Pengetahuan manusia bertambah banyak sejalan dengan bertambahnya umur dan sejauh mana kesadaran interaksinya dengan alam. Semakin dalam kesadaran dalam berinteraksi dengan alam, maka akan semakin banyak yang diketahuinya. Karena itulah kekayaan pengetahuan manusia berbeda-beda.
Adalah sulit mengukur sejauh mana kekayaan pengetahuan masing-masing orang. Belum tentu orang yang kita anggap sedikit pengetahuannya memang memiliki pengetahuan seperti yang kita sangkakan. Begitu juga, belum tentu pengetahuan seseorang seluas yang tampak di permukaan. Khasanah alam semesta terlalu berlimpah untuk dipahami manusia. Manusia hanya mampu menangkap sangat sedikit.
Allah SWT (Pencipta kita) telah memberitahukan kepada kita melalui firmannya dalam al-Qur’an surat Luqman [31] ayat 27 sebagai berikut, “Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan laut (menjadi tinta), ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tidak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Informasi tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan manusia itu amat sedikit. Bahkan, menurut Nabi Muhammad saw., ilmu manusia itu (jika dikumpulkan) diibaratkan setetes air di ujung jari dibandingkan dengan seluruh air di lautan (sebagai ibarat ilmu Allah SWT).
Yang amat sedikit itu pun terlampau beraneka ragamnya, sehingga terlampau kecil interseksinya (perpotongannya) antara pengetahuan orang yang satu dengan lainnya. Karena keragaman yang amat lebar dari pengetahuan masing-masing orang inilah maka kita tidak selayaknya menganggap diri kita lebih hebat dari yang lainnya. Boleh jadi seorang dokter ahli dalam masalah telinga, hidung dan tenggorokan, tetapi dia tidak tahu tentang mata apalagi jantung.
Setiap manusia hanya dituntut untuk mempelajari alam ini, sebagaimana kata Nabi Muhammad, “Tuntutlah ilmu hingga ke liang lahat!” Bahkan bagi orang-orang yang beriman, jika senantiasa memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi dan bersimpulan bahwa Allah tidak sia-sia menciptakan semua ini maka akan mendapatkan predikat yang amat tinggi “Ulil Albab” (silakan menyimak Al-Qur’an surat Ali Imraan ayat 190-191).
Tentu tidak mungkin manusia mampu mempelajari semuanya, cukup fokus pada salah satu hal saja sedalam mungkin. Hanya meneliti tempe hingga dalam bisa melahirkan gelar doktor, sebuah penghargaan keilmuan teringgi. Padahal hanya satu hal kecil saja! Bandingkan dengan ilmu Allah yang tak berhingga itu!
Nah, jika dengan kesungguhan kita menjalani perintah untuk menuntut ilmu sedalam mungkin, insya Allah kita akan mendapatkan kemuliaan dari Sang Pemilik Kemuliaan. Kita akan semakin merasa tidak tahu apa-apa, semakin merasa rendah diri di hadapan Allah. Maka simpulan yang kita dapatkan hanya satu, “Hanya Allah SWT yang Maha Besar, tidak ada lainnya!”
Marilah kita mulai menggunakan pikiran dan hati kita dari hal yang sederhana. Amati dari yang terdekat dengan kita, misalnya kucing. Lihatlah dengan cermat matanya dan renungkan dalam-dalam, bagaimana dia bekerja, terdiri atas bahan apa, mengapa bisa demikian, apakah dia bekerja dengan sendirinya atau ada yang mengaturnya? Mengapa mata kucing yang satu dan kucing lainnya mempunyai bentuk dan mekanisme yang sama, mengapa tidak ada yang seperti mata manusia? Terus ajukan pertanyaan-demi pertanyaan dan berusahalah untuk menjawabnya sendiri! Itu baru mata, belum telinga, kaki, lidah, atau bagian dari tubuh lainnya.
Coba amati bagaimana dia berjalan, duduk, berlari, melompat, merayap dan sembunyi! Semua kucing mempunyai perilaku yang sama. Siapa yang mengajarkan hal ini?
Temukan simpulannya! Masihkah kita pantas untuk menyombongkan diri di hadapan sesama manusia, apalagi di hadapan Allah SWT? Itulah dzikir yang sebenarnya. Selamat berdzikir!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar