepada kaum pria
seperti penisbatan anak kepada bapaknya (lelaki), pembagian waris dua kali
lipat atas bagian wanita dan sebagainya.
وقد روى الإمام أحمد في
مسنده أن أم سلمة رضي الله عنها قالت: يا رسول الله، تغزُو الرجال ولا نغزو، ولنا نِصفُ الميراث!! فأنزل الله
تعالى: وَلا تَتَمَنَّوْا مَا فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى
بَعْضٍ لِلرِّجَالِ
نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ فَضْلِهِ [النساء:32][9]
Imam Ahmad meriwayatkan dalam
musnadnya bahwa Ummu Salamah r.a berkata: wahai Rasulullah, kaum pria berperang
sedangkan kami (kaum wanita) tidak, bagi kami setengah bagian warisan kaum
pria?”, kemudian turun ayat 32 surat an-Nisa’: “dan janganlah kalian
berangan-angan apa yang Allah beri kelebihan kepada sebahagian kalian atas
sebahagian, bagi lelaki bagian apa yang mereka lakukan dan bagi perempuan
bagian sesuai apa yang dilakukan, mintalah kepada Allah dari sebagian
karuniaNya”.
Imam
al-Qurthubi berkata[10]:
Tidak tersembunyi bagi orang cerdas
terhadap kelebihan (yang dimiliki) kaum pria atas kaum wanita, kalaulah
disebut-sebut bahwa wanita diciptakan dari (sebagian) penciptaan lelaki, maka
hal itu (sebenarnya) orisinil, bagi lelaki hak melarang wanita melakukan
sesuatu selain atas izinnya”.
Namun
demikian, kelebihan tersebut yang merupakan karunia dari Sang Pencipta alam
semesta, tidak berarti pelecehan terhadap hak-hak asasi perempuan dan apalagi
tidak sama sekali berarti sikap diskriminatif terhadap perempuan; tidak pula
secara otomatis bahwa setiap lelaki lebih baik dari semua wanita; karena ada
sebuah kaidah yang berlaku, bahwa “melebihkan atas sesuatu tidak mesti
penghinaan dan merendahkannya; seperti halnya keyakinan bahwa al-Qur’an
seluruhnya adalah Kalamullah, ketika ada sebuah riwayat yang shahih bahwa ayat
Kursi (al-Baqarah: 225) adalah ayat yang paling baik, bukan sama sekali berarti
–na’idzubillah- bahwa ayat-ayat yang tidak baik. Contoh lain pernyataan
tentang kelebihan sebahagian Nabi atas sebahagian lainnya sebagaimana
dijelaskan dalam ayat 66 surah al-Isra’, tidak sama sekali bermaksud pelecehan
terhadap Nabi yang lain tersebut. Maha Suci Allah SWT dari prasangka buruk orang-orang
munafik.
Posisi
wanita dalam Islam juga dapat dilihat dari perhatiannya kepada kewajiban
pendidikan wanita secara khusus. Dari Ibnu Abbas ra bahwa Rasulullah saw
bersabda: “Tidaklah seorang muslim yang mempunyai dua anak perempuan, kemudian
ia berbuat baik dalam hubungan dengan keduannya kecuali keduanya akan bisa
memasukannya ke dalam surga." (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang shahih dan
Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya).
Dari Ibnu Abbas ra. Berkata, Rasulullah saw. Bersabda:
”Barangsiapa yang mempunyai tiga anak perempuan, atau dua anak perempuan, atau
dua saudara perempuan, kemudian ia berbuat baik dalam berhubungan dengan mereka
dan bertakwa kepada Allah atas (hak) mereka, maka baginya surga" (HR.
Tirmidzi dan Abu Dawud, hanya saja pada riwayat Abu Dawud Rasulullah saw
bersabda, "Kemudian ia mendidik, berbuat baik, dan menikahkan mereka, maka
baginya surga.").
Pendidikan wanita dalam Islam diawali dengan pendidikan
dasar, yaitu akidan dan prinsip-prinsip iman, ibadah dan akhlak wanita
muslimah. Demikian juga pendidikan skil dan
ketrampilan bagi wanita seseuai kebutuhan zaman. Adalah Abul A'la Al Ma'arry
berpesan kepada wanita seraya berkata: "Ajarilah mereka memintal dan
menjahit. Biarkan mereka membaca dan menulis aksara. Doanya seorang dara dengan
Al-Fatihah dan Al-Ikhlas sama dengan membaca Yunus dan Bara'ah".
Wanita Dalam al-Qur’an (Perspektif Balaghoh Qur’aniah).
Hawa adalah wanita pertama
yang Allah SWT hadirkan ke muka bumi, Alloh menyebutnya di dalam al-Qur’an dengan
lafal “zauj“ (زوج ) yang termaktub dalam 5 ayat pada 5 surat
yang berlainan (lihat: QS. 2:35, 4:1,
7:19, 20:117, 39:6). Pada 3 surat ( QS.
2:35, 7:19, 20:117 ) disebutkan bahwa Hawa ada diantara kisah suaminya Adam
a.s, sedangkan 2 surat
lainnya dinyatakan Hawa dalam konteks yang berbeda.
Menilik Hawa yang tercantum dalam surat 2:35, di
dalamnya terkandung suatu makna betapa besarnya keberadaan seorang wanita di hadapan
seorang pria, karena Sunnatulloh pria cenderung kepada wanita yang satu sama
lainnya mempunyai ketergantungan, yang dengannya dapat memunculkan sakinah
(ketenangan) lahir-bathin dalam mengarungi bahtera kehidupan, manakala keduanya
mampu melaksanakan tugas sebagai suami
istri yang shalih dan shalihat.
Hal ini tersirat dalam al-Qur’an dengan kalimat (
اسكن
أنت وزوجك الجنة ) artinya: Tinggallah kamu
dan istrimua di dalam Surga; kata ( اسكن ) ditujukan kepada
Adam dan Hawa dan tidak mengulang kata ( اسكن ) dalam bentuk
perintah kepada Hawa seperti misalnya ( اسكن أنت ولتسكن زوجك
) tetapi hanya menyebutkan kata kerja perintah satu kali ( اسكن أنت وزوجك
). Maka kata (اسكن) memiliki konotasi sebuah mahligai rumah tangga yang mampu menebarkan ketenangan dan
kebahagiaan hidup seorang pria, karena disampingnya wanita setia menyertainya
sebagai istri.
Dengan kata lain
seorang istri akan menikmati ketenangan dan kebahagiaan hidup ketika
berhasil memerankan tugas sebagai istri
bagi suaminya [11]
.
Dari kata sambung “waw” mengisyaratkan adanya
jalinan yang harmonis antara pria dan wanita dalam sebuah ikatan perkawinan
yang sah. Demikian rahasia al-Qur'an tidak menyebutkan nama Adam atau Hawa,
tetapi cukup dengan menyebutkan status Hawa sebagai istri Adam a.s, sebagai
pertanda keharmonisan dan ketenangan hidup berumah tangga. Pada ayat tersebut
berlaku untuk seluruh manusia yang ingin
menjalankan roda kehidupan di dunia dengan menata kehidupan rumah tangga
di bawah rengkuhan ridho Allah Swt.
Maka untuk membangun rumah tangga yang harmonis tak
luput dari unsur ta’awun (saling membantu ), agar dapat melaksanakan tugas dan
perannya, baik yang bersifat moral maupun material, dijelaskan oleh Allah SWT
ketika Adam dan Hawa menghadapi
godaan dan rayuan
Iblis -la’natulloh ‘alihi-, satu sama lain memperkokoh untuk mampu
menghadapi dan melawan tipu daya serta bisikan Iblis menghancurkan keutuhan
mereka, karena pada hakekatnya Iblis tidak hanya menggoda Adam, tetapi Hawa tak
luput dari sasarannya (عدو لك
ولزوجك: Musuh bagimu dan bagi istrimu), sebagaimana tercantum dalam QS. 20:117.
Pun diperjelas dengan kata-kata selanjutnya dalam ayat itu ( فلايخرجنكما من الجنة : Maka
ia tidak mengeluarkan kalian berdua dari Surga, dengan kata ganti ( كما
) yang berlaku untuk berdua (Adam dan Hawa).
Namun kata-kata berikutnya (فتشقى), menggunakan kata
ganti yang berlaku untuk seorang, Allah tidak mengatakan ( فتشقيان
) misalnya, yang artinya: maka kalian berdua akan sengsara. Tetapi hanya
berkata ( فتشـقى ) yang artinya maka akan sengsara (Engkau hai Adam). Melihat
realita yang ada, sesungguhnya dalam membangun mahligai rumah tangga keduanya
memiliki tugas yang diemban masing-masing, bagi seorang suami sebagai Qowwam
(pemimpin) berperan pencari nafkah, seorang pemimpin yang memiliki wibawa di mata
istri dan putra-putrinya, sedangkan Istri dengan belaian lembut dan sentuhan
kasih sayang mampu menjadikan rumah tangga sebagai madrasah buat
putra-putrinya, sebagai proses kaderisasi untuk memunculkan generasi tangguh
dan berkualitas.
Demikian mulia dan tingginya nilai dan tugas yang
diamanatkan kepada wanita sebagai istri dan seorang ibunda di dalam
memfungsikan misi dan perannya bersama sang suami dan ayahanda, merupakan
proyek besar bagi terwujudnya generasi yang mampu tampil dengan gelar khalifah di muka bumi .
Selanjutnya termaktub di dalam surat An-Nisa ayat 1, bahwa kata “zauj “ yang dimaksud adalah Hawa [12]
.
Nilai mulia wanita juga dapat dilihat dari perannya
sebagai pendamping pria, pertanda kebesaran Allah SWT menjadikan manusia dari
satu asal (Adam a.s) yang kemudian melengkapi pasangan untuknya seorang istri
(Hawa). Dari sana
berawal proses penciptaan lahirnya anak manusia
sebagai asal muasal kejadian manusia yang kemudian menjadi titik
tolak berlakunya hukum sosial dalam
Islam.
Perhatian al-Qur’an terhadap wanita dan permasalahannya
sangat nampak pada pengangkatan kewanitaan, baik pada aspek figur dan
kriterianya maupun aspek masalah-masalah yang dibahas; demikian banyak
al-Qur’an menyebut kisah-kisah wanita yang berperan sebagai figure keteladanan
seperti Asiah istri Fir’aun, Zainab binti Jahsyin istri Rasulullah saw, kisah
ketegaran istri Nabi Ibrahim as, kisah fitnah terhadap Ummul Mu’minin Aisyah.
Sebaliknya wanita-wanita berdosa yang tidak bertanggung jawab terhadap
kelestarian dan kesejahteraan hidup, seperti istri Nabi Nuh dan Nabi Luth,
istri Abu Lahab.
Bahkan al-Qur’an memberikan penamaan khusus kepada
nama sebuah surat
al-Qur’an dengan sebutan an-Nisa’ (para wanita); di dalamnya dijelaskan tentang
wanita yang memerankan penebar kebajikan bagi kehidupan dan hokum-hukum yang
terkait dengan kewanitaan.
Wanita
Dalam Hadits Nabi saw.
Sebagaimana dalam al-Qur’an, hadits nabi saw sesuai
fungsinya sebagai penafsir dan pemberi penjelasan al-Qur’an, mengangkat wanita
sebagai makhluk Allah yang menempati posisi yang tinggi. Antara lain dapat
dicermati dengan seksama hadits Nabi saw tentang asal muasal penciptaan wanita,
bahwa wanita diciptakan dari tulang rusuk kiri Adam a.s dalam sabda Rasulullah
saw :
( ... فإنهن
خلقن من ضلع أعوج ... ) artinya: “(karena) mereka (kaum wanita) diciptakan
dari tulang rusuk yang bengkok” .
Hadits ini adalah hadits shahih karena diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dan Muslim [13],
penciptaan semacam ini merupakan tanda kekuasaan Allah SWT yang mengatur
sesuatu menurut kehendak-Nya, seperti halnya proses penciptaan Adam a.s tanpa
ayah dan ibu, juga penciptaan Isa a.s tanpa ayah.
Maka dapat dipahami, bahwa penciptaan Hawa dari
tulang rusuk Adam bukan bermaksud merendahkan kedudukan kaum wanita dan tidak
pula menyerahkan totalitas kekuasaan kepada pria atas wanita. Sebagai bukti
hadits tsb diawali dengan suatu pesan Rasulullah saw kepada kaum pria sebagai
suami atau seorang ayah: (استوصوا بالنساء خيرا):
“ berlaku baiklah kepada wanita” [14]
Selanjutnya esensi penciptaan Hawa dari tulang
rusuk Adam as sebagai isyarat adanya nilai fitrah yang terkandung yaitu
keterikatan dan kecenderungan antara pria dan wanita dan pertanda adanya rasa
saling membutuhkan satu sama
lainnya untuk saling melengkapi, karena
keduanya berasal dari tubuh yang satu, seiring dengan ungkapan Allah SWT ( زوج ) yang berarti teman hidup [15]
, karena keduanya lahir dari proses
penciptaan-Nya.
Keunikan ciptaan wanita seperti disebutkan dalam
banyak hadits Nabi saw itu menempatkan wanita sebagai makhluk Allah yang mesti
disikap dengan bijak dan sesuai fitrahnya dan asal kejadiannya; karenanya
wanita di satu sisi disebut-sebut sebagai zinatul-hayah (perhiasan dunia), sebagaimana
sabda Nabi Muhammad saw:
"الدنيا
متاع وخير متاعها المرأة الصالحة" (رواه مسلم)
“Dunia adalah
perhiasan, sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholihah (HR Muslim).
ألا أخبركم بخير ما يكنز
المرء المرأة الصالحة إذا نظر إليها سرته وإذا غاب عنها حفظته، وإذا أمرها
أطاعته" رواه ابن ماجه وأحمد والنسائي والحاكم
Maukah kalian aku beritahu sebaik-baik harta
simpanan seseorang? Yaitu wanita sholihah,jika ia memandangnya menyenangkannya,
jika ia tidak berada di depannya ia peliharanya, jika ia memerintahkannya ia
menataati” HR. Ibnu Majah, Imam Ahmad, an-Nasa’I dan al-Hakim.
Tetapi di sisi lain wanita juga menjadi fitnah,
sesuatu yang mendatangkan malapetaka dalam kehidupan bagi kaum pria, hal itu
ditegaskan Nabi dalam haditsnya:
“Tidak
aku tinggalkan fitnah yang lebih berbahaya atas umatku daripada wanita” (HR.
Bukhari Muslim).
)وعند مسلم
في صحيحه: (فاتقوا
الدنيا، واتّقوا النساء، فإنّ أوّل فتنةِ بني إسرائيل كانت في النساء)[17]
Dalam
riwayat Muslim: “takutlah terhadap dunia, dan terhadap wanita, karena fitnah
pertama terhadap Bani Israil dahulu pada wanita”.
Dalam catatan sejarah dikenal peristiwa-peristiwa
peperangan di jaman Jahiliyah yang terjadi disebabkan karena factor wanita
seperti yang terjadi terhadap Kisra yang menginginkan seorang wanita namun
ditolak oleh an-Nu’man[18],
demikian peristiwa konflik dengan Yahudi dikarenakan gangguan terhadap wanita
muslimah berjilbab yang terbuka sebagian auratnya di pasar Bani Qoinuqo’ di
masa Nabi Muhammad saw [19]
.
Wanita dalam Islam sebagaimana dijelaskan dalam
hadits-hadits Rasulullah saw adalah memiliki hak dan kewajiban sebagaimana kaum
pria, sebagaimana Islam mengangkat prinsip persamaan antara lelaki dan
perempuan, namun juga menyatakan realitas perbedaan baik fisik maupun emosi
antara lelaki dan perempuan, karenanya persamaan dan kebebasan yang dimiliki kaum
perempuan direalisasi secara
proporsional sesuai batas-batas yang ditentukan syariat Islam[20].
Tidak seperti yang dituduhkan oleh kaum Liberal
bahwa wanita memiliki kebebasan tanpa batas dan arahan kaum pria, mereka
kadang-kadang menggunakan dalil-dalil untuk melegitimasi pandangannya seperti ‘hadits’
:
)طاعةُ المرأة ندامة(
‘hadits’ tersebut
adalah hadits palsu, dikeluarkan oleh Ibnu Ady dalam kitab al-Kamil 3/262, 5/262
dari Aisyah r.a dari hadits Zaid bin Tsabit r.a, Ibnu al-Jauzi (2/272) dan Imam
Syaukani (129) serta al-Albani dalam Silsilah Hadits Dho’if (435) dan yang
lainnya.
Seperti hadits yang lain:
((خذوا نِصفَ دينِكم من هذه الحُميراء))
Hadits tersebut juga palsu, seperti yang disebutkan
dalam kitab Mirqotul Mafatih (10/565), bahwa al-Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Saya
tidak mengenal sanadnya, juga periwayatannya dalam buku-buku hadits selain
dalam kitab an-Nihayah Ibnu al-Atsir, tetapi beliau tidak menyebut siapa yang
meriwayatkannya. Al-Hafizh Imaduddin ibnu Katsir, bahwa ia bertanya al-Mazzi
dan adz-Dzahabi, keduanya berkata: tidak mengetahui (riwayat tersebut).
As-Sakhowi berkata: disebutkan dalam al-Firdaus tanpa sanad dan tidak dengan
lafazh ini, tetapi dengan lafazh ( خذوا
ثلث دِينِكُم مِن بيتِ الحُميراء
) Penulis Musnad al-Firdaus mencantumkan riwayat ini namun tidak menyebutkan
sanadnya. Imam as-Suyuthi mengatakan: “saya tidak menemukannya (riwayat
tersebut) ”. kalaupun benar riwayat tersebut maksudnya adalah keunggulan yang
dimiliki oleh Ummul Mukminin Aisyah r.a dalam hukum-hukum fiqh keluarga, bukan
berarti tahrir al-mar’ah (liberalisasi kaum wanita).
Islam juga tidak memandang wanita wabagai makhluk
yang serba kurang. Sebagaimana sebagian orang yang bersikap negative kepada
wanita karena kekurangan yang diihat pada kaum wanita; sebahagian lagi
menganggap wanita sebagi makhluk lemah dan serba kurang berdasarkan sebuah
riwayat hadits :
( عن أبي سعيد الخدري
رضي الله عنه قال: خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم: في أضحى أو فطر إلى المصلى
(مصلى العيد) فمر على النساء، فقال: يا معشر النساء... ما رأيتُ ناقصات عقل ودين
أذهب للب الرجل الحازم من إحداكن" أخرجه الشيخان.
Maksud hadits ini adalah bahwa wanita ketakjuban
Nabi pada fenomena kemampuan wanita dalam mengambil hati pria, padahal pada
diri mereka- secara umum- ada kelemahan. “Naqishot ‘aql berarti kurang
daya ingat dalam beberapa persoalan hidup, sedangkan naqshu din ialah
tidak diperkenankannya wanita melakukan beberapa ritual ibadah lantaran adanya
penghalang seperti haidh dan nifas [21].
Wallahu A’alam bish-showab.
Wanita dan
Kepemimpinan
Pada dasarnya
kepemimpinan secara umum diembankan kepada laki-laki, sebagaimana penegasan
Allah SWT dalam surat
an-Nisa’: 34
)الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ
أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ (النساء:34.
Kaum
lelaki adalah pelindung (pemimpin) bagi kaum wanaita karena karunia Allah
kepada sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian lainnya (wanita), dan
karena (kewajiban) menafkahi dari harta mereka; maka wanita-wanita shalihat
adalah yang tunduk patuh, menjaga diri ketika (sang suami) tidak ada, karena
Allah telah menjaga mereka… (QS. An-Nisa: 34).
Kelebihan
kaum lelaki atas kaum wanita juga dijelaskan Allah SWT dalam firmanNya ayat
228 surat
al-Baqarah
وَلَهُنَّ
مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“… dan baginya (kaum wanita) memiliki
hak sebagaimana ada kewajiban dengan cara yang makruf, dan bagi kaum lelaki
derajat atas kaum wanita, dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”[22].
Namun
demikian tidak ada satu teks agama yang melarang kepemimpinan kaum wanita atas
kaum lelaki selain dalam hal al-walayah (kekuasaan) secara umum, seperti
hadits riwayat al-Bukhari dari Abu Bakrah r.a [23],
Rasulullah saw bersabda:
)لن يفلح
قوم ولَّوا
أمرَهم امرأةً) ,وفي لفظ
آخر (: ((ما أفلَح قومٌ )
“Suatu kaum tidak beruntung jika mereka mengangkat wanita
sebagai pemimpin”.
Imam
Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan dengan sanadnya yang shahih[24],
bahwa Nabi Muhammad saw bersabda:
( الآنَ هلكتِ الرجال إذا أطاعتِ النساء )
“Sekarang,
binasalah kaum lelaki jika menaati kaum wanita” .
Maksud
2 riwayat hadits tersebut adalah perwalian atau kepemimpinan secara umum (imamah
kubra) terhadap umat atau kedudukannya sebagai pemimpin daulah. Terkait
dengan riwayat hadits pertama dapat disimpulkan pendapat para ulama Islam :
a-
Sebab periwayatannya adalah kabar tentang
ketidakberuntungan orang-orang Persi, karena mereka memakai sistem kerajaan
yang mengharuskan mengangkat putri pemimpinnya yang meninggal sebagai
penggantinya, padahal selain putrinya masih banyak kaum pria yang lebih pantas
menjadi pemimpin.
b-
Kalau ada ulama mengatakan yang menjadi
pertimbangan adalah keumuman lafazh bukan kekhususan sebab,
tetapi ada juga ulama yang berpendapat lain seperti Ibnu Abbas dan Ibnu Umar
yang menegaskan pentingnya perhatian kepada sebab turunnya ayat dan sebab periwayatan
hadits agar tidak menjadi seperti kaum al-Haruriyah dan Khawarij yang
cenderung tekstualis ekstrim.
c-
Jika hadits ini dipahami dengan keumuman lafazh
saja maka bisa saja dikatakan bertentangan dengan ayat yang mengkisahkan ratu
Bilqis yang adil dan cerdas.
d-
Para ulama sepakat bahwa wanita dilarang
memegang al-walayah al-kubra atau al-imamah al-uzhma, yang dalam
hadits ditunjukkan dengan kata ”wallau amrohum”. Namun ada juga ulama
yang mengqiyaskan (menganalogi) imamah kubra dengan kepala negara. Singkatnya
mereka berbeda pendapat dalam penetapan wanita sebagai kepada negara atau
kepada daerah. Hal ini terbuka untuk medan ijtihad.
e-
Pembicaraan wanita menjadi menteri atau
tugas-tugas lain di luar pembicaraan khilafiyah ulama diatas. Umar bin Khthab
pernah mengangkat Syifa binti Abdullah al-’Adawiyah menjadi Kepala Bidang
Urusan Pasar.
f-
Kedudukan seperti Indira Ghandi, Margaret
Tatcher atau Golda Meir di Israel tidak dapat dikatakan penguasa kaum secara
umum, sebab mereka hanya pimpinan dari partai dan kelompoknya (dalam perspektif
demokrasi modern), karena masih banyak yang dapat menentang dirinya sebagai
pemimpin[25]
.
Peran Sosial Politik Wanita
Secara tegas Islam mendeklarasikan persamaan antara kaum lelaki dan wanita, Allah berfirman dalam QS. an-Nahl [16]:97, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan“.
Jelaslah bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah pilih kasih antara umat manusia siapa saja yang beramal shalih maka akan memperoleh pahala yang tidak ada aniaya sedikitpun, firman Allah SWT:
Secara tegas Islam mendeklarasikan persamaan antara kaum lelaki dan wanita, Allah berfirman dalam QS. an-Nahl [16]:97, yang artinya: “Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan“.
Jelaslah bahwa Allah tidak pernah dan tidak akan pernah pilih kasih antara umat manusia siapa saja yang beramal shalih maka akan memperoleh pahala yang tidak ada aniaya sedikitpun, firman Allah SWT:
”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang
paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di
antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al
Hujurat [49]:13
FirmanNya: ”inna akramakum 'indallahi atqakum, yang
artinya: sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang
paling bertaqwa, terdapat sebuah penegasan bahwa Allah SWT sama sekali tidak
pilih kasih dalam hal pahala dan ganjaran. Allah juga tidak pilih kasih dalam
hal dosa. Demikian pula persamaan dalam kewajiban-kewajibannya sebagai hamba
termasuk pula kewajiban-kewajiban terhadap agamanya. Semua itu dilakukan dalam
rangka menyiapkan wanita muslimah untuk mengemban peran besar dalam kehidupan
sosial politik umat [26].
Dengan demikian Islam sangat mengakomodir peran-peran
strategis dalam kehidupan sosial dan politik; peran dalam rumah tangga, peran
di mesjid, memberantas buta aksara, peran arahan dan bimbingan masyarakat,
pendidikan dan pengajaran, peran dalam amar makruf nahi munkar, peran
memberdayakan sesama kaum perempuan, peran mengembangkan ilmu pengetahuan dan
dakwah kepada kebajikan, peran-peran wanita dalam bidang kesehatan dsb.
Islam
bahkan menganjurkan dan memerintahkan wanita-wanita muslimah untuk berperan
aktif dalam rumah tangga, masyarakat, negara dan pemerintahan tanpa
mengorbankan kewajiban-kewajibannya yang lain sebagai istri, ibu rumah tangga;
karena semua hal tersebut dilakukan secara seimbang, moderat dan adil antara
hak dan kewajiban, dengan tetap menjaga harga diri dan kehormatannya selaku
makhluk Allah yang dimuliakan dan dihormati.
Dalam
catatan sejarah Islam seorang wanita Ummu Salamah ra, istri Nabi saw ikut
berunding dengan para shahabat Rasulullah saw dalam peristiwa politik Perjanjian
Hudaibiyah. Ummu Salamah ra memberikan saran-saran politik kepada Rasulullah
saw untuk mengambil langkah-langkah efektif dalam menenangkan emosi yang timbul
di kalangan para sahabat ra, yang hampir berputus asa dalam memecahkah masalah
yang terjadi saat itu[27].
Diantara
bentuk partisipasi politik wanita dalam Islam pemberian komitmen dan kesetiaan
(baca: Bai’at) untuk pembelaan terhadap
Islam. Di zaman Rasulullah saw seorang wanita bernama Ummu Hani binti Abi
Thalib pernah berperan sosial dengan membangun rumah sakit. Bahkan beliau
berperan dalam aktifitas politik dengan melakukan perlindungan terhadap
keluarga besarnya saat kaum muslimin memasuki kota Mekkah pada peristiwa Fathu
Mekkah.
Ada
seorang wanita yang berperan dalam menggunakan hak berpendapat pada masa pemerintahan
Umar bin Khattab ra; setelah Umar r.a melaksanakan khutbah di masjid, beliau
berpendapat pembatasan batas nilai mahar. Selesai beliau berkhutbah, wanita
tersebut berdiri seraya berkata: "Siapakah anda, sehingga memberi batasan
atas apa yang Allah swt dan Rasul-Nya tidak membatasinya ?" serta merta
Umar r.a mengomentari: "Wanita ini benar, dan Umar-lah yang salah.
Peran
wanita dalam ranah politik, khususnya dalam kesertaan di parlemen suatu negara,
maka hal itu dibolehkan selama ada kemaslahatan. Kalimat dibolehkan disini
tidak berarti keharusan dan kewajiban, tetapi diboleh dalam batas kemaslahtan
dan kemudharatan. Kecuali posisi kepala negara, maka hal tersebut diserahkan
kepada lelaki, karena bagi wanita secara umum amanat kepala negara merupakan
suatu yang berat dan di luar kemampuan wanita dalam menghadapi persoalan negara
yang sangat kompleks dan pelik. Kata-kata secara umum di sini berarti adanya
sebahagian wanita yang memiliki kemampuan untuk mengemban amanat berat tersebut
seperti halnya Ratu Bilqis di jaman dahulu; tetapi perlu diingat bahwa
penetapan hukum dalam Islam berlandaskan pada sesuatu yang lebih global dan
keumuman bukan sesuatu yang jarang, bahkan ulama Islam mengatakan: ”an-Nadir
laa Hukma Lahu” sesuatu yang jarang tidak memiliki hukum (tidak menjadi dasar
hukum)”[28]
.
Sangat
nampak jelas bahwa peran wanita di ranah sosial politik merupakan peran yang
tidak boleh dikebiri dan dipasung. Wanita bahkan sejatinya memainkan perannya
dalam ranah ini sesuai dengan adab dan etika Islam, tanpa mengorbankan
kehormatan dan kemuliaan dirinya sebagaimana diberikan penghargaan tersebut
oleh Islam.
Dintara
etika wanita yang berpartisipasi dalam ranah sosial politk adalah menjaga
kehormatan dirinya dengan tidak melakukan tabarruj (bersolek yang mengundang
fitnah), menghindari sedapat mungkin ikhtilath apalagi khalwat [29],
melakukan komunikasi sesuai keperluannya dan pada batas-batas logis.
Diantara
cara menjaga kehormatan wanita, Allah SWT memberikan cara yang efektif, yaitu
menutup aurat wanita, sebagaimana firmanNya: "Katakanlah
kepada wanita yang beriman... ... ... ... hendaklah mereka menutupkan
kerudung kepalanya sampai ke dadanya"... ... . QS. An-Nur: 31.
Dan
selanjutnya juga diperkuat dengan firmanNya yang lain: "Hai Nabi, katakanlah
kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin,
supaya mereka menutup kepala dan badan mereka dengan jilbabnya supaya mereka
dapat dikenal orang (sebagai muslimah), maka tentulah mereka tidak diganggu
(disakiti) oleh laki-laki yang jahat. Allah Maha Pengampun lagi Maha
Pengasih" (QS. Al-Ahzab: 59).
Perintah Allah diatas merupakan kewajiban bagi wanita
muslimah sebagaimana perintah-perintah lain dalam surat an-Nur: "Inilah
satu surah yang Kami turunkan kepada rasul dan Kami wajibkan menjalankan
hukum-hukum syariat yang tersebut di dalamnya. Dan Kami turunkan pula di dalamnya
keterangan-keterangan yang jelas, semoga kamu dapat mengingatnya".
Perintah Allah di atas ditegaskan juga oleh Nabi Muhammad
saw dalam hadist beliau yang artinya: "Wahai Asma! Sesungguhnya seorang
perempuan apabila sudah cukup umur, tidak boleh dilihat seluruh anggota
tubuhnya, kecuali ini dan ini, sambil Rasulullah menunjuk muka dan kedua telapak
tangannya".
Ummul Mukminin Aisyah r.a berkata: ”Semoga Allah memberi
rahmat kepada perempuan-perempuan Muhajirin; di waktu Allah menurunkan ayat
kerudung itu, mereka koyak kain-kain berlukis mereka yang belum dijahit, lalu mereka
jadikan kerudung". Allah yang menciptakan
makhluknya, tentunya Dialah yang paling memahami kebutuhan dan solusi terbaik
untuk makhlukNya.
Wanita & Ilmu Pengetahuan
Islam tidak membedakan antara
pria dan wanita dalam kewajiban mencari ilmu dan melakukan pendalaman serta
pengembangan ilmu pengetahuan; karena kewajiban menuntut ilmu dalam Islam
berlaku untuk semua, sebagaimana sabda Nabi saw:
"طلب العلم فريضة على كل مسلم" [30]
“Menuntut ilmu adalah
kewajiban bagi setiap muslim” setiap
muslim dalam hadits ini mencakup wanita dan pria, karenanya ada riwayat yang
mengatakan “faridhotun ‘ala kulli muslim wa muslimah” meskipun makna riwayatnya
benar, tetapi lafazhnya tidak didapat dalam periwayatan yang shahih[31]
.
Untuk memahami peran dan
partisipasi wanita dalam mempelajari dan pengembangan ilmu pengetahuan cukup
dengan mengutip beberapa riwayat-riwayat hadits dan atsar serta peristiwa
sejarah, antara lain:
ü جاءت امرأة إلى رسول الله فقالت: يا رسول الله،
ذهب الرجال بحديثك فاجعل لنا من نفسك يوما نأتيك فيه تعلمنا مما علمك الله. فقال: "اجتمعن
في يوم كذا في مكان كذا. فأتاهن فعلمهن مما علمه الله” (رواه البخاري ومسلم واللفظ
للبخاري).
Datang seorang wanita
kepada Rasulullah saw seraya berkata: Wahai Rasulullah, orangorang lelaki pergi
(mendengarkan) pelajaranmu, maka buatlah untuk kami satu hari kami dapat
mendatangimu mengajarkan kami apa yang Allah ajarkan kepadamu. Rasulullah saw
menjawab: ”berkumpullah pada suatu hari tertentu” , Maka Rasulullah pun bertemu
dengan wanita-wanita (shahabat) dan mengajarkan mereka” (HR. Bukhari Muslim).
ü عن
أم عطية الأنصارية رضي الله عنها: يا رسول الله إحدانا لايكون لها جلباب. قال:
لتلبسها أختها من جلبابها (متفق عليه).
Dari Ummu ’Athiyyah
al-Anshariyah r.a berkata: wahai Rasulullah seseorang dari kami (wanita
muslimah) tidak memiliki jilbab. Nabi berkata: hendaklah saudaranya
memakaikannya jilbabnya” (memberikan pinjaman jilbab). Muttafaq ’alaihi.
ü
Rasulullah saw pernah meminta
asy-Syifa al-’Adawiyah mengajarkan istrinya Hafshah menulis indah. Hal ini
menggambarkan spirit aktivitas wanita dalam aspek pengetahuan.
ü عن
عائشة رضي الله عنها قالت: نعم النساء نساء الأنصار لم يمنعهن الحياء أن يتفقهن في
الدين (رواه البخاري).
ü
Dari Aisyah r.a
berkata: Sebaik-baik wanita adalah wanita Anshar yang tidak segan-segan
memperdalam agama” (Bukhari).
ü قال
الإمام الزهري: لو جمع علم عائشة بعلم النساء جميعا لكان علم عائشة أفضل. وقال أبو
عمر بن عبد البر رحمه الله: أنها كانت وحيدة عصرها في ثلاثة علوم: علم الفقه وعلم
الطب وعلم الشعر
Imam Zuhri berkata: kalau ilmu
Aisyah r.a dihimpun dengan ilmu wanita-wanita semuanya, niscaya ilmu Aisyah lebih
baik. Dan Abu Umar bin Abdul Barr r.a berkata: sesungguhnya Aisyah satu-satu
wanita pada masanya yang memiliki 3 ilmu: fiqh, prinsip-prinsip medis dan
syair”.
Peran keilmuan kaum wanita
setelah masa Nabi Muhammad saw juga sangat nampak dari peran-peran yang
dimainkan wanita-wanita di masa tabi’in dan tabi’ tabi’in, seperti putrinya
Imam Sa’id al-Musayyib yang mengatakan kepada suaminya yang juga murid ayahnya:
”Ijlis U’allimuka ’Ilma Sa’id” (duduklah padaku aku ajarkan ilmu-ilmunya ayahku
Sa’id).
Demikian pula putri
kesayangannya Imam Malik, yang senantiasa ikut serta dalam majlis ayahnya; jika
ia mendengar kesalahan murid ayahnya dalam majlis ilmu dalam membaca kitab
al-Muwatho’, ia meralat bacaan mereka dengan cara mengetukkan pintu, lalu Imam
Malik pun mengatakan kepada muridnya yang melakukan kesalahan (atas ralat
putrinya tersebut): ” ’Irji’ fal-gholath ma’ak (kembalilah karena kamu
melakukan kesalahan).
Demikian banyak wanita-wanita
muslimah yang memainkan perannya dalam ilmu pengetahuan di masyarakat antara
lain bisa disebutkan disini :
- Ummu Khoir al-Hijaziyah
mempunyai halaqah ilmiah di mesjid Jami’ Amr bin ’Ash pada abad IV H.
- Al-Khatmah istri Abu Muhammad selalu membacakan kitab
suaminya dan menalar kitan Ar-Risalah karangan Syeikh Abu Muhammad bin Abu Zaid
setengah sebagian dari kitab Al-Muwatho’
- Fatimah binti Alauddin As-Samarqandi
-Pengarang Tuhfatul-Fuqoha- menikah dengan Abu-Bakar Al-Kasani “Malikul-Ulama”
-Pengarang Kitab Al-Ba’i’ Syarh kitab Tuhfatul-Fuqaha dengan mahar Qira’at
Kitab Al-Badai’. Yang sempat membuat sebahagian alim ulama menyebutnya sebagai
orang yang: "شرح تحفته وتزوج ابنته" (mensyarah kitab Tuhfahnya dan menikahi istrinya). Sehingga fatwa-fatwanyapun bernilai
plus, karena mendapat legalisir ayah dan suaminya.
- Para perawi hadits dari kalangan wanita pun tidak
sedikit, seperti: Abu Muslim Al-Farahidi Al-Muhaddits menulis sebanyak 70
wanita perawi hadits. Istri AlHafidh Al-Haitsami, anak wanita dari Syeikhnya
bernama Al-Hafidh Al-Iraqi. Karimah binti Mahmud bin Hatim Al-Marwaziyah
“Sayyidatul-Wuzara” adalah salah seorang perawi hadits-hadits Bukhari. Demikian
pula Aisyah binti Hamad bin Abdul Hadi bin Abdul Hamid bin Abdul Hadi bin Yusuf
bin Muhammad Al-Maqdisy yang membidangi spesialisasi hadits.
- Ibnu Hajar berkata: Saya belajar
kepada Zainab binti Abdullah bin Abdul Halim bin Taimiyah Al-Hanbali ( saudara
kandung Imam Ahmad Ibn Taimiyah rahimahullah). Diantara murid-murid Zainab
adalah: Imam Al-Hafidh Muhammad bin Nasiruddin Al-Maqdisi Asy-Syafi’i.
- Masih banyak lagi sederetan wanita Berkwalitas tinggi
dalam berbagai ilmu-ilmu agama, seperti: Sayyidah Nafisah binti Muhammad, Zainab
binti Al-Kamal (yang mempunyai murid bernama: Imam Muhammad bin Hamzah
Al-Husaini), Wazirah binti Umar Al-Mayya ( mempunyai murid bernama Imam
Muhammad bin siwar As-Subki), Zainab binti Makki (guru wanita Imam Ahmad bin
Bakkar An-Nablusi dan Abdullah bin Muhid serta Umar bin Habib), Zaenab binti
Abil-Qasim (yang telah diberi ijazah oleh ulama terkenal Abul-Qosim Mahmud bin
Umar Az-Zamakhsyari -pengarang kitab Al-Kasysyaf- dan oleh Muarrikh Syihabuddin
bin Khulkan), Ummu Abdul-Wahid ( ahli fiqh madzhab Syafi’i, disamping
mempelajari ilmu-ilmu yang lain), Fatimah binti Jauhar (salah seorang
guru Imam Ibnu Qoyyim), Zubaidah (istri Harun Ar-Rasyid
adalah ahli Fiqh)[32].
Al-Hafidh Jalaluddin As-Suyuthi menyelesaikan qiro’at
kitab “Bughyatul-Wu’at kepada beberapa ulama wanita pada zamannya: Ummu Hani
binti Hasan Al-Hawrini, Hajar binti Muhammad Al-Misriyah, Ashilah Nasywan binti
Abdullah Al-Kanani, Kamaliyah binti Muhammad bin
Abu-Bakar Al-Jurjani, Amatul-Khaliq binti Abdul-Latif Al-Uqba, Amatul-Aziz
binti Muhammad Al-Anbasi, Fatimah binti Ali bin Yasir, Khadijah binti
Abil-Hasan bin Al-Mulaqqon.
Penutup.
Melihat posisi wanita dalam
Islam karena kemuliaan dan penghargaan dirinya yang diberikan oleh Allah SWT
dalam al-Qur’an dan juga oleh Nabi Muhammad saw Rasul Penutup dan Penyempurna,
maka sangat benar perkataan seorang penyair Islam:
الأم
مدرسة إذا أعددتها أعددت شعبا طيب الأعراق
Ibu (wanita) ibarat madrasah (lembaga belajar dan
mendidik), jika kamu mempersiapkannya (dengan baik) berarti kamu telah dan
sedang mempersiapkan bangsa yang baik budayanya.
Karenanya pula Nabi Muhammad saw di banyak
haditsnya memperhatikan peran-peran wanita dan menghimbau para pendidik
khususnya para ayah dan suami agar melakukan proses pendidikan terhadap kaum
wanita sebagai asset bangsa dan Negara yang mampu dan ikut serta berjuang
bersama kaum pria.
Referensi :
1. Persatuan Ulama Islam Sedunia, 25
Prinsip Islam Moderat, cet.I 1429H/2008,
SCC Jakarta.
2. Salim al-Bahnasawi, Makanatul Mar'ah
Bainal Islam wal Qowanin al-'Alamiyah, Darul Qolam, 1406H/1986M.
3. Imam al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkamil
Qur’an.
4. Fi Zhilal al-Qur’an, Sayyid Qutub,
Dar-Asy-Syuruq
5. Fathul-Qodir, Asy-Syaukani.
- Nuzhatul-Muttaqin Syarh Riyadhush-Sholihin, Dr Musthofa Sa’id Al-Khin dkk, 1/280, hadits no: 275, cet: 15 (1408H/1988M), Mu’assasah Ar-Risalah Beirut.
7.
- Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Wa As-Sunnah, Mohammad Izzat Daruzah, cet: 1 (1387H-1967M), Al-Maktabah Al-Ashriyah Beirut.
- Nuzhatul-Muttaqin Syarh Riyadhush-Sholihin, Dr Musthofa Sa’id Al-Khin dkk, cet: 15 (1408H/1988M), Mu’assasah Ar-Risalah Beirut.
10. Al-Asas Fi At-Tafsir, Sa’id Hawa, cet:
2 (1409H/1989M) Darus-Salam
- Tafsir At-Tahrir Wa At-Tanwir, Mohammad Ath-Thohir bin Asyur.
12. Qomus Al-Qur’an aw Ishlah Al-Wujuh wa
An-Nadho’ir fi Al-Qur’an al-Karim, Al-Faqih Al-Mufassir, Al-Jami’ Al-Husein
Mohammad Ad-Damighon, Darul-Ilmi lil Malayin Beirut, cet: 3 (1980).
13. Tarikh ath-Thabari.
14. Siroh Nabawiyah Ibnu Hisyam
15. al-Khilafah Baina at-Tanzhir wa
ath-Thathbiq, Mahmud al-Mardawai, cet. 1 1403H/1983M, tanpa penerbit.
16. “Audatul Hijab”, Muhammad Ahmad Ismail al-Muqoddam, Dar
Thoyyibah Riyadh, tanpa tahun penerbitan.
17. Qodhoya al-Mar’ah fi Suroti an-Nisa’,
Dr. Muhammad Yusuf Abd, cet 1 tahun 1405H/1985M.. Darud- Da’wah Kuwait.
18. Buku-buku Hadits Nabi seperti: Musnad
Imam Ahmad, al-Mustadrak alHakim, Shahih Bukhari dan Imam Muslim dan Syarahnya
dll.
19. Daurul Mar’ah Fil Mujtama’ al-Islami,
Dr. Ali Wahbah, cet. Ke 5 tahun 1403H/1983M. Darul Liwa’ Riyadh KSA.
20. Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi
Nansyuduhu, Yusuf al-Qaradhawi, Hal: 360-361, cet. 1 tahun 1417H/1996M,
Muassasah ar-Risalah Beirut.
21. al-Mar’ah al-Muslimah wa Fiqhu
ad-Da’wah, Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Darul Wafa Mesir, tanpa nomor cetakan
dan tahun terbitan.
22. Ya Nisa’ad-Du’at Lastunna Kakulli
an-Nisa’, Zubeir Fadhl Madhawi, hal: 27, Syarikat Maktabah al-Khadamat
al-Haditsah, tanpa tahun penerbitan.
23. al-Marja’iyyatul ‘Ulya fil- Islam
Lil-Qur’an was-Sunnah, Yusuf al-Qaradhawi, Hal 197-198, cet.1 tahun
1414H/1993M, Muassasah ar-Risalah Beirut.
24. Ar-Rasul wal-‘ilm, Dr. Yusuf
al-Qaradhawi, Hal: 91, Maktabah Wahabah Kairo, tanpa tahun penerbitan.
25. Nisa’ Haula ar-Rasul, war-Rodd ‘ala
Muftaroyat al-Mustasyriqin, Mahmud Mahdi al-Istanbuli dan Musthofa Abun-Nashr
asy-Syalabi, cet. 3 tahun 1411H/1991M, Maktabah as-Sawadi Jeddah.
26. al-Muntakhob Min A’lam an-Nisa’, Abbas
Muhammad Hasan yusuf, cet. 1 tahun 1410H/1990M, Darul Bayan Kuwait.
[2] Dikutip dari Wil Durant dari bukunya Hadharatush-Shin
dan buku Hayatul Yunan, terjemahan Mohammad Badran, hal: 17, 114-273.
(lihat: Salim al-Bahnasawi, Makanatul Mar'ah Bainal Islam wal Qowanin
al-'Alamiyah, hal: 13, Darul Qolam, 1406H/1986M.
[3] Dikutip dari Wil Durant dalam Tarikhul
'alam, hal: 394, Wizarotul Ma'arif Mesir. Lihat : al-Bahnasawi,
op.cit. hal: 14.
[6] Al-Bahnasawi,
opcit. Hal 15. Lihat pula buku: al-Mar’ah al-Muslimah wa Fiqhu ad-Da’wah,
Dr. Ali Abdul Halim Mahmud, Darul Wafa Mesir, tanpa nomor cetakan dan tahun
terbitan.
