Sebagai salah satu ilmu pengetahuan
tertua dalam peradaban manusia, Astronomi kerap dijuluki sebagai ‘ratu
sains’. Astronomi memang menempati posisi yang terbilang istimewa dalam
kehidupan manusia. Sejak dulu, manusia begitu terkagum-kagum ketika
memandang kerlip bintang dan pesona benda-benda langit yang begitu luar
biasa. Jejak astronomi tertua ditemukan dalam peradaban bangsa Sumeria
dan Babilonia yang tinggal di Mesopotamia (3500 – 3000 SM). Bangsa
Sumeria hanya menerapkan bentuk-bentuk dasar astronomi. Pembagian
lingkaran menjadi 360 derajat berasal dari bangsa Sumeria. Orang Sumeria
juga sudah mengetahui gambaran konstelasi bintang sejak 3500 SM. Mereka
menggambar pola-pola rasi bintang pada segel, vas, dan papan permainan.
Nama rasi Aquarius yang dikenal saat ini berasal dari bangsa Sumeria.
Setelah
runtuhnya kebudayaan Yunani dan Romawi pada abad pertengahan, maka
kiblat kemajuan ilmu astronomi berpindah ke bangsa Arab. Astronomi
berkembang begitu pesat pada masa keemasan Islam (8 – 15 M). Karya-karya
astronomi Islam kebanyakan ditulis dalam bahasa Arab dan dikembangkan
para ilmuwan di Timur Tengah, Afrika Utara, Spanyol dan Asia Tengah.
Salah satu bukti dan pengaruh astronomi
Islam yang cukup signifikan adalah penamaan sejumlah bintang yang
menggunakan bahasa Arab, seperti Aldebaran dan Altair, Alnitak, Alnilam,
Mintaka (tiga bintang terang di sabuk Orion), Aldebaran, Algol, Altair,
Betelgeus.
Ilmuwan Islam begitu banyak memberi
kontribusi bagi pengembangan dunia astronomi. Buah pikir dan hasil kerja
keras para sarjana Islam di era tamadun itu diadopsi serta dikagumi
para saintis Barat. Inilah beberapa ahli astronomi Islam dan kontribusi
yang telah disumbangkannya bagi pengembangan `ratu sains’ itu.
1. Al-Battani (858-929).
Sejumlah
karya tentang astronomi terlahir dari buah pikirnya. Salah satu
karyanya yang paling populer adalah al-Zij al-Sabi. Kitab itu sangat
bernilai dan dijadikan rujukan para ahli astronomi Barat selama beberapa
abad, selepas Al-Battani meninggal dunia. Ia berhasil menentukan
perkiraan awal bulan baru, perkiraan panjang matahari, dan mengoreksi
hasil kerja Ptolemeus mengenai orbit bulan dan planet-planet tertentu.
Al-Battani juga mengembangkan metode
untuk menghitung gerakan dan orbit planet-planet. Ia memiliki peran yang
utama dalam merenovasi astronomi modern yang berkembang kemudian di
Eropa.
2. Al-Sufi (903-986M)
Orang
Barat menyebutnya Azophi. Nama lengkapnya adalah Abdur Rahman as-Sufi.
Al-Sufi merupakan sarjana Islam yang mengembangkan astronomi terapan. Ia
berkontribusi besar dalam menetapkan arah laluan bagi matahari, bulan,
dan planet dan juga pergerakan matahari. Dalam Kitab Al-Kawakib
as-Sabitah Al-Musawwar, Azhopi menetapkan ciri-ciri bintang,
memperbincangkan kedudukan bintang, jarak, dan warnanya. Ia juga ada
menulis mengenai astrolabe (perkakas kuno yang biasa digunakan untuk
mengukur kedudukan benda langit pada bola langit) dan seribu satu cara
penggunaannya.
3. Ibnu Yunus (950-1009M)
Ibnu
Yunus bernama lengkap Abu al-Hasan Ali abi Said Abd al-Rahman ibnu
Ahmad ibnu Yunus al-Sadafi al-Misri. a adalah astronom agung yang
terlahir di negeri piramida, Mesir. Sayangnya, sejarah kehidupan masa
kecilnya nyaris tak ditemukan. Para sejarawan terbagi dalam dua pendapat
soal tahun kelahiran sang ilmuwan.
Sebagian kalangan meyakini Ibnu Yunus
lahir pada tahun 950 M dan ada pula yang berpendapat pada 952 M. Ibnu
Yunus terlahir di kota Fustat, Mesir. Pada saat masih belia, sang
astronom legendaris itu menjadi saksi jatuhnya Mesir ke genggaman
Dinasti Fatimiyah. Kekhalifahan yang menganut aliran Syiah itu
mendirikan pusat kekuasaannya di Kairo pada 969 M. Karya penting Ibnu
Yunus dalam astronomi yang lainnya adalah Kitab ghayat al-intifa. Kitab
itu berisi tabel bola astronomi yang digunakan untuk mengatur waktu di
Kairo, Mesir hingga abad ke-19 M. Sebagai astronom terpandang, Ibnu
Yunus melakukan penelitian dan observasi astronomi secara hati-hati dan
teliti. Tak heran, jika berbagai penemuannya terkait astronomi selalu
akurat dan tepat.
Ibnu Yunus juga diyakini para sejarawan
sebagai orang pertama yang menggunakan bandul untuk mengukur waktu pada
abad ke-10 M. Ia menggunakan bandul untuk memastikan akurasi dan
ketepatan waktu. Dengan begitu, Ibnu Yunus merupakan penemu pertama
bandul waktu, bukan Edward Bernard dari Inggris, seperti yang diklaim
masyarakat Barat.
Tak cuma itu, Ibnu Yunus juga telah
mampu menjelaskan 40 planet pada abad ke-10 M. Selain itu, ia juga telah
menyaksikan 30 gerhana bulan. Ia mampu menjelaskan konjungsi planet
secara akurat yang terjadi pada abad itu. “Konjungsi Venus dan Merkurius
pada Gemini. Waktu itu kira-kira delapan ekuinoksial jam setelah
pertengahan hari, di hari Ahad. Merkurius berada di utara Venus dan
garis lintang mereka berbeda tiga derajat,” tutur Ibnu Yunus.
Buah pemikiran Ibnu Yunus mampu
mempengaruhi ilmuwan Barat. ”Pada abad ke-19 M, Simon Newcomb
menggunakan teori yang ditemukan Ibnu Yunus untuk menentukan percepatan
bulan,” papar John J O’Connor, dan Edmund F Robertson, dalam karyanya
Abul-Hasan Ali ibnu Abd al-Rahman ibnu Yunus”.
Ibnu Yunus juga telah membuat rumus
waktu. Ia menggunakan nilai kemiringan sudut rotasi bumi terhadap bidang
ekliptika sebesar 23,5 derajat. Tabel tersebut cukup akurat, walaupun
terdapat beberapa error untuk altitude yang besar. Ibnu Yunus juga
menyusun tabel yang disebut Kitab as-Samt berupa azimuth matahari
sebagai fungsi altitude dan longitude matahari untuk kota Kairo. Selain
itu, disusun pula tabel a(h) saat equinox untuk h = 1, 2, …, 60 derajat.
Sebagai bentuk pengakuan dunia astronomi
terhadap kiprahnya, namanya diabadikan pada sebuah kawah di permukaan
bulan. Salah satu kawah di permukaan bulan ada yang dinamakan Ibn Yunus.
Ia menghabiskan masa hidupnya selama 30 tahun dari 977-1003 M untuk
memperhatikan benda-benda di angkasa. Dengan menggunakan astrolabe yang
besar, hingga berdiameter 1,4 meter, Ibnu Yunus telah membuat lebih dari
10 ribu catatan mengenai kedudukan matahari sepanjang tahun.
4. Al-Farghani
Nama
lengkapnya Abu’l-Abbas Ahmad ibn Muhammad ibn Kathir al-Farghani. Ia
merupakan salah seorang sarjana Islam dalam bidang astronomi yang amat
dikagumi. Beliau adalah merupakan salah seorang ahli astronomi pada masa
Khalifah Al-Ma’mun. Dia menulis mengenai astrolabe dan menerangkan
mengenai teori matematik di balik penggunaan peralatan astronomi itu.
Al-Farghani melakukan eksperimen untuk menentukan diameter bumi. Ia
menjabarkan pula jarak dan diameter planet-planet lainnya. Astronom ini
juga memperkenalkan istilah-istilah dari bahasa Arab asli seperti
azimuth, zenith, nadir,dansebagainya. Al-Farghani menulis dua karya yang
masyhur. Salah satunya adalah Fi al-Harakat al-Samawiya wa Jawami Ilm
al-Nujum. Buku tersebut mengupas gerakan celestial dan kajian atas
bintang. Naskah asli berbahasa Arab kedua buku itu sampai saat ini masih
tersimpan di Paris (Prancis) dan Berlin (Jerman).
Pada abad ke-12 M, karya Al-Farghani
telah diterjemahkan dengan judul The Elements of Astronomy. Terjemahan
ini telah memberi pengaruh besar bagi perkembangan astronomi di Eropa
sebelum masa Regiomontanus.
5. Al-Zarqali (1029-1087M)
Saintis
Barat mengenalnya dengan panggilan Arzachel. Wajah Al-Zarqali
diabadikan pada setem di Spanyol, sebagai bentuk penghargaan atas
sumbangannya terhadap penciptaan astrolabe yang lebih baik. Beliau telah
menciptakan jadwal Toledan dan juga merupakan seorang ahli yang
menciptakan astrolabe yang lebih kompleks bernama Safiha.
6. Jabir Ibn Aflah (1145M)
Sejatinya
Jabir Ibn Aflah atau Geber adalah seorang ahli matematik Islam
berbangsa Spanyol. Namun, Jabir pun ikut memberi warna da kontribusi
dalam pengembangan ilmu astronomi. Geber, begitu orang barat
menyebutnya, adalah ilmuwan pertama yang menciptakan sfera cakrawala
mudah dipindahkan untuk mengukur dan menerangkan mengenai pergerakan
objek langit. Jabir bin Aflah adalah astronom Muslim pertama di Eropa
yang membangun observatorium Giralda. Observatorium ini terletak di kota kelahirannya, Seville.
Adapun karya astronominya antara lain
buku berjudul The Book of Astronomy. Salinan buku ini sampai sekarang
masih tersimpan di Berlin. Dalam buku tersebut, Jabir dengan tajam
mengkritik beberapa pandangan dan pikiran astronom Ptolemaneus, terutama
pendapat yang menegaskan bahwa planet-planet yang paling dekat dengan
matahari–merkurius dan venus–tidak mempunyai nilai parallax, yaitu
perubahan kedudukan suatu benda karena perpindahan tempat pengamatan.
Jabir sendiri memberi nilai parallax sekitar 3 derajat untuk matahari.
Juga menyatakan bahwa planet-planet lebih dekat dengan bumi daripada
dengan matahari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar