JAKARTA, KOMPAS.com -
Badai Matahari yang terpantau Senin (23/1/2012) pukul 10.50 WIB berhasil
diantisipasi sehingga tidak menimbulkan dampak negatif. Bagi Indonesia,
fenomena alam ini tidak memberi pengaruh berarti. Badai Matahari ini
diperkirakan akan mencapai ekstrem pada tahun 2013.
Hal ini
dikemukakan Deputi Bidang Sains, Pengkajian, dan Informasi
Kedirgantaraan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan),
Thomas Djamaluddin, Rabu (25/1/2012), di Jakarta. Badai Matahari yang ditandai munculnya flare
ini masuk skala menengah tinggi (M8-9), dengan indikator pancaran
sinar-X yang mencapai 10 - 5 hingga 10 – 4 watt per meter persegi. Badai
Matahari disebut mencapai skala sangat kuat (ekstrem) bila berskala 10 –
4 hingga 10 – 3 watt per m2.
Serbuan partikel proton ke Bumi
diantisipasi dengan mengalihkan jalur penerbangan jarak jauh dari
Amerika Serikat ke Asia dan sebaliknya yang melintasi kutub Utara. Paparan
partikel proton ini tidak berdampak bagi Bumi karena ada lapisan
magnetosfer yang menahan partikel tersebut. Radiasi dari badai Matahari
juga akan diserap lapisan ozon. Badai Matahari antara lain pernah
menimbulkan dampak pada tahun 1989 dan tahun 2000 bagi sistem
kelistrikan di negara- negara di lintang tinggi dan dekat kutub, antara
lain Kanada.
Pantauan di Indonesia
Partikel
energetik proton mencapai Bumi Selasa (24/1) malam waktu Indonesia.
Menurut Clara Yono Yatini, Kepala Pusat Sains Antariksa Lapan, badai
Matahari telah memengaruhi komunikasi radio antarstasiun milik Lapan
hingga terjadi blackout.
Kondisi geomagnet di Indonesia terpantau
di tujuh stasiun Lapan, yaitu di Kototabang, Sumatera Barat;
Tanjungsari, Jawa Barat; Pontianak, Kalimantan Barat; Biak, Papua;
Manado, Sulawesi Utara; Parepare, Sulawesi Selatan; dan Kupang, Nusa
Tenggara Timur. Hasil pantauan tidak menunjukkan gangguan berarti, kata
Clara.
Thomas menjelaskan, flare ini merupakan yang pertama kali
terpantau sejak Mei 2005. Kelas M yang mendekati kelas X, dampaknya akan
kuat bila mengarah ke bumi. Flare dari teropong di Bumi tampak
berupa bintik hitam di permukaan Matahari dan akan meningkat menjadi
letupan terang. Sinar-X yang terpancar dari letupan itu terekam pada
satelit Geostationary Operational Environmental Satellite.
Flare
diikuti lontaran massa dari korona Matahari. Yang menonjol adalah proton
yang melesat dengan kecepatan 1.400 kilometer per detik. Korona
terdeteksi oleh wahana pemantau Matahari SOHO pada posisi antara Bumi
dan Matahari berjarak 1.500.000 km dari Bumi (4 kali jarak Bumi-Bulan).
"Partikel bermuatan dari Matahari itu tampak seperti hujan salju,
berarti mengarah ke arah bumi," kata Thomas.
Anomali cuaca
Matahari ini akan memengaruhi ionosfer. Lapisan ini digunakan untuk
memantulkan gelombang pendek pada komunikasi radio. Komunikasi radio
frekuensi HF akan terganggu, termasuk siaran radio luar negeri, seperti
BBC, VOA, dan ABC. Navigasi berbasis satelit, seperti GPS, juga dapat
terganggu akurasinya.
Badai Matahari berskala menengah tinggi ini
berpotensi mengganggu operasional satelit, seperti satelit komunikasi.
Bila gangguan tidak dapat diatasi oleh operator satelit, ada kemungkinan
akan mengganggu telekomunikasi penggunaan telepon seluler, siaran TV,
dan komunikasi data perbankan.
Namun, tidak benar radiasi dari
Matahari itu akan berefek langsung bagi tubuh manusia. Juga tidak ada
efek radiasi ketika berkomunikasi menggunakan telepon seluler. "Kalau
ada berita itu hanya hoax," kata Thomas. Efek paparan proton hanya
terjadi di wilayah kutub.
Sumber :Kompas Cetak
Tidak ada komentar:
Posting Komentar