Kapan
terakhir kalinya Anda menengadah ke angkasa, menikmati birunya langit.
Atau memandang bintang-bintang yang berkedipan di malam hari sambil
menemukan komet yang terbang? 1 bulan yang lalu? 1 tahun yang lalu? 5
tahun yang lalu? Atau malah sewaktu Anda masih berumur 7-tahunan?
Ternyata semakin tua kita, semakin tidak mempedulikan semesta. Kita
terlampau disibukkan dengan pekerjaan, masalah rumah tangga atau
persoalan hidup lainnya. Lantas kita bertanya apakah ini yang dinamakan
menikmati hidup?
Peradaban manusia memang makin maju tapi
mengapa manusia semakin terseret dalam pusaran kesibukan tiada
habisnya? Bukankah semakin majunya peradaban seharusnya makin memberikan
keleluasaan bagi manusia untuk menikmati hidupnya? Atau telah terjadi
pergeseran makna “menikmati hidup”? Atau bahkan kita tak pernah mencoba
mendefinisikan arti “menikmati hidup”?
Karena itu, sahabat, sesekali
menengadahlah ke langit, namun jangan hanya terhenti pada cerapan
inderawi, biarkan akal dan hatimu meng-explore kemegahan ciptaan-Nya
sembari mengakui kebesaran-Nya. Inilah yang dinamakan tafakur. Objek
tafakur tidak terbatas pada langit saja, bisa laut, bisa semut, bisa
tentang tingkah laku manusia atau tentang apa yang ada pada diri kita
sendiri. Kita bisa mencoba merenungi arti keberadaan kita di bumi.
Apakah kita dicipta hanya untuk memuaskan keinginan pribadi saja?
Tidakkah itu visi yang terlampau sempit? Mengapa kita dicipta tidak
sendiri? Tidakkah Tuhan memiliki tujuan penciptaan kita? Semakin sering
menengadah ke langit, semakin banyak pertanyaan dasar tentang kehidupan
yang muncul.
Tafakur inilah yang mampu mempengaruhi
sikap dan perilaku. Bertafakur kata Fudhail bin Iyadh, seperti cermin.
Dengan bertafakur manusia bisa melihat dirinya (muhasabah) untuk
diketahui segala kebaikan dan keburukan dan segala apa yang telah
dikerjakannya.
Tafakur tidak hanya mampu menjadi
cermin, lebih jauh lagi ia bisa menjadi mesin pencari pengetahuan baru.
Tafakur membuat manusia aktif dan dinamis dalam samudera pengetahuan.
Tafakur bisa mencairkan kebekuan otak dan memungkinkan manusia
menemukan inovasi-inovasi baru. Dalam bahasa Al-Ghazali dalam Ihya’
Ulumuddin, “tafakur berarti menghadirkan dua pengetahuan dalam hati
untuk kemudian menghasilkan pengetahuan ketiga.” Ia menambahkan, proses
tafakur lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan tadzakur
(berdzikir). Karena tafakur yang berpijak pada pengetahuan yang ada akan
menghasilkan pengetahuan baru, yang dinamis, produktif, dan inovatif.
Sedangkan tadzakur tidak memunculkan pengetahuan baru, namun merupakan
proses pengulangan dari pengetahuan yang telah dimiliki, sebagai penguat
dan peneguh (tsabat) saja.
Begitu pentingnya tafakur ini, sehingga
Tuhan senantiasa memerintahkan kepada manusia untuk tafakur, dan Tuhan
mengecam kepada orang-orang yang telah diberikan akal namun karena
kedunguannya ia tidak mau bertafakur. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi dan perbedaan siang dan malam terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau sambil duduk atau sambil berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata:
“Ya Robb kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran: 190 – 191).
Orang beriman menurut ayat di atas,
adalah orang yang selalu berfikir sepanjang waktu. Ketika ayat ini
turun, Rasulullah saw menangis dan air matanya meleleh hingga membasahi
janggutnya. Lalu beliau bersabda, “Celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkan maknanya.”
Namun begitu, antara tafakur dan
tadzakur tak bisa dipisahkan. Keduanya membentuk keseimbangan dan saling
melengkapi pada diri manusia. Keduanya merupakan satu kesatuan, meski
masing-masing memiliki wilayah dan batas obyek yang berbeda. Dengan
keduanya, manusia akan memahami realitas alam dan penciptaannya secara
utuh. Lalu sesudah itu memilih jalan yang benar sesuai kehendak Tuhan.
Ref: Majalah Sabili
Tidak ada komentar:
Posting Komentar