[9] HR. Imam Ahmad 6/322.
Abu Ya’la 6959, ath-Thabari dalam
Tafsirnya 5/46-47, ath-Thabrani dalam al-Kabir 23/280, al-Hakim berkata
(2/335): Hadits shahih sanadnya, jika Mujahid mendengar dari Ummu Salamah”.
[13] Imam Bukhori, kitab Fi An-Nikah, bab
Al-Mudarot ma’an-Nisa’, Imam Muslim kitab Fi Ar-Rodho’, bab Al-Washiyat
bin-Nisa’.
[14] Al-Mar’ah fi Al-Qur’an Wa As-Sunnah, Mohammad
Izzat Daruzah, hal: 47< cet: 1 (1387H-1967M)< Al-Maktabah Al-Ashriyah
Beirut. Lihat hadits dalam kitab Nuzhatul-Muttaqin Syarh Riyadhush-Sholihin, Dr
Musthofa Sa’id Al-Khin dkk, 1/280, hadits no: 275, cet: 15 (1408H/1988M),
Mu’assasah Ar-Risalah Beirut.
Lihat juga: Al-Asas Fi At-Tafsir, Sa’id
Hawa, 2/986-987, cet: 2 (1409H/1989M) Darus-Salam
Lihat: Qomus Al-Qur’an aw
Ishlah Al-Wujuh wa An-Nadho’ir fi Al-Qur’an al-Karim, Al-Faqih Al-Mufassir,
Al-Jami’ Al-Husein Mohammad Ad-Damighon, 219-220< Darul-Ilmi lil Malayin
Beirut, cet: 3 (1980).
[16] Shahih Bukhari 5096, Muslim dalam Kitab adz-Dzikr
(2740), dari Usamah bin Zaid dengan lafal “Adhorro ‘alar-Rijal Minan-Nisa”
[19] Baca: Siroh Nabawiyah Ibnu Hisyam 3/314, Imam Baihaqi
dalam as-sunan al-Kubro 200/9. Imam al-Baihaqi mengatakan, bahwa Imam
asy-Syafe’i meriwayatkan dari Abi Abdur-Rahman al-Bagdadi: “para ahli sejarah
seperti Ibnu Ishaq, Musa bin Uqbah dan ulama lainnya yang meriwayatkan bahwa
Bani Qoinuqo’ membuat perjanjian dengan Rasulullah saw, ketika itu datanglah
seorang wanita Anshar kepada seorang ahli sepuh perhiasan emas, Yahudi dan
Anshar terdapat konflik, ketika wanita tersebut duduk di sisi ahli sepuh tadi,
seseorang Yahudi mengikatkan tali di besi ke bagian pakaian si wanita Anshar
tanpa diketahuinya, saat si wanita itu berdiri maka tersingkaplah pakaian si
wanita itu dan orang-orang yang melihat di pasar tertawa mengejek. Kabar itu
sampai kepada Rasulullah saw, beliaupun memperingati mereka dan menganggap
peristiwa ini sebagai pelanggaran perjanjian”.
[20] Lihat: Daurul Mar’ah Fil Mujtama’ al-Islami, Dr. Ali
Wahbah, hal: 16, cet. Ke 5 tahun 1403H/1983M. Darul Liwa’ Riyadh KSA.
[21] Lihat: al-Marja’iyyatul ‘Ulya fil- Islam Lil-Qur’an
was-Sunnah, Yusuf al-Qaradhawi, Hal 197-198, cet.1 tahun 1414H/1993M, Muassasah
ar-Risalah Beirut.
[24] Musnad Ahmad (5/45), demikian Imam ath-Thabrani
meriwayatkan dalam kitab al-Awsath (425) dan dishahihkan oleh al-Hakim (7789),
tetapi dalam sanadnya terdapat Abu Bakrah Bakkar bin Abdul Aziz bin Abi Bakrah
yang diperbincangkan ( lihat Silsilah Hadits-hadits Lemah (436)
[25] Lihat: Bahasan khilafiyah
dalam hadits nabi tsb dalam buku
al-Khilafah Baina at-Tanzhir wa
ath-Thathbiq, Mahmud al-Mardawai, buku al-Khilafah hal 123, cet. 1 1403H/1983M, tanpa penerbit
[26] Qodhoya al-Mar’ah fi Suroti an-Nisa’, Dr. Muhammad
Yusuf Abd, hal 34-35, cet 1 tahun 1405H/1985M.. Darud- Da’wah Kuwait.
[27] Lihat: Ya Nisa’ad-Du’at Lastunna Kakulli an-Nisa’,
Zubeir Fadhl Madhawi, hal: 27, Syarikat Maktabah al-Khadamat al-Haditsah, tanpa
tahun penerbitan.
[28] Malamih al-Mujtama’ al-Muslim alladzi Nansyuduhu,
Yusuf al-Qaradhawi, Hal: 360-361, cet. 1 tahun 1417H/1996M, Muassasah
ar-Risalah Beirut.
[30] HR Ibnu Majah dalam al-Muqoddimah (224), Ibnu Abdil
Barr dalam bab al-Ilmu, Imam Baihaqi dalam Syu’abul Iman dari Hadits Anas, Imam
Thabrani meriwayatkan dalam kitab al-Kabir dari Ibnu Mas’ud, dan dalam
al-Awsath dari Ibnu abbas. As-Sakhowi berkata, riwayat ini memiliki syahid pada
Ibnu Syahin dengan sanad yang para perawinya tsiqot dari anas . Lihat al-Jami’
ash-Shogir hadits-hadits no 5264, 5267, dan juga tanggapan al-Munawi terhadap
hadits ini dalam Faidhul Qodir 4/267-268.
[31] Ar-Rasul wal-‘ilm, Dr. Yusuf al-Qaradhawi, Hal: 91,
Maktabah Wahabah Kairo, tanpa tahun penerbitan.
[32] Lihat secara rinci tentang peran para wanita dalam
buku “Audatul Hijab”, Muhammad Ahmad
Ismail al-Muqoddam, Dar Thoyyibah Riyadh, tanpa tahun penerbitan.
Lihat juga
buku: Nisa’ Haula ar-Rasul, war-Rodd ‘ala Muftaroyat al-Mustasyriqin, Mahmud
Mahdi al-Istanbuli dan Musthofa Abun-Nashr asy-Syalabi, cet. 3 tahun
1411H/1991M, Maktabah as-Sawadi Jeddah. Juga buku: al-Muntakhob Min A’lam
an-Nisa’, Abbas Muhammad Hasan yusuf, cet. 1 tahun 1410H/1990M, Darul Bayan Kuwait.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar