Selamat Berkunjung

Selamat Berkunjung !
Diharap komentarnya agar lebih bermanfaat, menambah wawasan dan hikmah

Jumat, 17 Februari 2012

Pandanglah ke Langit Itu

Kapan terakhir kalinya Anda menengadah ke angkasa, menikmati birunya langit. Atau memandang bintang-bintang yang berkedipan di malam hari sambil menemukan komet yang terbang? 1 bulan yang lalu? 1 tahun yang lalu? 5 tahun yang lalu? Atau malah sewaktu Anda masih berumur 7-tahunan? Ternyata semakin tua kita, semakin tidak mempedulikan semesta. Kita terlampau disibukkan dengan pekerjaan, masalah rumah tangga atau persoalan hidup lainnya. Lantas kita bertanya apakah ini yang dinamakan menikmati hidup?

Peradaban manusia memang makin maju tapi mengapa manusia semakin terseret dalam pusaran kesibukan tiada habisnya? Bukankah semakin majunya peradaban seharusnya makin memberikan keleluasaan bagi manusia untuk menikmati hidupnya? Atau telah terjadi pergeseran makna “menikmati hidup”? Atau bahkan kita tak pernah mencoba mendefinisikan arti “menikmati hidup”?

Karena itu, sahabat, sesekali menengadahlah ke langit, namun jangan hanya terhenti pada cerapan inderawi, biarkan akal dan hatimu meng-explore kemegahan ciptaan-Nya sembari mengakui kebesaran-Nya. Inilah yang dinamakan tafakur. Objek tafakur tidak terbatas pada langit saja, bisa laut, bisa semut, bisa tentang tingkah laku manusia atau tentang apa yang ada pada diri kita sendiri. Kita bisa mencoba merenungi arti keberadaan kita di bumi. Apakah kita dicipta hanya untuk memuaskan keinginan pribadi saja? Tidakkah itu visi yang terlampau sempit? Mengapa kita dicipta tidak sendiri? Tidakkah Tuhan memiliki tujuan penciptaan kita? Semakin sering menengadah ke langit, semakin banyak pertanyaan dasar tentang kehidupan yang muncul.

Tafakur inilah yang mampu mempengaruhi sikap dan perilaku. Bertafakur kata Fudhail bin Iyadh, seperti cermin. Dengan bertafakur manusia bisa melihat dirinya (muhasabah) untuk diketahui segala kebaikan dan keburukan dan segala apa yang telah dikerjakannya.

Tafakur tidak hanya mampu menjadi cermin, lebih jauh lagi ia bisa menjadi mesin pencari pengetahuan baru. Tafakur membuat manusia aktif dan dinamis dalam samudera pengetahuan. Tafakur bisa mencairkan kebekuan otak dan memungkinkan manusia menemukan inovasi-inovasi baru. Dalam bahasa Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin, “tafakur berarti menghadirkan dua pengetahuan dalam hati untuk kemudian menghasilkan pengetahuan ketiga.” Ia menambahkan, proses tafakur lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan tadzakur (berdzikir). Karena tafakur yang berpijak pada pengetahuan yang ada akan menghasilkan pengetahuan baru, yang dinamis, produktif, dan inovatif. Sedangkan tadzakur tidak memunculkan pengetahuan baru, namun merupakan proses pengulangan dari pengetahuan yang telah dimiliki, sebagai penguat dan peneguh (tsabat) saja.

Begitu pentingnya tafakur ini, sehingga Tuhan senantiasa memerintahkan kepada manusia untuk tafakur, dan Tuhan mengecam kepada orang-orang yang telah diberikan akal namun karena kedunguannya ia tidak mau bertafakur. Tuhan berfirman, “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan perbedaan siang dan malam terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau sambil duduk atau sambil berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: “Ya Robb kami tidaklah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali Imran: 190 – 191).

Orang beriman menurut ayat di atas, adalah orang yang selalu berfikir sepanjang waktu. Ketika ayat ini turun, Rasulullah saw menangis dan air matanya meleleh hingga membasahi janggutnya. Lalu beliau bersabda, “Celakalah orang yang membacanya tetapi tidak merenungkan maknanya.”
Namun begitu, antara tafakur dan tadzakur tak bisa dipisahkan. Keduanya membentuk keseimbangan dan saling melengkapi pada diri manusia. Keduanya merupakan satu kesatuan, meski masing-masing memiliki wilayah dan batas obyek yang berbeda. Dengan keduanya, manusia akan memahami realitas alam dan penciptaannya secara utuh. Lalu sesudah itu memilih jalan yang benar sesuai kehendak Tuhan.
Ref: Majalah Sabili

Tidak ada komentar:

Posting Komentar